Bab 5. Santet Kembang Bayang
Sebuah mobil Pajero Sport exceed keluaran tahun 2014 melaju diantara rimbunan perkebunan sawit, sesekali sang pengemudi mobil menatap wanita yang duduk di sebelahnya dengan tatapan cemas.
“Sabar, Bu. Bapak juga sebenarnya sudah lelah ke sana sini demi pengobatan putri kita, bapak berharap ini jadi usaha terakhir kita berikhtiar demi kesembuhan putri kita dari penyakit anehnya itu,” kata lelaki yang mengenakan kemeja hitam, wajahnya tergurat rona kecemasan, kedua matanya terlihat sedikit merah, dan tampak cekungan berwarna semu kehitaman di area sekitar matanya.
“Aku gak habis pikir, Pak. Apa salah kita sampai-sampai putri kita terkena penyakit aneh begitu.” Wanita itu mengusap keningnya yang berkeringat.
Ketika waktu menuntjukkan pukul 4 sore, mobil yang membawa sepasang suami istri itu akhirnya tiba di sebuah rumah tempat tujuan mereka. Rumah itu memiliki halaman yang luas, tetapi rumahnya sendiri hanyalah sebuah rumah berukuran kecil yang dinding-dindingnya terbuat dari papan dan sudah terlihat beberapa diantara mulai lapuk dan berlubang.
“Apakah kita nggak salah alamat ini, Pak?”
“Kalau menurut alamat yang tertulis di sini jelas nggak salah lagi, ini rumah orang pintar yang di ceritakan oleh sahabat bapak kemarin.”
Kedua orang itu turun dari pajeronya, lalu melangkah ke arah pintu rumah. Tercium aroma setanggi yang di bakar dari dalam rumah, aroma yang begitu khas seperti yang selama ini mereka dapati juga dari rumah-rumah orang pintar yang pernah mereka datangi untuk mengobati sakit putri mereka, namun dari semua orang pintar yang telah mereka kunjungi itu tak satu pun yang berhasil menyembuhkan sakit putri mereka, yang terjadi kadang di antara orang pintar itu ada yang muntah darah bahkan sampai pingsan di depan mata mereka, hingga akhirnya seorang teman lamanya yang katanya pernah berobat dari penyakit anehnya yang lama tak kunjung sembuh, dan sosok yang mengobatinya adalah seorang lelaki setengah baya yang tinggal di dalam rumah dihadapan mereka saait ini.
“As salaamu’ alaikum.” Kata lelaki berkemeja hitam itu seraya mengetuk pintu rumah bercat kapur putih.
“Wa ‘alaikumus salaam. Masuk saja, pintunya tidak terkunci.” Sebuah suara berat sedikit serak menjawab dar dalam rumah.
Suara pintu berderit, kedua tamu yang berasal dari jauh itu pun masuk.
“Silahkan duduk. Langsung saja, katakan apa keperluan kalian datang kemari?” ujar lelaki yang saat itu duduk di salah satu kursi di ruang tamu tersebut.
“Apa benar Bapak ini yang di panggil Kang Sukir?” tanya sang lelaki dengan nada penuh kehati-hatian.
“Ya benar, Saya Sukirman. Orang-orang biasa memanggil saya Kang Sukir. Jadi Bapak dan Ibu bisa memanggil saya dengan panggilan Kang saja, biar akrab. Tidak usah terlalu segan kepada saya,” jawab Kang Sukir dengan nada suara yang leboh lembut, sesungging senyuman terukir di wajahnya.
“Begini, Kang. Langsung ke intinya saja. Sudah hampir satu tahun ini putri kami tidak bisa turun dari tempat tidurnya, kondisi fisiknya awalnya biasa-biasa saja, tetapi kalau dia turun dari tempat tidur maka wajahnya akan spontan memucat dan lemas, kalau dipaksakan maka ia akan muntah darah. Jadi … maaf, akhirnya putri kami makan minum serta buang hajatnya hanya di kamarnya saja. Sudah puluhan orang pintar kami datangi untuk meminta bantuan menyembuhkan, tetapi semuanya gagal, Kang. Jadi maksud kedatangan kami ke sini tidak lain untuk meminta bantuan Kang Sukir, andai saja putri kami bisa kami bawa kemari niscaya akan kami bawa, kang. Tetapi …. Maka dengan penuh harap kami memohon dengan sangat agar kang Sukir bersedia membantu kami.” Usai menjelaskan tentang apa yang menjadi keperluannya pak Rudi menyerahkan selembar kartu namanya kepada Kang Sukir.
Sepasang suami itu terdiam, menunggu jawaban dari Kang Sukir, keduanya sedikit terlihat khawatir kalau Kang Sukir menolak permintaan mereka.
Kedua alis Kang Sukir berkerut nyaris saling bertaut, matanya tajam menatap bergantian ke wajah sepasang suami istri itu, lalu perlahan dia memejamkan matanya, hal itu tidak berlangsung lama karena selanjutnya Kang Sukir kembali membuka matanya dan menghembuskan napas panjang.
“Maaf sebelumnya, nama bapak dan Ibu?”
“Saya Rudi Hartono dan ini istri saya Sinta Amelia, sedangkan Putri kami bernama, Vira Saraswati.”
Sukirman mengangguk-anggukkan kepalanya. “Saya akan bantu kalian, tetapi ….” Sukirman terdiam tak melanjutkan kata-katanya, dari penampilan mereka sudah jelas bahwa tentulah mereka bukan orang biasa, kalau tidak anggota Dewan paling tidak tamunya kali ini tentulah seorang pengusaha kaya raya.
“Oh iya, saya mengerti, Kang. Katakan saja berapa biaya yang harus kami persiapkan?” kata Rudi Hartono.
Sukirman senang mendengarnya, dan tanpa basa-basi Sukirman pun menyebutkan nominal yang harus mereka siapkan. Awalnya mereka terkejut karena tak menyangka dengan jumlah yang Sukirman minta.
“150 juta, itu jumlah yang saya minta. Tetapi tenang saja, saya tidak meminta itu sekarang, cukup transfer saja ke nomor rekening ini sejumlah 50 juta, itu bukan buat saya, tapi untuk mereka, dan insya Allah doa mereka juga yang akan membantu kesembuhan Vira putri kalian. Sisanya yang 100 juta akan saya minta jika saya benar-benar berhasil menyembuhkan putri kalian. Bagaimana? Jika kalian setuju saya akan berangkat malam ini juga ke tempat kalian. Tapi kalau kalian keberatan, ya saya pun tidak akan memaksa, silahkan cari orang pintar lain saja, saya bukan sedang bertransaksi jual beli, jadi saya tidak menerima tawar menawar,” ucap Sukirman dengan nada pelan namun cukup tegas, di serahkannya selembar kartu nama, dalam kartu itu memang tertulis sebuah Yayasan Yatim Piatu, berikut alamat dan nomor rekeningnya.
“Baik, Kang Sukir. Tetapi maaf, seandainya kang Sukir tidak berhasil menyembuhkan bagaimana?”
“Pak Rudi, tolong di catat baik-baik ya. Tugas saya hanya berikhtiar dan berdoa untuk kesembuhan Putri Anda, tetapi apakah nantinya putri Anda akan sembuh atau tidak itu bukan kewenangan saya, tetapi Hak mutlak hanya di tangan Allah Swt. Jadi kalau ternyata putri Anda tidak sembuh, maka saya tidak akan meminta sepeser pun kepada Anda, dan soal uang 50 juta yang saya minta itu, anggaplah itu sebagai shadaqah Anda sendiri, bisa dimengerti?”
“Iya, Kang. Kami mengerti. Maaf jika pertanyaan saya tadi terkesan lancang, karena kami benar-benar ketakutan jika harus kehilangan putri kami satu-satunya.”
“Ya ya. Saya bisa mengerti apa yang Pak Rudi dan Bu Sinta rasakan. Mohon maaf, karena saya masih ada keperluan lain, jadi sebaiknya bapak dan ibu bisa pulang sekarang. Seusai urusan saya, baru saya akan berangkat ke Bandar Lampung.”
Akhirnya Pak Rudi dan istrinya berpamitan pulang, Pajero Sport Exceed itu pun melaju meninggalkan rumah Sukirman dengan membawa harapan baru, harapan kesembuhan bagi putri mereka, Vira Saraswati.
===
Malam harinya Sukirman kembali kedatangan tamu, dua orang laki-laki, yang tidak lain adalah Pak hendarto dan anak lelakinya, Agung Bagaskara. Sukirman tak enak hati untuk menerima apalagi meminta uang untuk pengganti bantuannya, karena secara tidak langsung jasa pak Hendarto begitu besar bagi Sukirman pribadi, betapa Pak Hendarto dan keluarganya sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri.
Tetapi tak bisa dipungkiri kalau masalah yang dihadapi oleh tamunya sore tadi jauh lebih mendesak, maka Sukirman memutuskan untuk menggunakan ilmu Pengganda Jasad yang dimilikinya untuk membantu masalah yang dihadapi keluarga Pak Hendarto, lagi pula karena masalah yang dihadapi ini terkait dengan Kuntilanak, maka Sukirman bisa meminta bantuan sahabatnya, Yudistira untuk mewakilinya berangkat ke Medasari.
Setelah Pak Hendarto dan anaknya pulang, Sukirman bergegas mengambil sepeda motornya dan berangkat malam itu juga ke rumah sahabatnya, Yudistira.
===
Tangan kekar Sukirman meraih kotak rokok Sampoerna Kretek di meja, kemudian dengan kedua tangannya memilin-milin rokok tersebut dan membuang tembakau yang keluar dari ujungnya. Itu sudah menjadi kebiasaan Sukirman sebelum menikmati rokok kegemarannya tersebut, tentu saja hal itu Sukirman lakukan agar hisapannya nanti tidak terlalu padat. Yudistira menatap wajah sahabat lamanya itu dengan pandangan menyelidik, seakan dia merasa ada hal yang tengah Sukirman sembunyikan darinya dan Yudistira bisa rasakan itu.
“Memangnya Kuntilanak macam apa yang akan kamu hadapi sampai-sampai kamu bela-belain tengah malam menjemputku, Kang?” Yudistira menangkupkan jari-jemari kedua tangannya, badannya sedikit memutar dan kini menghadap ke arah di mana Sukirman duduk. Yudistira menunggu dengan tetap menatap Sukirman tajam.
“Kuntilanak biasa, tetapi soal bantai membantai Kuntilanak itu lan sudah jadi spesialis kamu toh? Rasanya gak adil kalau aku membantainya sendiri.”
“Alasan saja kamu, Kang. Ngomong-ngomong tujuan kita kemana?”
“Medasari, besok malam. Kita berangkat sore saja.” Ekspresi wajah Sukirman datar-datar saja, seakan menghadapi Kuntilanak yang kini meneror Desa Medasari adalah hal remeh yang tak perlu dipikirkan dalam-dalam.
“Bukankah di Medasari ada orang sakti juga, Kang. Kalau aku tak salah ingat namanya ….” Yudistira mencoba mengingat-ingat kembali sosok sakti yang pernah ia Jumpai di Desa Medasari.
“Pak Purnomo.” Sukirman menyela.
“Nah itu maksudku.”
“Masalahnya Kuntilanak yang akan kita hadapi adalah jelmaan almarhumah putrinya sendiri yang jasadnya dikuasai sesosok Kuntilanak lain. Aku belum bisa menerka darimana asal makhluk itu, tetapi pasti ada dalang dibalik kehadiran sosok Kuntilanak yang mengendalikan jasad Dewi. Pak Purnomo sendiri seolah diam saja dan tak percaya kalau anaknya gentayangan menjadi hantu.”
“Maksudmu … Dewi Anggraini, Kang?” Yudistira sontak terkejut demi mendengar penuturan sahabatnya itu, “Bukankah Dewi kabarnya bekerja di Jakarta?”
“Iya, tapi sudahlah, hari sudah hampir Shubuh, sebaiknya kamu tidur dulu, lumayan walau hanya satu atau dua jam paling nggak bisa membuat tubuh kita akan jauh lebih segar esok hari. Setelah semua ini berakhir nanti akan kuceritakan kisah selengkapnya.” Sukirman mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah batang itu, lalu menuju kamarnya dan meninggalkan Yudistira yang masih duduk di kursi dengan kening berkerut penuh tanda tanya. Yudistira pun akhirnya bangkit menuju kursi panjang, membaringkan tubuhnya dan beberapa menit kemudian dia pun sudah tertidur pulas.
===
Sejak pukul satu siang Yudistira tidur di kursi panjang setelah berbincang tentang masa-masa yang pernah mereka berdua jalani dulu. Sukirman sendiri di dalam kamar tengah duduk bersila sambil memejamkan mata, bibirnya berkomat-kamit merapalkan mantra Pengganda Jasad, sebuah Ilmu yang jarang sekali Sukirman pergunakan sepanjang sepak terjangnya selama ini, karena memang titik lemah dari Ilmu Pengganda Jasad yang dimilikinya adalah dia harus membagi setengah dari energi tubuhnya kepada sosok dirinya yang lain itu, butuh waktu paling tidak sampai sebulan sebelum energinya benar-benar bisa kembali pulih secara utuh seperti sedia kala.
Kalau pun kali ini Sukirman terpaksa mengeluarkan ilmunya itu karena dia dalam kondisi terjepit di antara dua masalah besar yang sama-sama pentingnya, Sukirman bisa saja mengutus sahabatnya sendiri untuk melawan Kuntilanak yang meneror Desa Medasari, tetapi mengingat orang yang meminta bantuannya adalah orang yang punya jasa besar yang membuatnya jadi sesakti sekarang, maka mau tak mau dia mesti datang juga ke Desa Medasari meski bukan sebagai wujud asli dirinya.
Perlahan-lahan di hadapan Sukirman tampak satu sosok yang benar-benar mirip dengan dirinya, hingga sosok itu mewujud dengan sempurna barulah Sukirman membuka kedua matanya yang sejak tadi terpejam.
“Aku memerintahkanmu untuk pergi bersama sahabatku, Yudistira, ke Desa Medasari. Datangi makam Dewi Anggraini dan bunuh Kuntilanak yang menebar teror itu, aku akan berangkat ke Bandar Lampung sekarang untuk sebuah urusan besar.”
“Baiklah, Tugasmu akan kulaksanakan dengan sebaik-baiknya,” kata Sosok Sukirman yang lain.
“Bagus, sekarang aku harus bersiap-siap berangkat sebelum Yudistira terbangun dari tidurnya dan tahu kalau kamu bukanlah diriku yang sebenarnya.”
Sosok Sukirman yang lain itu hanya mengangguk, dia hanya mematung menyaksikan Sukirman asli memasukkan beberapa lembar pakaian dalam sebuah tas, setelah semua persiapan dirasa cukup Sukirman lalu keluar kamar, sejenak dipandanginya sosok Yudistira yang masih terlelap, “Maafkan aku, Sahabat. Aku percaya bahwa kamu bisa memusnahkan makhluk jahat itu.”
Sukirman lalu keluar dari rumahnya, setelah menutup pintu dia melangkah dengan tegap berjalan cepat ke arah pasar, di mana dia akan mencari sebuah mobil travel yang akan membawanya ke kota Bandar Lampung. Sebuah petualangan baru telah menantinya di sana (tentang kisah bagaimana Petualangan Sukirman di Kota Bandar Lampung akan saya buat di cerita tersendiri dengan judul yang sama dengan bab ini).
===
Sukiyat yang mendengar suara mobil berhenti di depan rumah sahabatnya, Jarot, segera meletakkan sendok makan yang tengah di pegang, matanya tampak berbinar-binar hingga kegiatan makannya langsung terhenti, dia bangkit lalu membuka pintu rumah, sebuah Jeep Wrangler Rubicon berwarna Dark Metallic sudah terparkir di sana, dua lelaki berbadan besar memakai jas hitam dengan kaca mata hitam keluar dari dalam jeep.
“Apakah Anda yang bernama Sukiyat?” tanya salah seorang kepada Sukiyat yang masih berdiri di depan pintu rumah, menatap takjub pada mobil jeep dan pakaian yang dikenakan 2 orang pengendaranya itu.
“Benar sekali. Saya Sukiyat.”
“Kalau begitu kita berangkat sekarang ke Menggala.”
“Maaf, saya tadi sedang makan, apa tidak sebaiknya saya selesaikan dulu?” pinta Sukiyat.
“Sebenarnya urusan kami sangat mendesak, kami hanya diperintahkan Bos untuk menjemput Anda.”
“Kalau begitu, ayo masuk dulu.”
Kedua lelaki itu masuk ke dalam rumah mengikuti Sukiyat, selesai makan Sukiyat lalu masuk ke kamar Jarot yang saat itu masih tidur, membangunkannya kemudian berpamitan pergi meninggalkan rumah Jarot bersama dua lelaki berjas hitam. Jeep pun melaju meninggalkan kepulan debu tanah, dilepas tatapan Jarot yang sayu karena masih mengantuk. Jarot lalu menutup pintu rumah dan melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu.
===
Pukul sebelas pagi jeep yang membawa Sukiyat berhenti di halaman parkir yang luas di sebuah hotel ternama di Menggala, tak terasa perjalanan selama tiga jam lebih itu pun akhirnya tiba di tujuan. Ketiga orang itu keluar dari jeep lalu masuk ke dalam hotel, setelah menaiki tangga mereka menuju sebuah kamar dan mengetuknya. Pintu kamar terbuka, seorang lelaki yang mengenakan setelan jas yang sama mempersilahkan mereka masuk, di ujung kamar yang menghadap balkon terlihat seorang pria duduk membelakangi mereka, di tangannya tergenggam sebuah cerutu.
“Sukiyat, kemarilah. Kalian bertiga silahkan keluar dari kamar ini.” Dua lelaki yang tadi mengantar Sukiyat dan satu lagi yang membukakan pintu tadi membungkuk hormat lalu pergi meninggalkan kamar yang kini hanya ada lelaki yang duduk di Balkon kamar hotel, Sukiyat berjalan mendekati lelaki itu.
“Selamat datang Sukiyat, silahkan duduk,” ujar lelaki itu, dia membalikkan badannya, tampaklah seraut wajah lelaki yang tampak ramah, sebagian rambutnya sudah memutih, dia lalu meraih sebuah botol minuman dan menuangkan isinya ke dalam sebuah gelas lain yang sudah tersedia di meja.
“Terima kasih karena kamu datang juga hari ini memenuhi undanganku, sekali lagi aku juga mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu tempo hari, kalau kamu mau bergabung dengan kami, tentu saja kami akan merasa senang,” ucap lelaki itu seraya menghisap cerutunya.
“Saya bersedia bergabung. Lalu apa yang harus saya kerjakan?”
Lelaki itu tertawa kecil, “Aku senang mendengarnya, tapi aku ingin melihat kepandaianmu yang lain, yaah ... paling tidak sekedar memantapkan saja bahwa aku tidak salah pilih merekrutmu ke dalam keluarga besar kami.”
Sukiyat kaget, ada sedikit kemarahan di hatinya mendengar ucapan lelaki itu yang seakan secara tidak langsung meremehkan kemampuannya.
“Baiklah, sekarang perhatikan botol ini,” Sukiyat mengambil botol minuman yang masih berisi setengah itu lalu melemparkannya ke udara di depannya, masih dengan kedua matanya menatap lelaki itu dengan cepat Sukiyat mengarahkan telunjuk kanannya ke arah botol tadi terlempar, detik berikutnya botol tersebut langsung hancur berkeping-keping di udara, seakan ada sebuah peluru yang mengenainya.
Lelaki itu tertawa terbahak-bahak seraya bertepuk tangan dengan keras, ia benar-benar merasa puas dengan apa yang baru saja dilihatnya.
“Selamat bergabung dengan Geng Naga Halilintar.” Lelaki itu menyalami Sukiyat.
Tiba-tiba sebuah suara dering telepon berbunyi, lelaki itu meraih ponselnya, “Halo, ya ya, aku akan segera ke sana.”
Lelaki itu bangkit, “Sukiyat, maaf tidak bisa menemanimu siang ini, tetapi nanti akan ada seseorang yang datang untuk melayanimu, kamu bisa sepuasnya bersenang-senang dengannya. Semua biaya sudah aku tanggung, aku mungkin akan kembali agak malam. Ok?”
Tanpa menunggu jawaban Sukiyat, lelaki itu lalu berjalan ke arah pintu. Tak lama kemudian Sukiyat mendengar suara mobil pergi meninggalkan parkiran hotel.
Setelah puas menikmati pemandangan dari balkon kamar hotel, Sukiyat beranjak untuk membaringkan tubuhnya, namun seketika pintu kamar ada yang mengetuk.
Sukiyat pun membuka pintu kamar, lagi-lagi Sukiyat dibuat terpana dengan apa yang dilihat, sesosok perempuan berwajah cantik, tinggi, bertubuh langsing dengan rambut sebahu, memakai pakaian berwarna hijau cerah, begitu sexy, membuat Sukiyat tanpa sadar menelan air liurnya.
“Selamat siang, Mas Sukiyat. Boleh aku masuk?”
===
Sepanjang jalan Sukirman hanya termenung, matanya menatap pemandangan di luar jendela mobil dengan tatapan kosong, apa yang akan Sukirman hadapi nanti di Bandar Lampung mengingatkannya kembali kepada almarhumah istrinya, Murniati. Bedanya adalah dulu istrinya meninggal karena terkena santet Getih Sewu, sementara yang ini, Sukirman sudah bisa menyimpulkan, adalah Santet Kembang Bayang, sebuah santet yang tidak kalah ganas dibandingkan dengan santet Getih Sewu.
===