• Beranda
  • ...
  • Domestik
  • Lika-liku Romansa Perjalanan ke Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat

enyahernawatiAvatar border
TS
enyahernawati
Lika-liku Romansa Perjalanan ke Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat
Spoiler for Kantor Bupati Sumbawa Barat:


Kabupaten Sumbawa Barat, alternatif lain liburan keluarga yang berbeda.

Assalamualaikum Sahabat Kaskuser semuanya. Hai, hai, hai, jumpa lagi, ya, dengan Enya di cerita jalan-jalan dalam negeri, mengeksplor negara sendiri.

***EHZ***

Rencana bepergian.

Aku tertegun mendengarkan Pak Suami berbicara. Laki-laki yang telah menemani hidupku hampir seperempat abad lamanya. Laki-laki yang hobi mengukur jalan. Laki-laki yang akhirnya membawaku menggapai impian masa kecil, memuaskan dahaga, menikmati satu negeri ke negeri lainnya.

Dan, di sinilah tujuan kami sekarang. Di negeri yang dulunya hanya kutahu dari gambar yang kulihat dari buku pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di sekolah dasar. Negeri, yang katanya memiliki stepa dan sabana terluas di Nusantara. Negeri, pemilik banyak kerbau, sapi, dan kuda yang dilepas begitu saja berlarian di padang rumput dan di rawa. Negeri, yang akhirnya menjadi impian kami untuk ke sana. Sumbawa.





Indah. Negeri itu sepertinya sangat indah. Begitulah teman hidupku itu menjelaskan untuk membujuk kami agar mau menemani dirinya ke sana, setelah ia berkali-kali mencari semua informasi tentunya.

"Nanti, kita bisa melihat kuda," katanya. "Banyak kerbau dan juga sapi." Berulang kali ia membujuk seperti itu.

Kata sahabat baiknya yang asli orang Bima, di situ ... sapi tak dibuatkan kandang. Tak perlu. Binatang-binatang itu dilepas begitu saja di tanah lapang dan di rawa; di mana ia suka, di mana ada makanan; rumput dan dedaunan tersedia. Aman.

"Berarti banyak daging, dong, Yang? Bolehlah kalau begitu, karena di sini, kita lebih sering makan ikan. Orang sini sukanya ikan, setiap hari mengkonsumsi ikan. Jadi, mereka jarang memotong sapi," kataku antusias.

Tempat tinggalku saat ini juga di pulau, tetapi pulaunya tak sebesar Pulau Sumbawa. Kehidupan mayoritas penduduknya adalah nelayan. Makanya, ikan menjadi lauk utama sebagai peneman nasi atau kasbi (singkong).

"Iya, kalau banyak daging, harganya pasti juga murah. Biasanya begitu," jelas Pak Suami lagi, memberikan harapan agar kami bersemangat untuk pindah.



***EHZ***

Awal Agustus 2021.

Akhirnya, setelah melalui berjilid-jilid drama cancel karena tak ada penerbangan, kendala PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), juga melewati berbagai macam pemeriksaan yang tidak mudah dan menyita banyak waktu, sekarang, di sinilah kami, menuruni tangga pesawat di Bandara Praya, Lombok Tengah.

Begitu keluar terminal, mataku langsung tertumbuk memperhatikan sekeliling. Masih banyak tanah kosong. Dari dalam mobil, banyak orang memakai baju lapangan dan helm proyek, sepertinya sedang bekerja dan menginspeksi pembangunan jalan baru.

Iya, dari kejauhan, jalan-jalan tampak berliku, berbatu kerikil, belum diaspal. Sebagian malah masih berupa tanah kuning. Menurutku, negeri ini tengah membangun, mungkin sedang memperluas wilayah perkotaan yang biasanya telah semakin padat dan semakin ruwet seiring waktu. Mungkin.

Eh, terakhir-terakhir ini aku baru tahu bahwa selain pembangunan kota, wilayah Praya itu, khususnya Mandalika, memang tengah gencar-gencarnya membangun arena untuk ajang balap motor internasional.







***EHZ***

Sepanjang perjalanan menuju penyeberangan kapal feri di Lombok Timur, dari jendela mobil, perlahan pemandangan mulai menghijau. Banyak pedagang buah di pinggir jalan. Sungguh menggugah selera. Dari kejauhan,
Gunung Rinjani pun tampak gagah berdiri, seperti mengimbau-mengimbau kami untuk mendatanginya.

"Sembalun, nama daerah di kaki gunungnya," jelas Om Lily, yang menemani kami.

Quote:




Beberapa kali di pinggir jalan, kami melihat nenas yang sudah dikupas, tergantung dalam kantong plastik di tiang-tiang gubuk kecil yang dijadikan warung.

Beberapa kali juga kami melihat puluhan semangka dihamparkan begitu saja di pinggir jalan raya. Beberapa semangka ada yang dipotong menjadi dua bahagian. Biasanya dicari yang paling berwarna merah segar untuk dipajang agar menarik perhatian pembeli.

"Om, Om, berhenti dulu, deh!" seru kami kepada Om Lily, suami sahabat kami, pemilik mobil yang menjemput kami di bandara tadi. "Kami mau mencoba nenasnya."

"Bagaimana, Kak? Enak?" tanya beliau antusias. Banyak hal yang sudah beliau jelaskan di sepanjang perjalanan tadi, terutama mengenai makanan dan buah-buahan yang terlihat.

"Luar biasa. Nenas ini manis sekali. Kecil, tetapi legit. Mana murah, lagi. Nenas madu, kata si penjual tadi," jawab kami, juga sangat antusias sembari mengunyah nenas, menikmati enaknya. Jarang-jarang kami dapat nenas seperti ini. Di tempat sebelumnya, buah-buahan tak terlalu bervariasi.

"Iya, Kak, di sini apa-apa murah. Sayuran juga," jelas Om Lily lagi.

"Eh, eh, tunggu! Itu apa yang dibungkus-bungkus seperti bungkusan nasi itu?"

"O, itu emang nasi, Kak. Lima ribu saja," jawabnya terlihat semringah mempromosikan street food di daerahnya.

"Apa Kakak mau nyoba nasinya? Nanti saya berhenti di depan."

Kenyang makan buah, makan nasi, entah apa tadi nama nasinya, lupa. Sekarang, kami sudah berada di feri penyeberangan di Kayangan, Pulau Lombok menuju Pototano, Pulau Sumbawa.

Sebelum naik feri, kami lihat tidak terlalu banyak mobil yang mengantre. Hanya empat bus dan sekitar lima sepeda motor saja. Ah, sepertinya bakal menunggu lama ni menyeberangnya.

Akan tetapi, ternyata tidak. Subhanallah, aku takjub, ternyata penyeberangan ini 24 jam nonstop.Tidak seperti di tempatku sebelumnya, yang hanya tiga kali sehari. Terkadang, setelah lama mengantre, malah ada yang tidak kebagian tempat. Sehingga jika terpaksa dan butuh sekali, orang-orang akan kembali menunggu untuk ikut penyeberangan berikutnya. Dan itu, sungguh sangat melelahkan, menyita waktu.





***EHZ***

Niat awalku yang tadinya ingin tiduran dan beristirahat di kapal akhirnya batal total. Meski mata sudah kiyep-kiyep lima watt, begitu melihat pemandangan indah berseliweran, eh, ia langsung naik ke 75 watt. Terang benderang, membeliak menyaksikan pemandangan baru, pulau-pulau kecil. Betul-betul pulau kecil, seperti tumpukan batu besar yang muncul dari dasar laut. Banyak yang berupa pulau kosong, penuh rumput kering berwarna kecoklatan. Indah sekali. Unik.

Super sibuk, aku pun berkeliling feri, mengambil gambar dari setiap sudut. Ini tak boleh dilewatkan.

Gili. Orang sini menyebutnya Gili. Artinya pulau kecil. Aku jadi ingat tulisan yang pernah kubaca di majalah lawas dulu, tentang tempat wisata mahal, bebas polusi karena kendaraan bermotor tidak diperkenankan. Namanya Gili Trawangan, di lepas pantai barat, Laut Pulau Lombok. Apakah nanti di Sumbawa Barat juga ada? Wah, aku jadi semakin penasaran.







Walaupun jarak penyeberangan dari Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa lumayan lama, tetapi karena penyeberangan ini tersedia 24 jam, tentu saja kelancaran transportasi antar pulau menjadi sangat terjamin, lancar jaya. Yang menjadi masalah, dan ini merupakan masalah umum untuk jalur penyeberangan laut lainnya, tentu saja ombak yang besar atau jika cuaca sedang tidak bersahabat.

Setelah hampir tiga jam menikmati pemandangan, melihat Gunung Rinjani atau pasak bumi Pulau Lombok yang tampak jelas dari feri, melihat gili-gili yang membuat diri penasaran, akhirnya ... kami pun sampai di pelabuhan Pototano, ujung paling barat Pulau Sumbawa.

***EHZ***

Panas. Itu yang pertama kali kami rasakan. 'Meme' orang-orang saat berada di kapal ketika mereka tahu bahwa kami orang baru, baru pertama kali ke negeri ini, baru pertama kali pula menyeberang ke Pulau Sumbawa, mereka mengatakan, kalau di Lombok mataharinya 1, di Sumbawa Barat ada 2, maka di Bima, mataharinya sudah jadi 3.

Artinya, semakin ke wilayah timur, kondisi cuaca atau udara akan semakin panas. Dan benar saja. Selain memang lebih panas, bukti panasnya terasa banget di badan kami, keringat tak berhenti mengucur, juga bisa dilihat dari kuningnya rumput-rumput di tanah lapang. Kering dan meranggas.

Harga-harga pun, masih kata orang-orang tadi, ternyata berbanding lurus pula dengan jaraknya. Menjadi semakin mahal, hehehe.





Akhirnya, setelah hampir dua jam perjalanan darat sejak dari pelabuhan Pototano, kami pun tiba di Taliwang. Karena sudah kesorean, kami terpaksa hanya berdiam diri saja di penginapan, beristirahat agar besoknya kami bisa memulai aktifitas, jalan-jalan mengeksplorasi alam di Kabupaten Sumbawa Barat ini.

***EHZ***

Dari hasil googling, ternyata pemandangan dan tempat wisata di daerah ini cukup banyak juga. Kabarnya, tak kalah indah malah dengan yang di Senggigi. Wah, jadi bikin semakin penasaran 'kan?

Karena tulisannya sudah kepanjangan nih, maka cerita lengkap tentang keindahan pantai-pantai di Sumbawa Barat ini akan Enya post di thread berikutnya, ya ....
Insyaallah, per pantai, per episode.

Sekarang superfisial saja dulu kita tahu. Yuk, kita intip ....

1. Pantai Balat

Pantai Balat ini berjarak hanya sekitar 6 kilometer saja dari pusat Kota Taliwang. Berada di desa Labuan Balat.

Jalan menuju ke pantai Balat sudah beraspal dan lumayan ramai dengan deretan rumah-rumah penduduk di sepanjang kiri kanannya. Tanah lapang, rumput dan rawa tentu juga tak ketinggalan dengan aneka ternak yang bebas lepas mencari makan.

Keunikan pantai ini adalah dari bentuknya yang melengkung.




2. Pantai Kertasari

Pantai ini berjarak sekitar 20 kilometer atau bisa ditempuh sekitar 30 menit saja dengan kendaraan bermotor dari pusat Kota Taliwang. Kalau dari Lombok, jika dihitung dari pelabuhan penyeberangan Pototano, jaraknya sekitar 40 kilometer, atau butuh satu jam perjalanan untuk tiba di sana.

Sama seperti pantai Balat, pantai Kertasari ini juga dekat dengan lokasi perumahan penduduk. Dan pantai ini juga terkenal sebagai penghasil rumput laut, juga merupakan sentra kerajinan pangan, hasil olahan dari rumput laut tersebut.






3. Pantai Potobatu dan Pantai Labuhan Lalar

Pantai ini paling dekat dengan KotaTaliwang, berada tepat di pinggir jalan raya, juga tak jauh dari pantai Labuhan Lalar. Hanya butuh 10 menit saja dari pusat kota menuju ke sana.

Kekhasan pantai Potobatu ini tentu saja batu besar berlubang yang menjadi ikonnya. Sementara itu, di pantai Labuhan Lalar, kita akan melihat banyak perahu nelayan yang bersandar di muara sungai. Labuhan Lalar ini memang merupakan desa nelayan dengan pemandangan pantainya yang luar biasa cantik.




4. Pantai Sekongkang

Pantai Sekongkang berjarak lebih kurang 60 kilometer atau sekitar 2 jam jika ditempuh dengan kendaraan bermotor dari pusat Kota Taliwang. Sebelum sampai ke tujuan, kita akan melewati dua kecamatan, Jereweh dan Maluk. Lumayan jauh memang. Akan tetapi, semua kelelahan perjalanan itu akan terbayarkan ketika kita tiba di sana karena indah dan masih asrinya alam yang terbentang. Oh ya, pantai di Maluk dan Jereweh juga cantik-cantik, lho ....

Menurut Enya, pemandangan di Pantai Sekongkang inilah yang paling mirip dengan pantai-pantai yang ada di Bali. Termasuk fasilitas dan akomodasi yang tersedia, komplit. Dan, di Pantai Sekongkang ini pula diadakan lomba olahraga surfing internasional setiap tahunnya.





***EHZ***

Well, sekian dulu kisah perjalanan Enya hingga sampai ke Kabupaten Sumbawa Barat ini. Insyaallah, cerita keindahan masing-masing pantai akan Enya posting di thread berikutnya. Jangan lupa ya, ikuti selalu obrolan seru jalan-jalan kami.

Wassalam, ciayo ....

Tulisan ini merupakan opini pribadi dan foto-fotonya juga milik pribadi.
Diubah oleh enyahernawati 02-03-2022 13:31
delaniesAvatar border
cheria021Avatar border
provocator3301Avatar border
provocator3301 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
4K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Domestik
DomestikKASKUS Official
10.2KThread3.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.