dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Warga Taiwan soal Ancaman Invasi China: Hanya Anjing Menggonggong
Warga Taiwan soal Ancaman Invasi China: Hanya Anjing Menggonggong

Rabu, 10 Agu 2022 05:59 WIB



Sebagian warga Taiwan kekeh tidak khawatir soal rumor invasi China yang kian meluas dan hanya menilai ultimatum Beijing tak pernah lebih dari ancaman verbal. (Foto: REUTERS/ANN WANG)

Jakarta, CNN Indonesia -- Rumor ancaman invasi China terhadap Taiwan kian meluas usai ketegangan Beijing-Taipei memanas gegara lawatan Ketua DPR Amerika Serikat, Nancy Pelosi, ke Taipei 4 Agustus lalu.

China marah besar sampai-sampai mengumumkan menggelar latihan militer di sekeliling Taiwan sebagai tanggapan atas kunjungan Pelosi yang Beijing nilai mengancam kedaulatannya itu.

Sejak itu, China bahkan menembakkan belasan rudal, mengirim puluhan kapal perang dan jet tempur masuk ke Selat Taiwan. Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu bahkan meyakini latihan militer besar-besaran China ini dilakukan sebagai persiapan menginvasi negaranya.

Terlepas dari ancaman perang, sebagian warga Taiwan menganggap ultimatum China itu hanya gertakan biasa. Sebab, warga Taiwan telah lama hidup di bawah bayang-bayang ancaman China yang menganggap wilayah itu masuk kedaulatannya.

"Ini bukan pertama kali China melakukan (ancaman militer) seperti ini. Kami telah menghadapi situasi yang sama pada 1996. Banyak warga Taiwan yang tidak cemas dan takut soal latihan militer China ini," ucap seorang warga Taiwan, Chen Jing-Long, kepada CNNIndonesia.com pada Selasa (9/8).

"(Ibarat) anjing yang menggonggong tapi jarang menggigit, itu lah yang dilakukan China saat ini," ujarnya menambahkan.

Chen menegaskan ini bukan pertama kalinya pejabat asing, terutama AS, datang ke Taiwan. Ini, katanya, juga bukan pertama kalinya China kesal dengan lawatan pejabat asing yang berkunjung ke Taipei.

Menurut mahasiswa jurusan Administrasi Bisnis di National Cheng Kung University Tainan itu, lawatan Pelosi justru membuktikan bahwa ancaman China itu tidak ada dampaknya dan hanya mendorong semakin banyak warga hingga pejabat tinggi negara asing berkunjung.

Chen mengatakan warga Taiwan tidak begitu menyoroti lawatan Pelosi, pun begitu ancaman balasan militer dari China. Ia mengatakan situasi di Taiwan masih normal meski China terus melakukan latihan militer besar-besaran di sekeliling negaranya itu.

Belasan rudal China bahkan sempat melewati langit Taiwan dalam latihan tersebut.

Chen juga menilai lawatan Pelosi menegaskan AS memperhatikan Taiwan.

"Dalam kontribusi praktikal, saya mungkin bisa bilang (lawatan Pelosi) tidak berdampak apa-apa. Tapi ini sinyal dukungan kuat (AS) kepada kami," paparnya.

Chen juga menganggap reaksi "lebay" China dilakukan untuk mengalihkan perhatian warganya dari isu domestik. Hal itu menyusul pemilihan pemimpin baru yang akan berlangsung sebentar lagi di China.

Presiden China Xi Jinping disebut berupaya memperlihatkan pengaruh dan ketegasannya kepada warganya sendiri dengan merespons keras lawatan Pelosi ke Taiwan.

Meski begitu, Chen menuturkan ancaman invasi China terhadap Taiwan tetap ada. Menurutnya, itu hanya tinggal menunggu waktu saja.

"Saya pikir, China tidak akan langsung berperang dengan AS, tapi China justru berupaya mencari alasan untuk menginvasi Taiwan, seperti yang dilakukan Rusia kepada Ukraina," papar Chen.

"Saya menilai kami harus menganggap (ancaman militer China) secara serius, tapi saya tidak panik," katanya lagi.

Chen mengatakan sebagian besar warga lokal di wilayah itu sudah terbiasa dengan ancaman militer China. Ia menganggap sebagian besar warga Taiwan percaya cepat atau lambat China akan melancarkan pergerakan militer ke wilayah mereka.

Menurut Chen, bagi warga Taiwan, kekhawatiran terbesar terkait ancaman China itu bukan lagi soal apakah militer Cina akan menginvasi tanah mereka atau tidak.

"(Invasi China) ini soal kapan (itu akan terjadi)," ucap Chen.

"Sejak saya kecil, saya sudah tahu bahwa pemerintah China telah menggelontorkan banyak waktu dan sumber daya untuk mempersiapkan potensi perang (dengan Taiwan). Bahkan, sekarang, mereka masih gigih mencari-cari waktu dan tempat yang tepat untuk melancarkan pergerakan militer tersebut," paparnya menambahkan.



Sebagian warga Taiwan kekeh tidak khawatir soal rumor invasi China yang kian meluas dan hanya menilai ultimatum Beijing tak pernah lebih dari ancaman verbal. (Foto: Getty Images/Annabelle Chih)

Beberapa waktu lalu, Duta Besar China untuk Prancis, Lu Shaye menuturkan Beijing bakal menerapkan reedukasi atau pendidikan ulang setelah negaranya melakukan aneksasi ke Taiwan.

"Sepuluh tahun lalu, 20 tahun lalu, mayoritas populasi Taiwan menginginkan reunifikasi, tetapi, kenapa sekarang, saat ini, mereka menolak itu? Itu karena Partai Demokrasi Progresif (DPP) telah menyebarkan banyak propaganda anti-China," ujar Lu dalam wawancara bersama media Prancis BFMTV pada Rabu (3/8), kala ditanya soal keengganan rakyat Taiwan terhadap aneksasi China, dikutip dari Taiwan News.

Lu kemudian mengatakan, "Setelah reunifikasi, kami akan melakukan reedukasi."

Selain itu, Lu menyampaikan kampanye reedukasi ini bakal berlangsung damai dan tanpa ancaman. Ia kemudian mencoba meyakinkan warga Taiwan bahwa reedukasi ini tak bakal berbentuk edukasi massal.

Sebagaimana diberitakan Newsweek, konsep reedukasi sendiri memang digunakan Beijing untuk melabeli tindakan mereka terhadap kaum Uighur di Xinjiang, yang dikabarkan merupakan indoktrinasi politik.

China sendiri telah lama dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan, bahkan genosida di Xinjiang, lewat kamp interniran di wilayah itu. Kamp itu digunakan untuk memaksa asimilasi kultural antara minoritas Muslim Uighur dengan budaya Han.

Bagi pemerintahan dan pakar hukum Barat, kebijakan Partai Komunis China (PKC) tersebut dinilai sebagai genosida.

Chen menegaskan bagi sebagian warg Taiwan yang ditakutkan bukan lah soal invasi atau ancaman militer China lainnya. Ia menuturkan warga Taiwan lebih was-was bahwa budaya dan bahasanya akan hilang jika benar-benar menyatu dengan China.

"Dibandingkan dengan ancaman militer dari China, kami lebih takut dengan serangan dunia maya dan invasi budaya China," paparnya.

Chen menjelaskan semakin banyak remaja dan pemuda Taiwan menggunakan karakter huruf mandarin yang disederhanakan dalam penulisan seperti yang dipakai warga China. Selama ini, orang Taiwan menggunakan karakter penulisan huruf mandarin versi tradisional.

Chen juga bercerita makin banyak warga Taiwan yang terbiasa berbicara dengan bahasa gaul dan budaya pop China.

Media sosial, kata Chen, juga tak luput menjadi ancaman warga Taiwan terkait propaganda China. Sebab, ia mengatakan semakin banyak berita bohong dan propaganda pro-China yang berseliweran di media sosial.

"Ini menjadi fenomena sosial dan masalah besar di Taiwan. Sosial media menjadi senjata diam-diam China yang harus kami perhatikan," ujar Chen.

"Jika suatu hari Taiwan kembali disatukan lagi dengan China, (Taiwan) sudah pasti akan menjadi Hong Kong atau bahkan Xinjiang berikutnya. Itu artinya kami akan kehilangan semuanya yang kami miliki," tuturnya.

 https://www.cnnindonesia.com/interna...-menggonggong/


0
521
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita Luar Negeri
Berita Luar NegeriKASKUS Official
78.9KThread10.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.