[/Aku dan suamiku dari Canada..

Cerita perjalanan ke Indonesia Aku Marie dan suamiku Claude Rail


Indonesia: 264 juta negara terpadat di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat.Medan 4,3 juta.

Hari ini adalah hari yang menyenangkan ke Indonesia untuk mencari teman di sana yang sudah 37 tahun tidak saya temui.

Claude suamiku dan saya berangkat dengan shuttle Hotel 99 di Kuala Lumpur.
Penerbangan berlangsung kurang dari satu jam. Ketika kami tiba, kami dengan cepat melewati bea cukai dan dengan tergesa-gesa mencari teman saya Eka, memindai semua wajah wanita Indonesia di sekitar kami. 

Eka terjebak kemacetan dan tiba sekitar sepuluh menit .Kami berpelukan sangat erat, diliputi emosi. Dia memperkenalkan kami kepada putri sulungnya, Amalia, yang dijuluki Antie. 

Dia berumur 25 tahun dan bekerja untuk sebuah LSM.Kami bergabung dengan Anief, suami Eka, yang dengan sabar menunggu kami di dalam mobil. 

Sore harinya, Eka, Anief dan Antie membawa kami ke Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara. 

Museum ini berisi hampir 7.000 koleksi termasuk, reruntuhan budaya yang berkaitan dengan agama Batak dan Nias kuno.

Dua kelompok kecil mahasiswa muda dengan ramah meminta untuk mewawancarai kami. Mereka menanyakan beberapa pertanyaan tentang Kanada dan pengetahuan kami tentang Indonesia, malu tapi bangga berbicara dengan kami dalam bahasa Inggris.

Di halaman di luar museum, sebuah festival sedang berlangsung. Kami berlama-lama di booth promosi kopi sumatera di mana kami diberi rasa kopi hitam mereka yang luar biasa.

Setelah itu, kami pergi ke masjid Mesjid Raya. Ini sangat besar dan megah. Dengan selendang di kepala dan bertelanjang kaki, saya memasuki tempat salat mereka untuk mengagumi interiornya.

 Claude dan saya kemudian pergi ke belakang masjid untuk melihat kuburan dan makam raja-raja sementara suami dan putrinya sedang sholat.

Kami kemudian pergi melihat Istana Maimoon, bekas istana sultan yang terdiri dari 30 ruangan, beberapa di antaranya terbuka untuk umum. Kamar yang penuh warna, luas dan menyenangkan untuk dikunjungi.

Kami mengakhiri kunjungan kami dengan Tjong A Fie Manor. Tempat tinggal yang megah ini milik seorang saudagar Cina yang terkenal.  Sungguh bangunan bersejarah yang mengesankan!

Kami semua pergi makan malam bersama di sebuah restoran kecil “Makanan Jalanan” sekitar sepuluh menit.

 Kami bertemu putri bungsunya, Hanie. Yang ini berusia 23 tahun dan bekerja sebagai arsitek. Tempat tinggal keluarga mereka berada di area yang dijaga penjaga. Ini adalah rumah yang indah dengan tiga kamar tidur, salah satunya disediakan untuk kami. Kami menetap dan setelah mandi, kami mengakhiri malam dengan bersantai di kamar kami, lelah dari hari yang panjang tetapi senang menjalani pengalaman seperti itu!.


Di pagi hari, Eka sibuk menyiapkan sarapan.Saya ingin membantu tetapi Eka bersikeras agar saya tidak melakukannya, menjelaskan kepada saya bahwa dia memiliki pembantu rumah tangga yang datang setiap hari untuk mengurus pemeliharaan rumah.

Eka harus menghargai bantuan ini karena biasanya dia bekerja dari Senin hingga Jumat. Dia bangun jam 5 pagi untuk sholat, berangkat dari rumah jam 7 pagi dan pulang kerja jam 6 sore. Dia membutuhkan waktu 1 hingga 2 jam untuk berangkat kerja di pagi hari dan waktu yang sama untuk kembali di penghujung hari.

 
Eka adalah administrator sebuah perusahaan Perancis di Medan, sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri dalam pengolahan air.

Kami berangkat dengan sopir mereka menuju Danau Toba. Sebelum meninggalkan Medan, kami mampir ke Rheinard Tobing, mantan peserta Canada World Youth yang sudah 37 tahun tidak saya temui. 

Ibunya meninggal dua hari yang lalu dan dia mengawasi tubuhnya di rumah keluarga. Dia sangat senang melihatku.

Menariknya, Rheinard adalah penganut agama Batak. Eka menjelaskan kepada saya bahwa upacara pemakaman kelompok etnis ini kompleks dan tersebar selama beberapa hari. Saya sangat terkejut melihat semua poster raksasa yang terbuat dari bunga, menempel di tanah di sepanjang jalan tempat almarhumah tinggal.

Kembali di jalan, kami akhirnya meninggalkan Medan, kota industri yang sangat sibuk. Kami berhenti di Masjid Al Ikhlash. Saat Anief menghadiri salat Jumat khusus laki-laki, kami berjalan bersama Eka di desa kecil di belakang masjid. 

Dia menunjukkan kepada kami beberapa pohon buah-buahan: pohon mangga, pohon nangka, dan sebagainya.

 Eka pergi sholat secara bergiliran dengan para wanita di masjid. Kami menunggunya bersama Anief, kami bertiga mencicipi buah segar, duduk di bawah naungan pohon besar. Kami tiba di Danau Toba yang indah. Pemandangan luar biasa yang kami temukan.

Saya benar-benar kagum melihat matahari terbenam di atas danau dan melihat monyet di pinggir jalan. 

Ada yang berwarna cokelat, kera ekor panjang, dan kera abu-abu yang namanya tidak saya ketahui. Beberapa sangat besar dan mengesankan untuk dilihat.

Danau Toba adalah sebuah danau dengan panjang 100 km dan lebar 35 km yang terletak di bagian utara pulau Sumatera pada ketinggian 905 m. Ini adalah danau vulkanik terbesar di dunia.

Eka memilih untuk membawa kami ke Hotel . Kamar kami luas dengan balkon dan pemandangan danau. Terpesona oleh suasana magis ini, saya bergabung dengan Eka dan Anief di bawah. 

Saya sempat mengambil beberapa gambar bagus sebelum hujan mulai turun. Saya kemudian bergabung dengan Claude di kamar tidur.

Di awal malam, setelah Eka dan Anief berdoa, kami berempat pergi makan malam di restoran hotel. Seorang gitaris menyuruh kami bernyanyi di depan mikrofon, mengikuti lirik lagu yang ada di ponsel kami. Kami bersenang-senang sambil menikmati makanan Indonesia yang luar biasa.


Meninggalkan hotel untuk feri yang membawa kami ke pulau besar Samosir, melewati pasar jalanan Sabtu di mana sebagian besar buah, sayuran dan ikan dijual. 

[/center]

Adegan yang saya lihat membawa saya kembali 37 tahun ke perjalanan pertama saya ke Indonesia.

Di bawah langit mendung, kami tetap berada di dek selama 45 menit penyeberangan. Saya meluangkan waktu untuk menikmati setiap momen saat melihat pemandangan indah di sekitar danau.

[/center][center]Ou, Dinegeriku tidak ada monyet,lucu

Ketika kami tiba di semenanjung, pedagang yang mencari pelanggan mengundang kami untuk memasuki toko mereka yang dipenuhi dengan pakaian dan aksesoris tradisional Batak yang indah. Eka menawar kemeja untuk Claude dan celana untukku.

Kami pergi untuk melihat pameran rumah tradisional Batak seukuran aslinya. Pengunjung diajak menari dengan iringan musik etnik. Kami menghabiskan beberapa saat melihat mereka sebelum melanjutkan ke makam keluarga kerajaan Batak Karo di desa.

Kami kembali dengan feri ke Parapat di mana sopir kami sudah menunggu kami. Kami memulai perjalanan kembali, melewati Dataran Tinggi Karo. Jalan sempit dan di ketinggian ini memperpanjang kami tetapi tidak sia-sia. Menghadap ke danau, pemandangan indah yang kami lihat! Kami berhenti dua kali untuk memberi makan banyak monyet yang berkeliaran di sepanjang jalan dan dengan sabar menunggu penumpang di dalam mobil memberi mereka makanan.

Kami juga berhenti dua kali untuk mengamati gunung berapi Sibayak yang aktif dan gunung berapi Sinabung yang meletus, tetapi saat ini tidak menimbulkan bahaya bagi penduduk Batak yang tinggal di kota kecil di bawah ini.

Kami kembali ke Medan dengan kemacetan yang tidak pernah berhenti.
Aku akan pergi ke Banda Aceh,apalagi yang ada disana..

Banda Aceh juga Padang.
Dari Canada, Aceh dan Minangkabau..

Sumber,
https://voyagesdemarieblog.com/2019/...monde-2019-20/