Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

arganovAvatar border
TS
arganov
ORANG YANG TEPAT
“Selamat, ya, Reni.”

Satu orang lagi teman yang tak diingat namanya oleh Reni menghampiri di atas podium resepsi pernikahan. Kata mereka, ia sangat hebat.

Ia tak bisa menyebutnya sebagai hasil usaha, tetapi mungkin sebuah keberuntungan karena menyelamatkan orang lain dari rasa sakit hati.

Pria mapan yang berdiri dan tersenyum lebar di sampingnya dua bulan lalu tak bisa di dekati, tak terjangkau. Bukan hanya karena begitu dingin, tetapi juga wanita yang menjadi kekasihnya cantik rupawan. Apalah Reni yang bertampang pas-pasan.

“Bagaimana, sih, caramu menaklukan Pak Ilham? Bukannya dia kemarin kekasih Diana, si manager management keuangan?

Pertanyaan itu akhirnya bisa diajukan oleh banyak orang saat resepsi telah selesai dan pakaian kebaya indahnya telah tersimpan. Sebagai gantinya Reni hanya memakai kebaya sederhana berwarna krem, duduk di kursi tamu bersama para teman.

Ilham—sang suami dengan pakaian berwarna sama, duduk beberapa meja bersama kawan-kawannya pula. Pertanyaan yang diajukan mungkin tak jauh berbeda, bagaimana seorang Reni bisa memikat lelaki yang sudah hampir menikah dengan wanita cantik bernama Nadia.

Reni tak lantas menjawab, hanya tersenyum. Potongan-potongan kejadian lucu, mengkhawatirkan, dan mengagetkan itu baru saja. Biarlah hal itu jadi rahasia kecil mereka.

***

“Ren, antarkan ini.”

Reni memandangi berkas tebal hampir satu inchi dengan beberapa map warna-warni. Sebagai karyawati baru di perusahaan, memang selama beberapa waktu ia akan menjadi “babu” bagi yang lain. Tak tanggung-tanggung dari membersihkan meja, membelikan makanan, fotokopi berkas, hingga mengurus makan siang dilakoni. Ia harus bisa bertahan, jika tidak ingin kehilangan pekerjaan.

“Ke mana? Ruangan Pak Ilham.”

“Nadia. Ini harusnya dia selesaikan minggu lalu. Entah apa yang dilakukannya hingga begitu sibuk. Jika bukan karena dia kekasih Pak Ilham, tak sudi aku bersikap baik di depan wanita jalang itu.”

Reni menunduk, ikut merasa bersalah. Nadialah yang memasukannya ke perusahaan ini.

Sebelum mendapatkan lebih banyak informasi buruk, Reni bergegas mengambil Map, memangkunya erat-erat. Setengah berlari ia menaiki tangga ke ruangan Nadia di lantai dua. Lantai dua lebih sepi dari lantai dasar tempat Reni bekerja. Ia dengan cepat melewati blok-blok karyawan yang seperti kotak-kotak korek api dan sampai di ruangan Nadia. Namun, tak lantas masuk, suara cekikikan dan erangan manja di dalam menghentikan fungsi otak Reni untuk melakukan sesuatu.

Apa yang harus aku lakukan? Kenapa terjadi lagi? Reni mengigit bibir dan berusaha tak membuat suara saat berbalik pergi. Seperti pada dua entah tiga kali kejadian lalu, ia berdiri di dinding tepi tangga, menunggu pintu terbuka dan orang-orang yang “berbuat” di dalam keluar.

Siluet punggung yang dikenal Reni muncul. Darahnya berdesir lebih cepat. “Pak Ilham!” Ia memanggil dengan segera hingga lelaki tampan yang merupakan bos—dirinya dan Nadia—menoleh.

Alis Ilham terangkat. Lagi, ia menemukan gadis yang sama berdiri di tempat yang sama dengan sifat canggung yang tidak berubah.

“Ya, ada apa?” tanya Ilham.

Kali ini Ilham memilih mendekat lebih dulu, memperhatikan wajah gadis di tangga yang mulai memerah. Mula-mula telinga, kemudian pipi, selanjutnya orang yang sama akan memejamkan mata lalu dengan menahan malu yang jelas sekali tergambar dari suaranya yang mendada melengking mengajak Ilham makan siang.

Ilham tak bisa menyembunyikan tawanya. Selama dua kali pertemuan, ia sukses menyimpan dalam lekuk bibir saja. Kali ini rasa dongkol—yang dirasa pada dua kali lainnya—karena acara kunjungan penuh cinta dengan Nadia dihentikan, lenyap. Tanpa banyak tanya ditarik lengan Reni menuruni tangga segera.

“Bapak tidak tanya kenapa lagi?” Reni takut-takut bicara.

Mereka ada di kafe kecil lantai dasar tempat para karyawan memesan makan siang sederhana.

“Tidak.” Ilham menyendok sejumput kecil nasi goreng dan mengunyahnya dengan cepat.

Reni sendiri masih belum menyentuh mie rebus miliknya, menunggu panasnya berkurang.

“Kenapa?”

Ilham mendorong piring nasi gorengnya sedikit, menyusun tangan di atas meja. “Karena kamu mengajakku makan, bukan diskusi.”

Mata Reni mengerjap cepat. Wajahnya mulai memerah lagi, ia mengambil sendok dan mengaduk-ngaduk mie di depannya.

***

“Kenapa kamu ingin bicara denganku?” Nadia tidak duduk di kursi terlebih dahulu sebelum mengajukan pertanyaan pada Reni.

Kantor sepi, jam pulang sudah berlalu tiga puluh menit lalu.

“Kenapa kamu memasukkan ke perusahaan ini, Nad?”

Reni memandang Nadia dengan mata memerah. Ia berharap dugaannya salah. Nadia tidak mungkin akan mejadikannya sebagai tameng.

“Apa … kamu bermain-main di belakang Pak Ilham?”

Nadia tertawa. Ia tahu semakin hari Reni semakin dewasa. Ia tak bisa dibodohi lagi dengan cerita konyol jatuh cinta seperti di negeri dongeng.

“Kenapa? Kamu ingin mengadu?” ejeknya. Diletakan tas kecil di atas meja dan melipat tangannya di dada.

“Dia orang baik, Nad.”

“Aku tahu. Kamu mau mencoba mengambilnya dariku?” Nadia menunduk sambil memeganggi tepi meja, menatap tepat ke pupil Reni saat bicara.

Padahal bukan itu maksud Reni menemui  Nadia. Ia hanya ingin mengingatkan sebelum semuanya terlambat dan tidak ada yang bisa diselamatkan.

***

Ilham datang terlambat. Padahal Nadia sudah sejak tadi ada di depan kediamannya. Saat mobil Ilham berbelok masuk ke dalam halaman dan berhenti. Nadia berlari, sedikit oleng saat melompati tangga teras.

“Kamu jadikan ke rumahku besok?”

Ilham tersenyum. “Ya,” jawabnya.

“Aku sudah mengatakannya kepada kedua orang tuaku. Mereka senang mendengarnya.”

“Aku juga senang bisa datang ke rumahmu. Tidak sabar melihat reaksi kalian semua.”

Nadia tak mengerti, tetapi ia ikut tersenyum senang. Mereka harus menikah secepatnya sebelum perutnya membesar dan Ilham menyadari ia sudah bermain api dengan orang lain.

Hari yang dijanjikan Ilham datang. Nadia berdandan sangat cantik. Ia tak sabar menunggu Ilham dan memperkenalkan kepada kedua orang tuanya pria mapan tersebut. Ia berteriak gembira saat melihat kendaraan roda empat yang milik Ilham parkir di halaman.

“Saya akan menyampaikan keinginan anak kami. Ia ingin kami melamarkan Reni untuk menjadi istrinya.” Setelah berbasa-basi orang tua lelaki Ilham bicara.

Prang!

Nampan bekas membawa minuman yang terbuat dari plastik keras yang dipeluk Reni jatuh ke lantai. Ia menelengkan kepala memandang semua orang. Kemudian tanpa menunggu lama dicubit pipinya sendiri karena merasa sedang bermimpi.

Setelah melotot cukup lama mendengar nama Reni yang disebut, Nadia menarik Ilham segera. Ia membawa kekasihnya ke taman samping rumah.

“Reni? Reni? Bukan aku? Aku kekasihmu!” Nadia berteriak hingga tenggorokannya perih.

“Apa untungnya aku menikahimu?” Wajah Ilham datar. “Kamu menggelapkan uang perusahaan. Di kantorku sendiri sering membawa laki-laki yang kamu sebut adik sepupumu. Itu—milik lelaki itu, kan?” Mata Ilham terpaku pada perut Nadia.

Wajah Nadia seketika kelabu. Amarahnya berubah menjadi ketakutan.

“Kamu pikir aku tidak tahu? Aku hanya pura-pura tidak tahu. Aku berharap seseorang menyadarkanmu.” Ilham memandang Nadia dengan jijik. “Reni sudah melakukannya, ia memperingatkanmu.”

Nadia mendekati Ilham, mencoba mengenggam tangan kekasihnya untuk minta maaf. Ia tidak bisa dicampakkan sekarang. “Jangan begini, Yang, aku mohon. Maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kumohon.”

Ilham berkali-kali menepis sentuhan Nadia. “Kamu pikir aku akan bertanggung jawab untuk anak dari lelaki lain. Dia saja tidak lagi menginginkanmu!”

Ilham maju, meninggalkan Nadia yang memanggil-manggil namanya. Ia melihat Reni bersandar di dinding dekat pintu teras.

“Pak Ilham tahu?” Reni mencari jawaban dari tatapan Ilham. “Karena itukah Bapak menertawakan saya hari itu?” Lagi-lagi ia mencari jawaban yang mungkin tertulis di ekspresi Ilham.

Ilham menarik napas. Sebenarnya ia tertawa karena sikap lucu Reni yang ketara sekali menyembunyikan sesuatu. Apalagi obrolan canggung yang dilakukan gadis itu setiap kali makan dengannya. Ia ingin mencoba bagaimana rasanya menggoda lebih jauh lagi. Seperti apa mimik wajah Reni.

“Bapak melakukan ini untuk balas dendam?”

“Tidak.” Pertanyaan Reni langsung dijawab Ilham. “Aku pikir jika denganmu mungkin bisa jatuh cinta lagi.”

Ilham bisa melihat wajah Reni terkejut, kemudian cuping telinganya memerah, berikut hidung dan seluruh wajah. Kali ini gadis yang resmi menjadi calon istrinya menutup wajah dengan kedua tangan.

***

“Ren, kamu belum jawab pertanyaan kami. Bagaimana bisa menaklukan Pak Ilham. Kamu tahukan dia ….”

Reni tersenyum, menoleh pada sang suami yang juga menatapnya. “Tidak tahu, mungkin kami sama-sama menemukan orang yang tepat.”
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
402
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.