- Beranda
- Stories from the Heart
Cinta Masa Lalu Itu Hanya Membawa Luka
...
TS
evywahyuni
Cinta Masa Lalu Itu Hanya Membawa Luka
Cinta Terlarang yang Memabukkan
Suara bising kendaraan terdengar akrab menyapa senyum garing seseorang yang terduduk di halte bus sendirian. Klakson bus dan angkot selalu menjadi alarm, pengingat dirinya untuk pulang dan tidak menghabiskan waktu percuma dengan duduk bengong tanpa hasil.
Laki-laki itu masih terpaku pada masalah yang dia hadapi, tak peduli betapa riuhnya gegap suara yang berseliweran. Ada perang yang sedang berkecamuk, batinnya terus berbisik membuat gundah, 'Haruskah semua ini terjadi? Arumi, maafkan suamimu yang pengecut ini."
Quote:
Laki-laki itu kembali mengingat perbuatannya bersama seseorang yang telah kembali dari masa lalu yang pernah dia kubur begitu dalam, ada perasaan bersalah yang cukup besar, tetapi rayuan dosa itu terlalu manis untuk dia acuhkan tanpa logika.
"Mas … kau masih mencintaiku, 'kan?" Bisik wanita itu lembut.
Lelaki itu hanya mampu terdiam dan memaku pandangannya pada sosok wanita yang sedang bersandar di dadanya. Sudah seminggu ini dia selalu bertemu dengannya dan selalu saja ditodong dengan pertanyaan itu. Kadang ingin diam membisu, tetapi tuntutan jawaban masih tetap dinantikan.
"Aku selalu mencintaimu, Aida, kautahu itu."
"Iyah … sayangnya kau selalu picik menilai hubungan kita, Mas. Terlalu banyak alasan yang kautawarkan hanya demi melanggengkan hubungan kita yang tanpa status ini."
"Bukankah rasa cinta di antara kita itu menjadi bukti kalau kita saling memiliki? Bukankah setiap malam sudah kuhabiskan waktuku bersamamu, Aida? Kurang apalagi?"
"Mas Fikram … hiduplah bersamaku, Mas. Dampingi dan temanilah Aku di setiap hela napas, tinggalkan saja dia," bujuk Aida sambil mengelus rahang Fikiran yang mulai mengeras.
"Arumi itu istriku, Aida. Walau pernikahan kami bukan atas dasar cinta, tetapi aku tetap harus bertanggung jawab atasnya. Terlebih lagi Arumi sedang mengandung anakku."
"Aku sudah kembali, Mas. Aku siap menjadi istrimu dan menjadi ibu untuk anak-anak kita nanti. Ceraikan perempuan itu dan bahagialah bersamaku," bujuk Aida lagi.
"Andai dulu kau tidak meninggalkanku, mungkin kini kita telah bersama dalam ikatan cinta yang sah, Aida," sesal Fikram. Ia mengecup lembut pucuk kepala wanita yang masih berada dalam dekapnya.
Aida adalah cinta pertama Fikram, mereka telah bersama sejak Fikram bergabung dalam sebuah lembaga kemahasiswaan di kampus yang sama. Hingga mereka lulus kuliah dan mulai mencari pekerjaan. Sayangnya, cinta Aida harus teruji saat dia menerima pekerjaan di luar pulau, padahal sebelum itu Fikram yang lebih dulu diterima bekerja di sebuah perusahaan advertising juga telah mengusahakan melobi para manajer agar Aida bisa diterima bekerja di perusahaan yang sama.
Setelah mendapat lowongan sebagai salah satu staf administrasi, Aida merasa gaji bulanan yang diterimanya terlalu kecil untuk ukuran dirinya yang sarjana dibanding teman kerjanya–Fitri–yang bergaji besar, padahal pendidikan Fitri hanya setara SLTA.
Secara diam-diam, Aida melamar pekerjaan secara online pada sebuah perusahaan sawit yang berada di pulau Borneo dan dia diterima dengan menjadi staf administrasi perkebunan dengan gaji dua kali lipat dari gaji yang dia terima di perusahaan advertising itu.
Setelah itu, Aida pun jujur pada Fikram. Semula lelaki itu keberatan kalau Aida harus meninggalkannya bekerja di luar pulau, bayangan teman kerja Aida yang pasti banyak berlainan jenis itu dikhawatirkan Fikram. Fikram tidak rela jika Aida menduakan cintanya. Namun, bukan Aida namanya kalau tidak berhasil membujuk Fikram. Ia berjanji akan tetap setia dan akan menjaga cinta mereka, walau harus LDR.
Akhirnya, setelah sekian purnama berlalu, Aida kembali. Setelah sekian lama terkurung dalam padatnya aktifitas sebagai staf administrasi perkebunan yang kadang menemani kepala pengawas lapangan meninjau lokasi perkebunan baru. Dia memutuskan untuk berhenti dan kini, Aida pulang membawa keutuhan cintanya untuk Fikram. Namun, apakah lelaki itu masih setia?
Kenyataan berpisah sekian lama itu tidak serta merta menjadikan Fikram lelaki yang bisa mempertahankan cinta. Dia begitu saja menerima kehadiran Arumi, seorang wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya, wanita yang bertemperamen lembut dan penurut, sejak menerima perjodohannya dengan Fikram, ia tidak pernah membantah atau menolak. Wanita berhijab itu patuh pada apa yang menjadi keputusan ayahnya terlebih lagi sejak orang tua Fikram datang mengkhitbah dirinya untuk anak lelaki semata wayang mereka.
Hingga pernikahan mereka dilangsungkan secara meriah, semua biaya pernikahan ditanggung oleh orang tua Arumi yang kaya raya. Wanita lulusan S2 Universitas Hasanuddin-Makassar itu tampil cantik dan memukau pandangan setiap tamu yang hadir pada saat proses ijab kabul mereka. Termasuk Fikram yang tak lepas memandang wajah cantik Arumi yang tertunduk malu-malu.
Setelah prosesi ijab kabul yang dilanjutkan dengan resepsi pernikahan selesai. Mereka berdua memasuki bilik yang berhias bunga-bunga segar hasil rancangan wedding organizer pilihan Arumi, setelah penyatuan mereka malam itu, Fikram pun bertekad mengubur cintanya pada Aida dan dia akan belajar mencintai Arumi, istrinya yang sah.
Siang itu, Fikram sedang menemani Arumi berbelanja di Mall Panakkukang, setelah berkeliling Arumi memasuki butik langganannya. Fikram yang merasa jenuh pun melangkah ke luar, secara tidak sengaja tangannya menyenggol seorang wanita yang berjalan terburu-buru.
Bruukk!
"Aduh! Maaf, tidak sengaja!" Fikram seperti mengenali suara itu.
"Hemm … Aida?" Segera membantu wanita itu berdiri kemudian menatapnya lekat-lekat
"Benar! Kamu, Aida, 'kan?" tegas Fikram.
Wanita itu baru saja merapikan barang bawaannya, sejenak terpaku menatap Fikram. "Kau … kau, Mas Fikram?"
"Iya, ini aku. Bukannya kau masih di Kalimantan? Kapan balik ke sini?"
"Aku–" Perkataan Aida terpotong ketika suara Arumi mengagetkanku dari belakang.
"Mas? Ada apa?" tanya Arumi. Pandangannya menyorot ke arah Aida, tanyanya lagi, "Dia siapa, Mas?"
"Eh … Aida, kenalkan ini Arumi, istriku. Arumi, kenalkan ini Aida, teman kerjaku dulu di kantor sebelum dia pindah ke Kalimantan." Fikram memperkenalkan keduanya.
Arumi tersenyum mengulurkan tangan. "Hai, Aida. Aku, Arumi … istrinya Mas Fikram. Salam kenal, ya," sapa Arumi dengan senyum lembutnya.
Aida yang sedari tadi terkejut saat Fikram memperkenalkan Arumi, berusaha menampilkan senyum terbaik sambil menerima uluran tangan Arumi. "Salam kenal juga, Arumi."
Suasana canggung setelah perkenalan dua wanita itu terasa mewarnai sekeliling mereka. Fikram segera memecah hening. "Bagaimana Arumi, sudah selesai belanjanya? Atau masih ada lagi barang yang mau kaubeli?"
"Ada beberapa barang lagi yang ingin kucari, ayo … Mas," ajak Arumi. Ia menoleh ke arah Aida. "Kapan-kapan datanglah ke rumah kami, Aida. Aku dan Mas Fikram akan senang menyambutmu."
Aida tersenyum kecut. "Terima kasih untuk kebaikan hatimu, Arumi. Aku masih sibuk mmbenahi rumahku beberapa hari ini, sampai jumpa lagi, Arumi … Mas Fikram" pamit Aida. Setelah menepuk bahu Fikram, dia pun gegas meninggalkan pasangan suami istri itu.
Fikram menatap cinta masa lalunya yang berlalu, sekeping rasa yang dulu ia kubur dalam-dalam mencuat dan mulai liar menari-nari dalam benaknya. 'Aida, kau semakin cantik sekarang! Terrnyata perasaanku kepadamu tidak pernah hilang, Aida ….'
"Hei, kenapa bengong, Mas? Ayo, jalan," tegur Arumi yang sudah melangkah terlebih dahulu kembali menggaet lengan Fikram. Dia heran melihat suaminya yang mendadak terhipnotis setelah bertemu dengan Aida.
"Ada apa dengan Aida, Mas? Apa hubungan kalian di masa lalu itu lebih dari sekadar hubungan teman kerja?" tebak Arumi telak menohok hati Fikram.
"Ahh, sembarangan saja. Ayo, jalan." Fikram melengos lalu melangkah mendahului istrinya.
Arumi hanya tersenyum kecut mengamati suaminya. 'Aku tahu kok, Mas,' batinnya. Lalu dia pun mengikuti Fikram yang sudah jauh di depan.
Quote:
"Jadi, apakah ini balasanmu untuk kesetiaanku, Mas!" Aida melayangkan protes saat dia dan Fikram bertemu di senja yang kelabu di pinggir pantai Losari nan temaram.
"Aku berusaha menghubungimu, Aida. Ponselmu tidak pernah aktif sejak kau di sana." Fikram berdalih.
"Itu bukan alasan yang dapat dijadikan pembenaran, Mas! Katakan pada istrimu kalau hanya Aku yang kaucintai, bukan dia!"
"Aida sayang, Aku tidak bisa menceraikan Arumi, dia istri yang direstui orang tuaku. Ayah Arumi adalah sahabat dekat ayahku, jangan meminta hal yang tidak bisa kulakukan, Aida."
"Mas, kau masih mencintaiku, 'kan? Ayo, katakan … Mas. Katakan kalau cinta kita masih ada, jangan mengingkari perasaanmu lagi, Mas. Kautahu, Aida-mu ini tidak pernah membunuh cinta kita, aku selalu setia padamu, Mas!" desak Aida.
Fikram segera membungkam bibir Aida dengan ciuman. Rasa rindu yang selama ini diagungkan kembali datang mengelus sukmanya, cinta yang dulu dianggap mati kini bersemi kembali. Mereka larut dalam leburan rasa, seakan tiada lagi hari esok. Cinta Aida dan Fikram memang kembali menyatu, tetapi sayangnya, bukan di saat yang tepat.
Fikram masih belum beranjak dari kediaman Aida, malam itu mereka kembali melabuhkan rasa dalam nuansa romantis bersama-sama. Sejenak Fikram melupakan akan keberadaan Arumi yang sedang menantinya di rumah.
Setelah merapikan dirinya kembali, Aida keluar menemui sang pujaan hati dengan wajah yang selalu berseri-seri, Aida selalu bisa membuai dan memanjakan Fikram dengan penuh selaksa kasih yang tiada henti. Bagaimanapun cinta Fikram telah tergenggam kembali, perlahan dia akan merebut Fikram dari Arumi. Aida tidak akan membiarkan cinta mereka layu bahkan mati, yakinnya pada diri sendiri.
Quote:
"Aku pulang dulu, Aida. Tidurlah … kau pasti sangat lelah malam ini," ujar Fikram yang telah memakai jaketnya dan bersiap meninggalkan kediaman Aida.
"Aku akan menunggumu besok, jangan lupa, Mas," balas Aida sambil memeluk Fikram.
"Iya, Sayang. Aku pulang, ya." Fikram mengecup kening lalu melepas pelukan Aida, gegas meraih helm yang terletak di dekat pintu, memakainya lalu beranjak ke luar.
Perlahan motor Fikram menjauh meninggalkan rumah Aida, pintu kembali tertutup rapat, seiring nyala lampu yang dipadamkan.
Aida lengah, sepasang mata sedari tadi memantau kediamannya. Setelah Fikram berlalu, sosok berjaket gelap itu segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.
"Baru pulang, Mas? Akhir-akhir ini pekerjaanmu bertambah banyak, ya?" Arumi bangkit dari sofa menyambut suaminya yang baru saja masuk.
Fikram gelagapan, ia tidak menyangka Arumi masih berjaga larut malam. " Eh, iya … hmmm itu, yaa … ituu, eeh perusahaan sedang ada proyek baru, jadi kami harus lembur menyelesaikan draft-nya sebelum diproses, gitu, Mi," sahut Fikram terbata-bata.
"Oh, gitu. Mas Fikram sudah makan? Jangan bilang Mas belum makan jam segini," selidik Arumi lagi.
"Eh, iya … Mas udah makan tadi di kantor. Ya udah, Mas gerah mau mandi dulu."
Fikram meninggalkan Arumi dan langsung masuk ke kamar. Arumi hanya tersenyum sinis melihat adegan salah tingkah suaminya. Sambil mengelus perutnya yang mulai membesar, dia menyusul suaminya masuk ke kamar.
Keesokan paginya, Arumi telah menghidangkan sepiring nasi goreng dan secangkir kopi manis di atas meja makan. Sambil menunggu suaminya ke luar kamar untuk sarapan, Arumi kembali membereskan dapur hingga bersih. Sesaat kemudian, Fikram keluar dengan setelan pakaian kantor yang rapi plus jaket yang setia membalut tubuh kurusnya.
"Sarapan dulu, Mas. Tuh, kopinya sudah mulai dingin," kata Arumi.
Fikram menuju meja makan dan langsung mencicipi kopi buatan istrinya. "Hmm … kopi buatanmu selalu enak, makasih, Mi."
Arumi tersenyum. "Hari ini tidak ada rapat lagi, 'kan, Mas?"
"Hemm, mungkin ada sedikit rapat dengan bagian keuangan, kenapa?" Fikram memperhatikan istrinya. Ada senyum yang tidak biasa ditampilkan Arumi.
"Ayahku memanggil kita ke rumahnya. Semalam beliau menelpon katanya mau bahas sesuatu yang penting gitu deeh."
"Lebih baik dirimu ke sana saja duluan, nanti Aku menyusul."
'Enggaklah, Aku nunggu Mas pulang ajah. Usahakan ya, Mas?" pinta Arumi.
"Hemm, baiklah." Fikram melanjutkan sarapan kemudian berangkat menuju tempat kerjanya.
Seperti hari sebelumnya, sore itu sepulang kerja, Fikram kembali menemui Aida. Dia membawa sebungkus gorengan tahu bulat. Tadi Aida mengirim pesan, dia lagi kangen ingin makan cemilan itu, untung yang jualan ada di dekat kantor Fikram.
Begitu tiba, Aida segera menyambut kedatangan Fikram dengan pelukan. Fikram pun membalas mencium kedua pipi, kening, serta tidak lupa mengecup bibir sang kekasih dengan lembut.
"Ini gorengan tahu bulat pesananmu, makanlah sebelum dingin." Fikram mengacungkan kantongan gorengan itu di depan Aida.
"Terima kasih, Sayang. Kau memang yang terbaik," imbuh Aida, dia lalu mengambil bungkusan itu dan memindahkan isinya ke dalam piring.
"Mass, cobain deehh …," rayu Aida sambil menyodorkan piring itu ke arah Fikram yang tengah duduk bersantai di sofa ruang tamu. Aida telah mengunyah cemilan itu dengan rasa senang.
Fikram yang sebenarnya tidak terlalu menyukai cemilan tahu bulat akhirnya memakan gorengan itu demi menyenangkan hati Aida. Begitu Fikram mencomot tahu bulat selanjutnya ia merasakan keanehan pada gorengan itu. "Enak apanya, Sayang. Kok rasanya makin aneh gini?" keluh Fikram. Ia segera ke dapur berniat mengambil air minum.
"Kok aneh, ini enak lho, Mas?" Aida kembali mencomot sebiji tahu berbentuk bola pingpong itu dan langsung mengunyahnya. Seketika ia pun merasa lehernya tiba-tiba panas dan sakit.
"Maas … maaass Fikraamm! Leherku sakit, Mas!" Aida memegang lehernya, dia tetiba merasa susah bernapas, dadanya langsung sesak dan dia seperti kesusahan menelan ludahnya sendiri. Aida gegas berlari ke dapur menyusul Fikram.
"Mas Fikram! Aakhh …!"
Aida masih sempat menjerit saat melihat tubuh lelaki yang dia cintai sudah terbujur kaku di lantai dapur sebelum akhirnya dia pun tumbang menimpa jasad itu. Keduanya menghembuskan napas terakhir membawa cinta terlarang dari masa lalu mereka bersama selamanya ke alam baka.
Tanpa diketahui, seseorang yang selama ini memantau aktifitas Fikram dan Aida menyusup masuk, tak lama kemudian orang itu keluar membawa sesuatu yang disembunyikan di balik jaket dan meninggalkan rumah itu tanpa ada siapa pun yang melihatnya.
Beberapa jam kemudian, kehebohan terjadi di rumah Aida. Warga sekitar menjadi panik setelah mengetahui dan menemukan sepasang mayat di rumah itu, mereka lantas berinisiatif menghubungi kantor polisi terdekat.
"Innalillahi wa innainnailaihi rojiuun, sabar ya, Nak. Mungkin ini semua sudah menjadi takdir Tuhan. Ayo, kita pulang." Ibu Syifa mengajak anaknya yang masih bersimpuh di makam Fikram. Arumi menyeka air matanya. "Bu, Mas Fikram itu cinta pertama Arumi, kenapa dia melakukan hal ini sama Arumi?" sesalnya.
"Sudahlah, Nak. Pasrahkan saja semuanya. Ibu dan ayah sudah melakukan apa yang kauinginkan dengan menikahkan kalian. Sayangnya … Fikram malah membelenggu dirinya dengan cinta masa lalunya, biarkan dia tenang di alam sana. Ayo, kita pulang … tak lama lagi hujan akan turun. Ingat kandunganmu, Nak!"
Arumi celingak-celinguk mencari sosok ayahnya. "Ayah di mana, Bu?"
"Ayahmu sudah di mobil, ayo … bangun." Ibu Syifa membantu Arumi berdiri. Keduanya melangkah menuju parkiran.
Di dalam mobil, Pak Arga--ayah Arumi–menatap istri dan anaknya dari kejauhan. 'Laki-laki sampah itu memang tidak pantas untukmu, Arumi,' gumamnya sambil tersenyum puas.
TAMAT.
volcom77 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
4.6K
206
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.1KThread•45.6KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya