Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

arganovAvatar border
TS
arganov
Maaf
Aku menerjang dengan gagah berani. Kurang ajar para pria yang usianya lebih tua dari kakakku ini. Apa kata mereka tadi? Bukan anak Papa!

“Wah … Sri dibela adiknya ya! Hei, Dik, kakakmu ini bukan kakak kandungmu!” seru mereka.

Perkataan mereka membuatku semakin marah. Mereka tidak tahu apa-apa. Bukankah Kakak juga lahir dari rahim Mama, tega-teganya mereka berkata seperti itu.

Kuambil segenggam pasir dan kulemparkan ke arah wajah mereka. Mereka terkikik geli dan segera menghindar. Lari mereka menjadi semakin kencang saat sebongkah batu berusaha aku gapai untuk dilemparkan.

“Sudah … sudah, biarkan saja.” Akhirnya Kak Sri menengahiku.

Usiaku baru sepuluh tahun dan rasanya gemas sekali setiap kali mendengar orang-orang mengejek Kak Sri. Punya hak apa mereka melecehkan kakakku yang cantik?

Kulempar batu yang sudah ada ditangan kembali ke tanah. Dari tempat kuberdiri, bisa terlihat orang-orang tadi tertawa riang karena sudah berhasil menganggu kami berdua. Lihat saja nanti jika bertemu lagi!

“Ma … kenapa, sih, orang-orang itu selalu ganggu Kakak?” tanyaku pada Mama.

Saat itu Mama sedang menyisir rambutku di depan pintu rumah. Terlahir dengan rambut ikal, aku selalu kesulitan untuk mengaturnya dengan baik jika tidak dibantu Mama. Makanya, rutin satu kali sehari sepulang sekolah atau sebelum berangkat Mama akan menyisir rambutku dan mengikatnya menjadi kepang dua.

“Kenapa memang?” Mama telah selesai dengan rambutku. Ia membuatku menoleh untuk melihatnya di sisi kanan tubuh.

“Mereka terus berkata kalau Kak Sri bukan kakakku. Kak Sri itu anak Mama, kan?” Aku memilih berdiri dan menatap Mama sambil menunggu jawaban.

Mama mengangguk dan kemudian membelai pipiku. “Tentu saja Sri anak Mama, kakaknya Anisa.”

Begitu mendengar itu aku meloncat kegirangan. Aku dan Kakak bagai pinang dibelah dua. Jika foto kecil kami disandingkan fakta itu sama sekali tak bisa dibantah. Kupikir sebaiknya membawa dua foto tersebut nanti dan menunjukkannya pada pria yang terus mengejek Kak Sri. Lihat saja, aku pasti bisa membuat mereka diam!

***

“Itu pasti karena aku tidak sekandung dengan Anisa, kan? Makanya Mama membedakan kami!”

Aku berhenti di ambang pintu rumah. Berusaha menolak pikiran yang langsung menjurus kepada pemilik suara. Tidak mungkin Kak Sri akan berkata demikian. Kami kan saudara!

Tak lama, ia muncul dari pintu dapur dan melintas begitu saja di sampingku. Bahkan aku sama sekali tidak sempat untuk menyapanya. Ada apa? Apa yang terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul seketika di dalam kepalaku.

Beberapa saat kemudian Mama juga muncul dari arah dapur. Beliau menyapaku sambil tersenyum dan menanyakan keadaan sekolahku. Aku bukanlah bocah kecil berusia sepuluh tahun lagi. Saat ini bisa kulihat tatapan Mama yang sendu. Sama seperti sebelumnya, tak ada sepatah kata pun terlontar masalah yang sedang dihadapinya.

“Kakak marah kenapa, Ma?” tanyaku penasaran.

Belaian di pipiku adalah jawabannya. Mama tak mau aku tahu masalahnya. Jika memang beliau tak ingin memberitahuku, maka aku bisa mencari tahu dari orang lain masalah Mama dengan Kakak.

“Anak kecil nggak usah ikut campur!” Kakak berkata sambil menudingku dengan tatapan penuh amarah.

Aku hanya terdiam. Kalimat-kalimat yang sudah kususun di dalam kepala untuk menghiburnya lenyap seketika. Ada rasa sakit yang tidak bisa kujelaskan, menyeruak di dalam hati. Mataku terasa perih segera.

“Aku cuma ingin tahu!” cicitku pelan.

“Andai saja kamu nggak ada ….” Kakak tak melanjutkan perkataannya. Ia mengepalkan jemarinya erat-erat dan memalingkan wajah.

Aku masih berdiri di tempat semula saat Kakak pergi. Untuk pertama kalinya, ia tak menoleh walau aku memanggilnya.

***

Entah sejak kapan, aku merasa Kakak menjadi semakin jauh. Aku tidak lagi merasakan apa-apa saat ia tak ada di rumah begitu aku pulang sekolah. Aku juga tak menangis saat dikatakannya akan pergi merantau setelah tamat SMA. Padahal dahulu saat masih kecil, aku selalu menangis walau hanya terpisaha selama beberapa jam.

“Jaga dirimu baik-baik di sana,” kata Mama pada Kakak.

Aku hanya berdiri diam memperhatikan. Kakak hanya melirikku sedikit dan melambai begitu mobil yang menjemputnya akan berangkat. Bagai patung, aku berdiri kaku dan hanya menatap belakang mobil hingga benar-benar menghilang. Saat itu tidak ada bedanya ada atau tak adanya Kakak di dekatku.

Selanjutnya aku hanya menjalani hari begitu saja, pergi dan pulang sekolah, bergaul dengan teman-teman, dan jatuh cinta.

“Nisa … kamu tidak rindu dengan kakakmu?”

Malam dua tahun setelah kepergian Kakak, Mama tiba-tiba menanyakan perkara rindu padaku. Karena pertanyaan itu, aku mulai berpikir tentang perasaanku. Apa aku sama sekali tidak merindukan Kakak? Atau aku telah berhasil membunuh rasa rinduku sejak kejadian itu?

“Tentu saja rindu, Ma,” jawabku setelah berpikir lama. Jelas aku berbohong, karena tak sedikitpun terbersit perasaan itu di dalam hati.

Mama mendesah. Wajahnya yang sudah keriput terlihat sedih. Dari tempat kududuk bisa kulihat Mama gelisah dan sama sekali tak bisa aku menebak apa yang sedang dipikirkan.

“Kakak pasti baik-baik saja,” kataku meyakinkan.

“Mama punya lima kakak laki-laki, tetapi tidak memiliki saudara perempuan.” Mama memulai kisahnya. “Nenek juga hanya anak perempuan tunggal. Saat kakakmu lahir dan kemudian ayahnya menikah lagi, Mama pikir takdir perempuan tunggal ini akan diteruskan. Namun, setelah menikah lagi dan kemudian kamu lahir, Mama sangat bersyukur.”

Mama diam sebentar, matanya yang teduh memandangku. Beliau pasti sedang menilai apa yang sedang kupikirkan.

“Kakak sangat iri padamu. Kamu besar dengan kasih sayang Papa dan Mama. Sementara ia merasa hanya memiliki Mama saja.”

“Kakak juga punya aku!” Aku berseru.

Sejak dulu aku selalu merasa begitu. Tidak ada bedanya antara Kakak denganku. Kami sama-sama anak Mama. Kami lahir dari rahim Mama yang sama. Tiba-tiba saja aku paham kenapa dulu Kakak diam saja saat dijadikan olok-olokan orang.

“Kamu jangan bertengkar dengan Kakak, ya. Kalian hanya memiliki satu sama lain. Jika Mama dan Papa tidak ada ….”

Aku tidak membiarkan Mama melanjutkan kata-katanya. Sebelum beliau sadar, aku sudah memeluk beliau erat-erat dan menangis.

Aku rindu Kakak. Aku sangat tahu hal itu. Namun, aku tak bisa mengakuinya.

“Ma, kapan Kakak pulang?” tanyaku.

Mama tersenyum dan membelai pipiku.

Kalau Kakak pulang, aku akan memeluknya erat-erat dan mengatakan betapa aku sangat sayang padanya.

***

“Kecelakaan mobil yang terjadi pada pukul 03:00 dini hari tadi menewaskan sopir dan beberapa penumpang mini bus. Para korban kini telah dievakuasi dan diserahkan kepada keluarga. Kecelakaan tersebut disebabkan karena rem yang tidak berfungsi dengan baik sementara jalanan sedang licin karena terjadi hujan lebat. Para penumpang yang selamat ….”

Mobil putih dengan sirene yang Cumiakan telinga itu sudah berhenti di depan rumah. Bagian belakangnya terbuka dan dari dalam brankar dorong berisi tubuh tak bernyawa diturunkan. Seharusnya Kakak pulang kemarin. Namun, karena harus melewati proses visum di rumah sakit, tubuhnya dipulangkan hari ini.

Begitu tubuh Kakak ditidurkan di atas kasur di tengah ruangan, Mama jatuh pingsan. Orang-orang membopongnya ke dalam kamar.

Tamu-tamu yang datang sejak tadi menghampiriku yang tersisa dan tetap duduk di sisi kanan kaki Kakak. Aku nyaris tak bergerak seperti patung. Seolah tahu dengan apa yang kurasakan, mereka memelukku dan membisikkan kata duka cita.

“Kamu tidak mau melihat kakakmu?” Papa berkata padaku saat jenazah Kakak dibawa masuk ke dalam rumah.

Aku sama sekali tidak menjawab. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Kakak pulang. Hanya saja aku tidak senang dengan kepulangannya yang seperti ini.

“Ke-kenapa kalian angkat Kakak?” Suara seperti orang tercekik saat melihat beberapa wanita mengangkat Kakak dari atas tempat tidurnya.

Mereka tidak menyahut, tetap saja mengangkat tubuh Kakak. Marah karena tak didengarkan, aku gelayuti kaki Kakak.

Kakak baru saja pulang, bagaimana mungkin mereka membawanya lagi! Aku sama sekali tidak terima. Aku meraung, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutku sama sekali tak jelas.

Papa yang melihat itu langsung menarikku dan memelukku erat-erat. “Iklaskan, Nisa. Biarkan Kakak pulang!”

Aku akan membiarkan Kakak pulang, tetapi kenapa ia malah dibawa pergi lagi. Aku senang Kakak pulang, tapi jangan bawa pergi lagi dariku. Aku belum minta maaf karena sudah mengacuhkannya sejak hari itu.

Maafkan aku! Maafkan aku! Aku sayang sama Kakak!
Diubah oleh arganov 12-09-2022 02:57
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
272
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.