Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

arganovAvatar border
TS
arganov
TERIMA KASIH

“Besok saat suamimu pulang suruh dia ngusir Bapak tua yang tidur di pos satpam!”

Alisa mengerjap sedikit. Memandang sang mertua penuh arti sebelum masuk ke dalam mobil hitam yang dikendarai sopir keluarga.

“Kamu dengarkan Lisa?” Kepala Ibu Mertua Alisa muncul lagi di kaca mobil yang turun sempurna.

Alisa tersenyum sedikit sebelum mengangguk pelan. Ia memandangi belakang mobil yang mulai menjauh perlahan dan kemudian menghilang di tikungan 200 meter dari pintu pagar. Selanjutnya Alisa melangkah ke arah pos satpam yang dihuni seorang tua setengah gila yang sejak seminggu lalu tidur di sana.

“Pak,” panggil Alisa.

Lama ia menunggu dan tak mendengar sahutan, karena itu disentuh gagang pintu. Namun, tiba-tiba kepala Pak Tua itu muncul.

“Jangan masuk, di sini kotor … di sini kotor.”

Alisa melihat kepala yang sudah tertutup uban menggeleng cepat dan kemudian bibir tanpa gigi tersenyum tulus padanya.

Ia mendesah.

Tak tega rasanya harus menggusir lelaki yang sepantar almarhum Ayah jika masih hidup itu.

“Bapak sudah makan?” tanya Alisa lembut.

Walau ibu mertuanya sudah mewanti-wanti untuk tak mendekati lelaki tua ini, rasanya tak sampai hati Alisa membiarkan lelaki tua ini kelaparan. Lagi pula menurut Alisa lelaki yang wajahnya telah keriput tersebut hanya sakit. Jika saja punya keluarga, kadaannya pasti seperti Ibu Mertua Alisa, tidak mungkin terlunta-lunta.

“Sudah-sudah.” Kepala yang sama mengangguk kembali dan beberapa detik kemudian menghilang.

Alisa menghela napas. Perlahan ia berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah. Asisten rumah tangga yang ditugasi suami dan ibu mertuanya telah manyun memandang sang nyonya yang melangar larangan lagi.

Tiba-tiba dua buah mangga muncul di depan Alisa. Mangga belum matang yang sudah seminggu berusaha dicari di pasar sampai menelepon banyak teman untuk menanyakan keberadaan buah tersebut.

“Untuk Cantik. Untuk Cantik.” Pak Tua memamerkan senyum ikhlasnya

“Makasih, Pak.”

***

Alisa kembali meringis. Sudah dua hari ini perutnya terasa tak nyaman. Ia mau saja pergi ke dokter kandungan sendirian, tetapi sang suami melarang. Lelaki yang menikahinya berkata akan pulang segera dan pergi bersama.

Alisa bersabar, berdiri di depan pintu rumah, sekali duduk saat pingangnya lelah, dan kemudian melongok sebentar ke arah pagar, dan sama saja seperti menit yang sudah lewat tadi, masih belum tampak mobil warna putih berhenti.

Pak tua terlihat duduk di lantai teras pos satpam. Matanya terfokus pada Alisa yang gelisah. Ia tidak mengalihkan pandangan sedikit pun.

Alisa merasa cukup risih. Ia mulai membayangkan hal yang tidak-tidak seperti cerita ibu mertuanya tempo dulu. Tentang seorang kurang waras yang menikam wanita yang hendak menolongnya.

Akhirnya Alisa memutuskan untuk menunggu di dalam rumah saja. Sudah terlalu larut pula untuk menunggu seorang diri di teras. Ia berbalik, menyentuh gagang pintu, dan dihantam rasa sakit yang teramat sangat. Napasnya terasa terhenti. Jantungnya berdebar tak karuan, dan badannya mendadak lemas karena sakit. Alisa mengerang keras sambil pelan-pelan mendudukan diri di lantai yang dingin.

“Ca-cantik kenapa?”

Alisa sedikit terkejut ketika sebuah tangan yang dingin menyentuh pergelangan tangannya. Saat ia menoleh, Pak Tua sudah ada di sisinya.

Mata Pak Tua dengan jelas mengambarkan kepanikan dan rasa iba.

Alisa mendorongnya. Ia tak siap ditolong oleh orang yang mungkin saja jahat kini.

Pak tua terjengkang dan dengan segera duduk kembali. Tangannya terlurur, selain menyeka keringat sebesar biji jangung di dahi Alisa, sebelah lagi mengelus perut yang membuncit sambil berkata, “Ja-jangan nakal. Mama sakit.” Kalimat yang ia katakana berulang kali sambil menangis seperti Alisa.

Tentu saja hal tersebut sama sekali tak memiliki efek. Alisa masih terus mengerang dan semakin keras setiap menitnya.

Pak tua berdiri tegak, lalu mondar-mandir tak karuan. Ia tiba-tiba saja berlari menuju ke luar pagar.

Alisa hanya memandanginya saja, sambil terus menahan rasa sakit. Ia berusaha berdiri dengan berpegangan pada pintu rumah. Tubuhnya baru terangkat beberapa inci dari lantai, saat darah merah mengalir melalui betisnya dengan perlahan. Mengetahui itu, Alisa merintih pelan. Andai saja tadi ia tak menyuruh wanita—asisten rumah tangga yang biasa menemaninya pulang karena begitu yakin sang suami akan kembali tepat waktu.

Air matanya luruh, ia tak mau kehilangan bayinya lagi seperti dua tahun lalu.

“Dasar orang gila! Kemari! Kuhajar kau sampai mati!”

Alisa mengangkat kepala. Pria tua yang tadi lari kembali, hidungnya telah berdarah. Mata kiri dan rahangnya membiru. Ia membawa sebungkus roti di tangannya.

Sebuah tendangan membuatnya tersungkur di undakan naik teras.

Alisa terpekik, kaget bercampur dengan rasa sakit yang kembali menerjang.

“Pa-Pak?” rintihnya.

“Cantik tidak apa? Cantik tidak apa?”

Lelaki tua itu bertanya berulang-ulang.

Dua orang lelaki yang Alisa ingat pemilik warung di simpang jalan menghampiri lelaki tua gila dan memukulnya.

Lelaki itu tidak merintih, sebagai gantinya ia menunjuk dan berseru keras. “Tolong Neng Cantik! Tolong.”

“Ja-jangan … jangan pukuli Pak ….” Alisa beringsut pelan mencoba menarik salah satu dari dua orang yang memukul, selanjutnya semuanya menjadi gelap.

Saat bangun. Alisa sudah ada di rumah sakit. Suaminya tertidur di sofa dan bayi mungil berjenis kelamin laki-laki tertidur pulas di box bayi. Ia merasakan nyeri di perut kini.

“Dokter bilang kamu terpaksa operasi cecar karena pingsan.”

Alisa melirik sedikit dan kemudian mengalihkan pandangan pada box bayi. Sama seperti tadi, makhluk mungil yang lahir dari rahimnya masih tidur.

“Kamu marah padaku?”

Alisa tak bisa menjawab tidak, juga tak bisa membenarkan hal itu. Semuanya terlalu menyakitkan untuknya, mengingat lelaki yang begitu dipercayai tidak bisa diandalkan.

“Mana Pak Tua yang membantuku?” Ia menatap sang suami penuh harap. Semoga lelaki angkuh yang begitu dicintai tak lagi membuatnya kecewa.

“Pak Tua? Yang mana?”

“Lelaki tua yang mencuri roti untuk memanggil orang-orang dan menyelamatkanku.”

Ia lihat suaminya hanya mengangkat alis sedikit lalu membuang napas. “Aku tak tahu, waktu aku kembali ke rumah, Mama mengusirnya.”

Alisa memejamkan mata.

***

Alisa keluar dari mini market bersama bocah kecil berusia tiga tahun dalam gendongannya. Ia terus bertanya pada lelaki kecil itu apa suka dengan kue yang mereka beli. Sebagai jawaban, anak lelaki yang ia beri nama Ibrahim mengangguk.

Mata Alisa terpaku pada seorang tua yang tengah mengais tong sampah di dekat tiang listrik di sisi kanan mini market. Ia kenal pakaian, postur tubuh, dan juga karung goni yang betuliskan jenis beras yang ada di kaki si lelaki.

Alisa perlahan mendekat. Sudah lama ia mencari lelaki tua itu.

“Pak?”

Lelaki tua tersebut langsung berbalik. Selama beberapa detik ia terdiam, lalu kemudian tersenyum.

“Neng cantik … Neng Cantik ….” Pak tua memutari tubuh Alisa dengan gembira. Dengan hati-hati ia menyentuh pipi Ibrahim yang memandang heran dan takut. “Anak manis … anak manis,” katanya.

“Terima kasih, waktu itu Bapak sudah menolong saya.” Alisa tidak tahu apakah Pak Tua di depannya paham dengan yang sedang ia katakan.

Pak tua hanya tertawa cengengesan. Ia lebih tertarik menyentuh pipi Ibrahim lagi.

“Bapak tidak ingin tanya namanya siapa?” tanya Alisa memancing.

Pak tua menoleh.

Baru kali ini Alisa bisa menatap mata tua yang begitu jernih, mirip dengan mata anak-anak yang baru terlahir ke dunia, tidak punya masalah, begitu damai.

“Siapa?”

“Ibrahim … saya juga ingin dia menjadi pahlawan untuk seseorang.”

Mata tua itu berkaca-kaca, ia kembali memandang Ibrahim dan menyentuh pipi lelaki kecil di gendongan Alisa. “Ibrahim nama yang bagus,” gumamnya pelan.

***

Ini hari kedua Alisa di rumah. Ia mencuri waktu untuk masuk ke petak kecil pos satpam yang tak lagi berpenghuni. Sudah bersih di dalam. Ada kantong kresek yang ditumpuk dengan rapi di sudut. Di atas meja ada baju yang kumuh sekali, sepertinya dijadikan lap. Di sampingnya ada sebuah tanda pengenal seperti KTP.

Alisa mendekatinya. Wajah Pak Tua yang terlihat lebih bersih ada di sana. Foto hitam putih yang menjelaskan jika Pak Tua dulu pernah punya keluarga yang mengurusnya. Ia membaca sebuah nama di kartu itu. Ibrahim. Nama yang baik untuk orang yang baik pula.

Alisa tersenyum lega.


Sumber gambar: Google
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
395
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.