Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

RifanNazhifAvatar border
TS
RifanNazhif
Si Napang

sumber ilustrasi

Awalnya saya bermaksud memberi nama binatang berbulu dan senang menyeringai itu Sinapang. Tapi nama itu terlalu kejam. Pada paragraf lain kamu akan temukan kenapa saya berkata kejam. Saya terpaku agak lama seolah semedi. Mendengar celetuk hati. Ada ide memanggilnya Zinapang atau Xinapang. Kebingungan berkelindan di kepala saya. Seperti benang kusut. Nama-nama itu begitu asing, tidak bermuatan lokal. Saya akhirnya memutilasi nama itu menjadi dua kata. Satu kata sebagai kata penunjuk atau “si” dan satu lagi nama itu sendiri atau “Napang”. Lebih tepatnya si Napang.

Kami bertemu tidak sengaja, tapi saya yang menyengaja. Hari itu saya berburu bersenjatakan sinapang atau senapan angin. Hanya untung-untungan beroleh binatang buruan yang banyak. Untung pula saya bertemu---lebih tepatnya terjebak--- rombongan monyet berjumlah puluhan ekor mengaum laksana macan. Saya kencing di celana. Saya beranikan menembakkan sinapang yang mengarah monyet besar atau sang raja monyet atau bisa saja disebut beruk. Seperti cerita Landong, beruk itu bisa menangkis peluru dengan telapak tangan.

Ternyata si beruk menangkis peluru yang kulesakkan, kemudian menjerit marah. Seluruh monyet berhamburan ke dalam hutan yang lebih rimbun. Tinggal seekor---mungkin induk beruk---berjalan gontai menggendong anak yang menggeledah dadanya. Saya berhasil menembaknya hingga jatuh berdebam ke atas tanah. Mati. Tidak dengan anaknya. Dia semakin mempererat dekapan dan kepalanya menelusup di ketiak ibunya. Saya berjuang mengambilnya dari dada si ibu, bersusah-payah lebih dari satu jam. Ternyata usaha tidak pernah mendustai hasil, meski hasil yang didapat bernilai plus. Maksud saya plus cakaran di sana-sini.

Landong memuji perjuangan saya beroleh anak beruk itu. Dia berandai-andai. Andainya anak beruk itu telah dewasa dan bisa memanjat---maksud saya mengambil kelapa---betapa beruntung saya. Saya bisa mengambil ratusan buah kelapa per hari. Berapa biji buah kelapa yang menjadi upah saya? Atau bila dijadikan duit, saya bisa mendadak kaya. Status pengangguran dilepas menjadi pengambil buah kelapa. Saya berdecak.

“Siapa nama berukmu ini,” tanya Landong. Saya menggeleng. “Beri namalah secepatnya, bisa saja dia kehilangan peruntungan bila tanpa nama. Dia akan kehilangan pamor di antara kelompok perberukan.” Saya mengangguk pura-pura mengerti. Saya masih buta soal perberukan.

Setelah beruk itu saya beri nama si Napang, Landong mengacungkan jempol tangan. Seolah berkilau duit di matanya. Dia tersenyum ketika menyebutkan nama Lepe. Saya menerka Landong ingin menyekolahkan Napang. Dia memuji otak saya encer, cepat menangkap. Mulutnya mulai menceritakan tentang ratusan batang pohon kelapa. Tentang buahnya yang ribuan. Uang mengalir lancar seolah air kran. Saya ingat Lepe, dia pawang ganas, beda benar dengan pawang yang saya kenal di Sekolah Tinggi Ilmu Beruk di Pariaman. Mereka kalem-kalem. Itu yang saya tahu. Entah di balik belakang.

Landong mencerabut pikiran saya seolah mencerabut akar ilalang bandel. Dia pastikan akan datang menjemput Napang empat bulan lagi. Lepe akan senang mempunyai murid baru. Ya, senang akan tiba masanya cambuk itu bekerja seperti api, bergemeratak mengabu ranting. Begitu menyakitkan! Napang akan sering menyeringai, dan sangat merindukan saya. Saya terka dia ingin saya selamatkan dari jadah Lepe. Tapi saya selalu bungkam dengan rencana Landong. Mulutnya berbisa tak dapat dibantah. Saya hanya terdiam ketika dia bersumpah akan menanggung semua biaya tetek bengek Napang. Asal saya juga bersumpah memberinya royalti bukan sekedar fee. Dia ingin kelak setiap upah Napang---lebih tepat upah saya karena beruk itu tidak kenal upah---maka sepuluh persen adalah royalti Landong.

“Berarti kalau saya mendapat upah tiga butir kelapa, apakah satu kelapa harus dipotong-potong berikut sabutnya?” sergah saya cepat. Landong menggeleng. Semua diuangkan biar mudah membaginya. Itu katanya.

“Maksud kamu tiga butir kelapa itu dijual. Lalu sepuluh persen dari hasil penjualan itu bagian kamu?” lanjut saya bingung.

Dia tersenyum menyadari kawannya yang lambat berpikir. Saya merengut. Dia menjelaskan harga pasaran setiap butir kelapa harus ditentukan. Sepuluh persen dari harga global adalah bagiannya.

“Ooo. Peta bumi. ”

“Itu globe. Maksud saya g-l-o-b-a-l!” geramnya.

Setelah kami berpisah, waktu berputar ibarat gasing. Sangat cepat! Napang begitu lekas tumbuh menjulang. Di malam-malam buta saya kerap terjaga sambil bersimbah keringat, mengintip apakah binatang itu masih ada, melingkar di rumah-rumahannya. Dia mengintip saya. Sepertinya ketakutan kami sama. Saya takut suatu saat Landong menjemput Napang, menyerahkannya kepada Lepe. Sementara Napang mungkin ragu saya tidak mencintainya, menyerahkan dengan suka hati kepada Landong, selanjutnya kepada Lepe. Semata-mata karena uang. Saya seketika menyesal.

Tapi hati saya membantah. Napang harus tetap makan. Makan harus dengan duit. Duit harus dengan memetik kelapa. M-e-m-e-t-i-k k-e-l-a-p-a! Kepala saya berubah menjadi kelapa. Saya balik ke kamar. Meringkuk di atas kasur. Menyurukkan kepala di balik bantal. Sekonyong saya pusing. Tidak bisa berpikir. Tidur.

Ketiga terbangun oleh panggilan Landong, saya pikir saya masih bermimpi. Matahari sudah tinggi. Landong mengoceh, bahwa terlambat bangunlah penyebab kenapa saya tidak kaya-kaya. Orang yang aneh. Saya pikir tidak ada korelasi bangun terlambat dan kaya.

Saya tidak bisa membantah, ini sudah siang kesekian. Telah empat bulan lewat, Landong menagih janji menjemput Napang. Tidak ada lagi sedu-sedan perpisahan. Saya hanya mematung menatap rumah-rumahan Napang kosong. Saya mungkin gila. Lebih tepatnya gila rindu. Saya lebih sering mematung di dekat rumah-rumahan itu ketimbang makan, minum, ke kakus atau tidur. Apalah arti ke kakus ketika saya alpa makan dan minum. Terkadang saya terjaga di dekat rumah-rumahannya ketika matahari sudah tinggi. Tubuh saya bentol-bentol merah karena gigitan nyamuk.

“Sudahlah, ini semua demi kebaikan Napang. Terutama dirimu.” Bapak kerap menasihati saya yang hanya bisa menyeringai seakan beruk.

***

Empat bulan yang singkat, tapi tidak sesingkat perpisahan kami yang hanya satu bulan, Napang pulang seakan parlente. Tatapnya angkuh. Kecerdasan kelihatan di situ. Saya bangga.

Menurut Landong Napang lumayan bebal hingga harus belajar sebulan penuh. Saya pura-pura tidak mendengar, menepuk pelan kepala Napang. Dia menyeringai senang seraya menyalami saya. Saya terkesima. Lebih terkesima lagi ketika Landong mengalihkan pembicaraan. Ada tata cara mempekerjakan Napang. Dia hanya paham bahasa polisi---maksud Landong Bahasa Indonesia. Kalau menyuruh ambil yang masak, saya harus mengatakan “ambil yang masak”. Lain pula kalau ada ide minuman yang segar agak ngegas, saya harus memerintah “ambil yang muda”. Menyeberangi dari pohon kelapa satu ke pohon kelapa lain, tinggal ucapkan “seberang”. Pokoknya Napang hanya faham Bahasa Indonesia. Saya bingung bagaimana Lepe mengajari Napang, sementara lelaki itu selalu gagap ketika berbahasa Indonesia.

Saya pikir itu tak perlu dirisaukan. Hanya sedikit yang merisaukan saya, Landong mengungkit masalah royalti. “Saat ini tak ada yang gratis,” dia menambahkan. Saya tersenyum, ini sudah kewajiban. Hukum dagang harus sama-sama untung, tidak boleh salah satunya buntung, kalau saja rejeki menjadi tidak berkah.

Kedatangan Napang mulai mengubah saya seceria pria yang menemukan kekasihnya setelah sekian lama berpisah. Saya makan, minum, tidur semakin sering dan banyak. Tubuh saya tiba-tiba berisi---maaf lebih tepat gendut---dan Bapak girang bukan kepalang. Sebenarnya dia girang bukan lantaran tubuh saya melar serupa gelang karet kecebur minyak tanah, melainkan Napang bekerja seakan mesin. Saya melihat Bapak minum kopi bergelas-gelas sehari. Rokoknya juga berganti dari rokok kretek murah menjadi rokok putih. Tapi itu tak mengapa, asal rumah menjadi damai. Ibu sekarang senang di dapur ketimbang mengoceh tidak karuan. Tudung saji wangi dan isinya lebih berwarna.

Saya terkenal seantero kampung. Mungkin gadis-gadis kerap menyanjung, meskipun saya hanya majikan beruk. Tidak berkelas seperti si Saua yang bekerja di kantor kelurahan. Bau pria itu wangi, bukan bau keringat beruk seperti saya. Tapi saya yakin penghasilan saya menandinginya. Saya beroleh duit setiap hari kecuali Jum'at. Itu pun karena saya harus shalat, dan badan tidak boleh bau keringat beruk. Sementara Saua beroleh duit hanya sekali sebulan, plus duitnya harus sowan ke tukang kredit.

Akan hal Jamilah semakin cinta kepada saya, kendati agak cemburu kepada Napang. Mohon kata-katanya jangan dibalik. Jamilah sesekali mengajuk, apakah saya lebih cinta dia atau Napang. Kenapa perempuan itu harus cemburu kepada beruk?

“Abang itu selalu lebih sibuk dengannya ketimbang aku?” Pipinya bersemu merah karena marah. Saya kemudian merayunya dengan meminjam pelet Jepang dari Landong. Jadilah melihat wajah Jamilah cerah. Kami jalan-jalan sore mengendarai sepeda motor lambang garuda, juga jajan-jajan yang mengenyangkan, tidak seperti selama ini hanya makan angin sambil menunggang sepeda angin.

Tapi kebahagian saya tersaput kabut. Pertama, teriakan Bapak menggetarkan saya. Mata saya melek, membelalak. Saya mengumpulkan ingatan yang kacau oleh mimpi simpang-siur. Kedua, teriakan Ibu memaksa saya bangkit, mengucek mata, menaikkan gulungan kain sarung, berlari ke belakang rumah. Bapak dan Ibu menatap saya dengan wajah pucat seakan baru melihat hantu. Drama di dekat rumah-rumahan Napang, sungguh menyedihkan. Binatang itu kejang-kejang. Matanya membelalak. Mulutnya berbusa. Sesaat kemudian nyawa binatang itu terbang. Siapa yang tega meracun mata pencarian saya? Kaleng tempat makan Napang saya tendang. Amuk itu menggunung. Nasi berhamburan. Saya seakan gila. Napang mati sangat tak berharga seperti nasib beruk si Kulim. Binatang itu jatuh, terjun dari pohon kelapa. Tertancap di semacam linggis yang ditegakkan untuk alat pengupas kelapa. Beruk Kulim mati sebagai pejuang. Mati saat bertugas. Sedangkan Napang bagai prajurit tidak berharga. Dia mati diracun. Diracun! Sangat menyakitkan.

“Jangan terlalu cepat menebak diracun.“ Ibu mencoba menenangkan saya. Coba, apa lagi namanya dengan kondisi mulut Napang berbuih begitu kalau bukan diracun? Rumah-rumahannya bergetar akibat saya pukul.

Beberapa hari kemudian emosi saya bertambah membara. saya seakan tidak yakin dia pelakunya. Dia memberikan racun kepada Napang pasal cemburu. Cemburu bisa membakar apa saja. Juga membakar air, bila air di dalam gelas dilemparkan ke wajahmu. Sudahlah, dia yang saya cintai dan sayangi selain Napang, ternyata bisa gelap mata. Dia lebih yakin rasa cinta dan sayang saya lebih satu derajat kepada Napang ketimbang dia.

Brengsek! Saya ingat Soipah malam itu membisikkan Jamilah yang telah meracun Napang. Mulanya saya tidak yakin. Ketika melihat sesobek kain berenda yang tidak lain pakaian perempuan itu, tersangkut di dekat rumah-rumahan Napang, maka saya bertekad mengganti profesi---agar terdengar keren--dari majikan menjadi beruk pemetik buah kelapa, dan melupakan perempuan itu. Sekarang saya pemetik buah kelapa ulung yang dikagumi seantero kampung. Landong sempat bercanda---mungkin---mengatakan bulu-bulu di badan saya semakin panjang. Saya tersenyum. Di hari lain dia mengatakan keringat saya bau beruk. Saya tambah tersenyum. Tapi ketika Landong mengatakan Parlepen akan menikahi Jamilah, saya tiba-tiba tidak bisa tersenyum. Saya hanya merasa bahagia bila suatu hari bisa tidur di rumah-runahan Napang.

“Cocola kunci tiang bendera.” Anak-anak bermain di tanah lapang. Saya masih tekun menghitung buah kelapa.

---sekian---


Diubah oleh RifanNazhif 22-02-2022 03:04
bukhoriganAvatar border
MFriza85Avatar border
provocator3301Avatar border
provocator3301 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.3K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.