Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kutarominami69Avatar border
TS
kutarominami69
“Kami dicap Penganut Aliran Sesat...”
“Kami dicap Penganut Aliran Sesat...”
9 Juni 2010   04:45 Diperbarui: 9 Juni 2010   04:45 1599 0 7



Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_162360" align="alignleft" width="300" caption="Penganut Sunda Wiwitan (Sumber foto: sundawiwitan.blogspot.com)"][/caption]

Suatu hari di tahun 1980-an. Warga Cigugur,Kuningan, Jawa Barat tengah menyiapkan perayaan Seren Taun. Dewi Kanti Setianingsih kecil, ikut sibuk menyiapkan tradisi pergantian tahun sekaligusungkapan rasa syukur penganut agama Sunda Wiwitan tersebut. “Waktu itu saya masih balita. Ketika upacaraSeren Taun itu sudah kami siapkan dengan baik. Saya melihat bagaimana antusiasme sesepuh bagaimana menyiapkan umbarampai upacara, hiasan dari janur . Dan Tiba-tiba, sejumlah aparat keamanan datang meluruk. Ruangan itu dirusak. Dapur kami dihancurkan, diberantakan oleh aparat-aparat, ada yang ditendang. Kami dianggap sebagai aliran sesat.Kami akhirnya melindungi diri.Itu sangat menyakitkan… Maaf saya jadi teringat lagi,” kenang Dewi . Perempuan 34 tahun itu, terdiam, matanya berkaca-kaca.Pipinya basah dengan air mata. Saya ikut terdiam. Turut merasakan kesedihannya.

Ancaman Kekerasan dan Diskriminasi

Tindakan sewenang-wenangaparat adalah salah satu perlakuan burukyangkerapditerima penganut kepercayaan Sunda Wiwitan.Alasannya keyakinan yang datang sebelum masuknya Islam itu dinilai sesat. “Sebenarnya Sunda Wiwitan itu tradisi leluhur yang secara turun temurun baik spiritual maupun seni budaya. Pada era penjajahan itu direvitalisasi oleh Pangeran Madrais. ” Menurut Dewi Kanti,kitab suci penganut Sunda Wiwitan diantaranyaSang Hyang Siksa Kanda Karsian. Artinya hukum menuju kesejatian, suatu tuntunan manusia Sunda. “Juga ada Amanat Galunggung, kalau di Cigugur kami bukukan yang namanya Pikukuh Tilu,”jelasnya.

Selain mengalami kekerasan, penganut agama Sunda Wiwitan rentan terhadap diskriminasi. Mendapatkan dokumen kependudukan seperti KTP bukan hal yang mudah. Juga kartu keluarga sampai surat nikah. Persoalannya berpangkal kepada kepercayaan yang dianut Dewi Kanti yang belum diakui negara. Saat ini baru 6 agama yang mendapat pengakuan, Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. “Negara belum mengakui kami,” keluh DewiKanti. Meski belum mendapat pengakuan negara, itu tak membuat Dewi Kanti menanggalkan ajaran Sunda Wiwitan. Justru hal ini jadi amunisi perjuangan bagi kaum Sunda Wiwitan. “Jadi lewat Yayasan Trimulya salah satunya advokasi, pengembangan budaya, bagaimana mempertahankan kearifan lokal, bagaimana menjembatanidialog antar agama adat dan keyakinan di nusantara,” terang Dewi Kanti.

Marko Mahin dan Kaharingan

Selain Dewi Kanti penganut kepercayaan lain yang saya temui adalah Marko Mahin. Saat bertemu dengannya tahun lalu, Marko tengahmenuntaskan studi doktoralnya di Universitas Indonesia. Dia adalah penganut Kaharingan. “Kaharingan adalah nama Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Agama ini sudah ada sebelum masuknya agama lain di Kalimantan yakni Budha, Kristen, dan Islam. Kemudian berkembang.  Jika kita tanya orang Dayak agamanya apa? Dia akan menyebut agama Kaharingan,” beber Marko membuka perbincangan kami di bawah pohon rindang Kampus UI Depok.

Kaharingankata Markoartinya kehidupan.Sejak 1972, ibadah rutin penganut Kaharingan berlangsung saban Kamis atau malam jumat di tempat ibadah yang disebut balai basarah. Sementarakitab sucinya bernama Panaturan, yang bersumber dari tradisi lisan yang ditulis dan dikhotbahkan. “Para penganut Kaharingan percaya kepada Allah yang satu, yang mereka sebut Ranying Maha Thala Langit . Allah itu monotheis, dia tuhan yang maha esa, “jelas Marko.

Di KTP Marko, kolom agama diisi dengan tulisan ‘Kristen’. Tapi dalam keseharian, ia menjalankan tradisi dan ritual Kaharingan. “Saya mendalami sejak tahun 1997. Kenapa itu terjadi? Karena Kaharingan itu menyangkut identitas Orang Dayak. Jadi orang Dayak yang ingin mengetahui identitas dirinya minimal dia harus menolehkepada Kaharingan. Itu alasan saya mengapa memilih Kaharingan.”

Meski pemerintah daerah Kalimantan Tengah telah mengakui keberadaan agama Kaharingan, namun cap buruk bagi penganutnya, kata Marko masih ada. “Saya pernah dikatakan murtad, kawan kawan menyebut saya seperti itu.Dituding penyembah berhala dituding melakukan praktik perdukunan. Tujuannya agar saya tak menoleh pada saudara-saudara yang menganut Kaharingan. ”

Hak Sipil Terlanggar

Marko meneliti agama Kaharingan untuk studi doktoralnya di Universitas Indonesia. Ia mencatat sejumlah pelanggaran hak-haksipil penganut Kaharingan. Misalnya di bidang pendidikan. “Karena di sekolahnya tak ada guru Kaharingan, mereka disuruh ikut pelajaran agama lain, misalnya di sekolah itu ada 2-3 orang, maka dia disuruh gabung, walaupun caranya halus. Dan itu juga menyulitkan akhirnya itu mendapatkan nilai agama dia harus datang ke rumah ibadah Balai basyarah untuk mendapatkan nilai,”paparnya.

Marco dan Dewi Kanti berharap kepercayaan yang mereka anutmendapat pengakuan dari negara. Mereka juga berharap parapenganut kepercayaan yang berakar dari adat dan tradisi mendapat hak yang sama.Dan tak lagi dicap sebagai penganutaliran sesat. (Fik)

Ruangan pertemuan di Gedung Dewan Pers, di bilangan Kebon Sirih, Jakarta  mulai dipadati peserta diskusi. Rabu pagi, 11 November 2009 silam, dihelat diskusi tentang kebudayaan tradisional.Acara digagas Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI). Koordinator ANBTI,Nia Syarifuddin mengatakan organisasi ini dibentuk sebagai wadah, menentang upaya penyeragaman budaya dengan mengatasnamakan agama dan etnis. Niamengakui, stigma atau cap buruk adalah masalah yang kerap dihadapi penghayat kepercayaan. “Seringkali mereka dicap beraliran sesat, tidak bertuhan dan penyembah berhala. Kedua,kadang-kadang mereka terbentur pada masalah administrasi kependudukan.Sulit sekalimereka mencantumkan agama dikolom agama sesuai keyakinan kalau tidak “distrip”.Dan kalau distrip, ini akan jadi masalah saat mereka misalnya mengurus ke bank, sekolah dll. Ini stigma yang palingberat secara psikologis,” jelas Nia.

[caption id="attachment_164176" align="aligncenter" width="416" caption="Penganut Parmalim di Sumatera Utara tengah beribadah (Sumber foto: [url]http://wongalus.files.wordpress.com)[/url]"][/caption]

Masalah Teknis Semata

Undang-undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang disahkan DPR pada tahun 2006 rupanya belum cukup ampuh untuk mengakomodasi kepentingan penghayat kepercayaan. Di situ, misalnya, pemerintah meminta para penghayat membentuk organisasi. Agama lokal pun diminta menginduk kepada salah satu agama resmi yang diakui Negara. Dengan kata lain, kepercayaan mereka tak diakui. Organisasi untuk para penghayat itu dijamin bisa mempermudah pengurusan dokumen kependudukan, kata Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Departemen Agama, Abdul Fatah. Selain itu, Negara jadi lebih mudah mengawasi kegiatan penghayat.

Tapi bagaimana kalau ada penghayat yang tak masuk ke organisasi tersebut?Dewi Kanti, penghayat Sunda Wiwitan, memilih untuk tak bergabung. “Belum mengakomodir semua, baru mengakomodir penghayat yang berorganisasi. Tapi kalau masyarakat adat atau tradisional , itu gak butuh sebuah lembaga organisasi seperti Sikep atau Kanekes. Kami di Cigugur, itu sudah cukup kecewa dengan lembaga lembaga yang bisa saja dibubarkan saban waktu,”papar Dewi. Akibatnya konsekuensi pun mestiditanggung Dewi. Pengurusan KTP, surat nikah dan administrasi kependudukan lainnya: sulit. Ia tak kunjung bisa mencantumkan kata ‘Sunda Wiwitan’ di KTP.

Kepala Pusat Kerukunan Umat BeragamaKementerian Agama, Abdul Fatah menilai situasi yang dialami Dewi saat mengurus masalah administrasi kependudukan, semata-mata persoalan teknis semata, “Saya kira itu kan dariformulir lama (KTP),Jadi formulir baru nanti ada kolom lain-lain. Di KTP itu nanti ada kolom agama lain-lain. Karena akan muncul pertanyaan penghayat kepercayaan yang mana karena ada 200 lebih. Betapa banyaknya kolom (di KTP). Ini kan masalah teknis dalam administrasi," jelasnya.

Masalah  yang dihadapi penghayat ini, kata Nia Syarifuddin  akibat keberadaan mereka berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, bukan Kementerian Agama. Koordinator ANBTI, Nia Syarifuddin mengatakan, ini karena agama dan kepercayaan kebanyakan lahir dari adat dan tradisi lokal. “Kalau pemerintah mau mengimplementasikan pasal 29 di konstitusi(UUD ) ya harusnya mereka diperlakukan sama. Mungkin ini akan diperdebatkan ini agama atau bukan. Tapi itu kan esensi yang lain. Tapi merekasebagai warga negara, sama sama bayar pajak, sama sama diakui oleh sila 1 pancasila,” kritik Nia.

Sosialisasi UU Adminduk Minim

Kemenbudpar mengaku  tak melihat persoalan yang dihadapi para penghayat. Kepala Adat dan Upacara di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Julianus Limbeng mengatakan, jika ada kesulitan yang dialami kaum penghayat saat mengurus masalah yang terkait administrasi kependudukan, lebih akibat belum tersosialisasinya Undang-undang Administrasi Kependudukan. Ini bukan soal diskriminasi. “Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ini kan lebih banyak membantu dan memberdayakan mereka. Kita lebih cenderung melihat mereka kepada aspek kebudayaannya. Mungkin tidak tepat mereka berada di bawah Kementerian kebudayaan dan pariwisata. Atau mungkin mereka ditempatkan di Kementerian Agama dan Kepercayaan misalnya,” kata Limbeng

Aturan hukum setingkat Undang-undang yang lahir empat tahun lalu rupanya tak mampu mengubah kondisi mereka. Penghayat tetapmendapat stigma, mengalami diskriminasi, dipersulit pengurusan dokumen kependudukannya. Untuk itu  Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika kata Nia Syarifuddin berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Nyaris 30 tahun lalu, Dewi Kanti menjadi saksi kekerasan terhadap kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianutnya. Puluhan tahun berlalu ternyata tak banyak berpengaruh. Bisa jadi anak, mungkin cucu, Dewi Kanti masih harus melalui stigma, diskriminasi dan kekerasan dari negara. Hanya karena mereka dianggap berbeda. (Fik)



Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "“Kami Dicap Penganut Aliran Sesat...” (Bagian 2)", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/m_taufik_...sesat-bagian-2

Kreator: M.Taufik Budi Wijaya



Kompasiana adalah platform blog, setiap konten menjadi tanggungjawab kreator.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com



Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "“Kami dicap Penganut Aliran Sesat...”", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/m_taufik_...&page_images=1

Kreator: M.Taufik Budi Wijaya



Kompasiana adalah platform blog, setiap konten menjadi tanggungjawab kreator.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com
0
745
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.5KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.