Demi menyelesaikan misi Perjalanan #BikinBanggaIndonesia yang diadakan oleh KASKUS x FEDERAL OIL,  saya pun tertantang untuk share pengalaman ke Bromo sebulan lalu dengan naik motor sekaligus menceritakan suka duka pemuda jompo touring ala sensasi ‘healing’.

Bromo menjadi salah satu wisata favorit dengan pesona alamnya yang indah. Jalanan berkelok, tanjakan vs tikungan tajam memang menguji adrenalin. Eits tapi tak mengapa meskipun menantang, tapi bila disuguhi spot-spot menarik tidak akan terasa melelahkan kok, dijamin.



Perjalanan kami mulai dengan Vario 125 dari Gresik menuju Pasuruan via Nongkojajar. Motor yang kami kendarai pun terbilang cakram dan gas pol siap taklukan Bromo seharian. Bekal teh panas dengan wadah termos mini pun tidak ketinggalan. Meskipun begitu perjalanan tanpa drama bagai sayur tanpa garam, rasanya kurang lengkap. Banyak hal – hal mengesankan yang kami alami disini, mulai ribetnya proses reservasi hingga gagal menuju lautan pasir.

Tetring Internet untuk Reservasi Online
Sebelum memasuki kawasan Bromo, pengunjung diwajibkan untuk melakukan reservasi secara online dengan membuka website resminya. Setelah  itu mencatumkan tujuan, daftar anggota atau rombongan yang ikut hingga identitas. Setiap pengunjung akan dikenakan biaya 25.000 untuk tiket masuk dan 4.000 untuk asuransi, sedangkan untuk tiket masuk hari libur umumnya dikenakan biaya 34.000/orang.

Waktu itu saya yang ditugaskan untuk mendaftar pun hanya bisa geleng-geleng karena susahnya internet dari provider yang saya gunakan. Untungnya, provider yang kakak saya gunakan masih bisa memberi sinyal positif. Bahkan tidak tanggung-tanggung, saya pun juga mendaftarkan orang lain yang tidak saya kenal karena Ia pun kesulitan untuk melakukan reservasi.

Bertemu Suku Tengger yang Cantik dan Tampan



Bukan sekedar membahas fisik, tapi juga kehangatan. Suku asli Tengger memiliki cara tersendiri untuk menyambut tamu. Sepanjang perjalanan bila bertemu pasti mereka tak sungkan untuk menyapa terlebih dulu. Bukan itu saja, bahasa yang mereka gunakan pun khas dialek Tengger, rika, ingsun, paran dan sebagainya.
Saya pun mengamati hampir semua menggunakan sarung. Ya tentu untuk melindungi diri dari suhu udara yang dingin. Namun uniknya, penggunaan sarung pun memiliki makna tersendiri yaitu sebagai penanda ucapan bahkan perilaku.

Gagal Menuju Lautan Pasir

Meski sudah direncanakan secara matang, tentu ada saja hambatan. Setelah sampai di Bukit Teletubies dan melangsungkan ritual “foto-foto” ternyata saudara saya yang rumahnya di Pasuruan harus bergegas pulang karena ada kegiatan mengajar yang tidak bisa ditinggal.

Meski diliputi penyesalan tapi setidaknya sudah tahu secara langsung penampakan Gunung Bromo dari kejauhan. Dalam hati daku berkata "padahal tinggal sedikit lagi", yah sepertinya belum berjodoh menikmati Bromo dari titik terdekat.

Ganti Oli Mesin Gratisan
Setelah sampai di rumah saudara di Pasuruan, motor kami kemudian mendapatkan perawatan khusus bahkan ganti oli tanpa biaya sepeserpun alias gratisan.

Masih banyak cerita yang kami alami selama perjalanan salah satu yang menarik adalah bertemu kawanan kera di tengah perjalanan. Uniknya dua diantara kami mengetahui ada satu kera putih diantara puluhan kera hitam, agak merinding sih. 

Sekalipun para pemuda gemar travelling menggunakan motor, koyo cabe dan freshcare tetap jadi bawaan wajib yang tidak boleh ketinggalan.