Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

penacintaAvatar border
TS
penacinta
Aku Hanya Minta Semangkuk Mie Ayam, Mas! (10)
Aku Hanya Minta Semangkuk Mie Ayam, Mas!

#Part 10



Setelah mendapat panggilan telepon dari Mas Wisnu, setiap detik hatiku jadi galau. Mengapa sifatnya seperti itu padaku? Bahkan saat sore hari aku berniat ingin berbelanja kebutuhan untuk jualan pun rasanya tak lagi bersemangat. Namun jiwa untuk bertahan hidup memaksaku untuk tetap melangkahkan kaki menuju pangkalan ojek tak jauh dari gerbang kost.

Sampai di pasar, aku langsung bergegas berbelanja, kali ini tak terlalu banyak, karena esok aku hanya akan memasak satu menu saja. Nasi kuning dengan lauk tempe orek dan telur dadar. Aku juga membeli bahan makanan lain untuk kubuat menjadi sambal kering yang aku jual dalam kemasan plastik. Barangkali penghuni kost bosan dengan menu sarapan yang aku jual, jadi mereka hanya perlu membeli lauk sambal kering yang aku buat.

Kulihat kantong plastik besar di tanganku sudah cukup penuh, lumayan berat. Terik matahari sore ini masih terasa panas. Aku berjalan kembali menusuri jalanan pasar yang becek akibat tersiram air dari pedagang ikan di lapak tepian pasar. Tiba-tiba aku merasakan gerakan halus dalam perutku. Kuusap perutku dengan tangan kiri.

‘Kamu sudah semakin aktif, Nak,’ batinku. Ya, usia kandunganku sudah memasuki bulan kelima.

“Naah … akhirnya ketemu juga sama kamu, ya!” Tiba-tiba suara yang aku kenali tedengar di belakangku. Itu suara paman Sobari. Aku berbalik badan, benar saja, Paman Sobari mengejarku, tapi dia tidak sendiri. Ada Bi Halimah juga bersamanya. Aku hampir lupa, mungkin hari ini Bi Halimah berjualan di pasar ini juga.

“Ariiin … sini kamu!” panggil Bi Halimah dengan lantang. Ingin rasanya aku berlari menghindari mereka, tapi kehamilan dan juga barang yang aku bawa membuat langkahku tertahan. Mereka sudah ada di depanku. Orang-orang di pasar melihat kami bertiga dengan tatapan heran.

“Kamu kabur dari rumah Bibi bawa apa, hah? Kamu nyolong duit Bibi, kan?” bentak Bi Halimah.

“Hah? Demi Allah, Arin gak ambil apa-apa, Bi! Arin kabur karena Paman Sobari.”

“Halaah … dia malah ngelak lagi!” ujar Paman Sobari sambil membanting puntung rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya dengan sandal yang ia pakai.

“Bibi kehilangan uang di dalam kamar, pasti kamu yang ambil, makanya kamu langsung kabur!” Bi Halimah melotot.

“Ya jelas dia, lah. Lihat, dia bisa belanja segitu banyak, uang dari mana kalau bukan uang hasil mencuri?” Paman Sobari semakin mengompori istrinya.

“Astagahfirullah … Arin pergi karena Paman Sobari mau melecehkan Arin, Bi! Demi Allah! Kalau Arin gak kabur bisa-bisa Arin sudah jadi budak nafsu suami Bibi yang bejat ini!” geramku. Aku sudah lelah dianggap lemah, selalu ditindas oleh mereka.

“Fitnah apa lagi kamu ini? Malah melemparkan kesalahan ke orang lain!” bentak Paman Sobari, tetapi mukanya sudah berubah merah dan menegang.

“Memang kenyataannya begitu! Paman tak bisa mendapatkan apa yang Paman mau, lalu sekarang Paman yang memfitnah Arin! Paman sendiri yang mencuri uangnya, kan? Lalu Paman membuat cerita bohong karena kebetulan Arin kabur dari rumah kalian!”

“Pak, apa jangan-jangan memang kamu yang curi uangku?” Bi Halimah kini berbalik menatap berang pada suaminya.

“Bukan, Bu! Bapak lihat sendiri Arin yang ambil uangmu itu,” kilah lelaki kurang ajar itu.

“Aaarghh … pokoknya balikin duitnya!” Bi Halimah malah kembali berang padaku. Dirampasnya dompet kecil di tanganku, lalu mengobrak-abrik isinya.

“Ambil saja semua uangnya, Bu! Pasti dia pencurinya!” ujar Paman Sobari dengan girang.

Bi Halimah langsung menjatuhkan domperku ke tanah setelah berhasil mengambil uang yang aku punya. Mereka sama sekali tak peduli meski orang-orang di pasar menyoraki dan melarang mereka.

“Kembalikan uang itu, Bu! Kalian jangan semena-mena pada orang lain!” Tiba-tiba laki-laki pemilik kedai mie ayam tempo hari datang menghampiri Bi Halimah dan suaminya yang hendak pergi. Ia meletakkan kantong belanjanya di tanah, lalu menyuruh Bi Halimah memutar badan kembali menghadap ke arahku.

“Eh, kamu siapa? Gak usah ikut campur! Ini urusan keluarga!” bentak Bi Halimah. Paman Sobari pun sudah bersiap untuk memukul laki-laki itu.

“Kejadian ini sudah dilihat banyak orang, anak buah saya sudah merekam aksi bar-bar kalian. Sekali vidoenya tersebar, polisi tidak akan tinggal diam! Kalain mau dipenjara?” ujarnya santai. Paman Sobari buru-buru menurunkan kepalan tinju yang tadi sudah terangkat.

“Tapi dia mencuri duit di rumahku! Emang kamu siapa?” Bi Halimah masih enggan menuruti perintah orang itu.

“Huuu … laki bini gelo!” teriak orang-orang di pasar.

“Saya bukans siapa-siapany dia, tapi saya juga gak mau tinggal diam melihat perbutan kalian berdua. Cepat kembalikan, kalau kalian tak punya bukti, itu fitnah namanya!” ujar lelaki itu lagi.

Meski terpaksa, Bi Halimah melemparkan lembaran uang sisa belanja milikku ke arah wajahku. Benar-benar tak berperasaan.

“Awas kamu, ya! Pasti nanti Bibi balas!” Bi Halimah dan suaminya pergi dengan tatapan mengancam. Baru aku tahu setelah mereka berbalik, ternyata di pinggang Paman Sobari terselip sebuah belati dengan sarungnya. Mungkin itulah sebabnya orang-orang di pasar urung mendekati kami tadi.

“Kamu pulanglah, Mbak,” ujar lelaki itu ramah. Dibantunya aku memungut uang recehan yang tercecer.

“Makasih, ya, Mas, sudah nolongin saya lagi.”

“Kamu yang waktu itu makan mie di kedai saya dan bilang mau cari kost, ya?”

“Iya, Mas. Sekali lagi terima kasih,” ucapku setengah menunduk. Lelaki itu tersenyum, ia menatap sebentar ke arah perutku.

“Kamu hati-hati, jaga kandungannya baik-baik,” ujarnya lagi. Lalu ia pun pergi dengan membawa barang belanjaan miliknya sendiri.

Malunya aku, dibentak-bentak di pasar, lalu terpaksa memunguti uang di atas tanah. Namun aku bersyukur, mereka sudah kembali pada kesibukan masing-masing. Aku pun pergi mencari tukang ojek, lalu pulang ke kamar kost.

Malam ini aku gelisah, mataku sulit terpejam. Padahal tubuhku lelah, tapi kejadian di pasar dan kata-kata Mas Wisnu kemarin membuatku tak bisa tenang. Kuusap kembali perutku yang semakin hari semakin terlihat membesar. Sabarlah, Nak, kita pasti bisa hadapi ujian ini bersama-sama. Kusenandungkan shalawat, sampai akhirnya rasa kantuk mulai datang dan akupun terlelap.

Alarm di ponselku berdering tepat di jam empat subuh. Aku langsung bergegas untuk bersiap untuk membuat sarapan pagi. Setelah adzan berkumandang, kutinggalkan semuanya lalu mengambil wudhu dan menunaikan kewajiban.

Jam enam pagi, akhirnya nasi kuning sudah selesai dibungkus. Kutata rapi semua daganganku di atas meja yang dialasi kain jarik satu-satunya yang aku punya. Penghuni kost pun satu per satu datang untuk membeli daganganku. Syukurlah, semuanya langsung habis seperti biasanya. Bahkan ada warga dari luar kompleks kost ini yang juga datang untuk membeli sarapan padaku.

Tepat setelah aku mengemasi meja dagangan, sebuah mobil berwarna silver masuk ke halaman kost dan parkir tepat di depan kamarku. Lama aku menunggu, siapa gerangan yang datang?

Sampai akhirnya orang yang sangat aku rindukan itu muncul. Ia berjalan tertatih dengan tongkat kayu di kedua sisi.

“Ya Allah … Mas Wisnu!” Kau berlari menyambutnya, tetapi sayang seribu sayang, kulihat Ratih keluar dari pintu supir, dan langsung membantu Mas Wisnu untuk berjalan. Ingin rasanya aku menangis menjerit melihat suamiku dipapah wanita lain.

“Ini kamar tempat kamu ngekost?” tanya Ratih sambil menatap sekeliling.

“Iya, masuklah! Aku mau izin dulu ke ibu kost,” ujarku. Lalu aku berjalan menuju rumah ibi Kost dan beliau mengizinkan.

Saat kembali, kulihat Ratih duduk di atas ranjang, sedangkan Mas Wisnu duduk di bangku kecil yang ada di dalam kamar. Kusalami suamiku, kucium punggung tangannya dengan khidmat. Aku terduduk sedih di sampingnya.

“Arin, kamu gak usah mikir yang macem-macem karena kami datang berdua. Saya cuma mengantar suamimu ini. Mas, aku tunggu di mobil saja, kalian bicaralah berdua!” ujar Ratih, lalu beranjak pergi menuju mobilnya.

“Mas … akhirnya kamu datang. Mas apa kabar?”

“Kamu lihat saja sendiri, Rin. Aku sudah sulit berjalan. Untuk bisa sembuh butuh waktu lama.”

“Mas, aku akan merawat kamu. Kita akan tinggal sama-sama lagi, kan, Mas?”

“Setelah kamu pergi, semuanya kacau, Rin.”

“Mas, aku juga gak mau pergi, tapi aku diusir sama ibu, hapeku dibanting sampai hancur. Aku mencoba menghubungimu dengan meminjam ponsel Mas Adi, tapi kamu gak jawab, Mas.”

“Adi juga menghilang setelah hari itu. Adi dan Lilis juga jadi rusak rumah tangganya. Apakah selama ini Adi bersamamu?”

“Astaghfirullah … Mas, kamu mikir kalau aku main serong sama Mas Adi? Tega kamu, Mas!”

“Tapi kenapa semuanya bertepatan, Arin? Gak mungkin ini semua hanya kebetulan!”

“Kamu kenapa jadi begini, Mas? kenapa kamu tak pernah mau percaya sama aku, istrimu? Apa salahku, Mas? aku selalu menurut sama kamu, aku tak pernah minta apapun dari kamu, Mas! aku hanya ingin rumah tangga kita tenang, tapi kamu malah selalu ….”

“Jadi ini semua salahku? Aku yang salah? Aku tahu ini seua berawal dari aung yang aku titipkan pada ibu. Aku menitipkan uang sama Ibu untuk disimpan, Rin! Aku merencanakan membeli rumah, bukan menyewa lagi. Tapi kamu malah mikir jelek ke ibuku.”

“Andai kamu tau, Mas, bagaimana ibu memperlakukan aku di belakangmu. Aku bukan menantu idaman ibumu, Mas. Ibu mau Mbak Ratih yang jadi istrimu. Sekarang, agaknya kemauan ibumu akan segera terwujud,” isakku sambil mengusap air mata.

“Loh, kamu malah nuduh aku juga sama Ratih?”

“Mas, aku sudah bicara jujur, terserah kamu mau percaya atau tidak, Mas. Aku pasrah, aku sudah lelah, Mas.”

“Maksud kamu apa?”

“Terserah kamu maunya apa. Kalau apa yang aku mau, Mas seharusnya sudah tau.”

“Kamu bahkan tidak tau, Rin! Ibuku sekarang ini stroke!”

“Astaghfirullah … kamu gak bohong, kan, Mas?”

“Iya, Ibu stroke, jatuh di kamar mandi gara-gara mandiin si Bima. Bima lari-lari, jadi Ibu kejar, akhirnya jatuh di kamar mandi yang lantainya licin. Puas kamu, Rin?”

“Kenapa Mas bilang begitu? Puas untuk apa, Mas? bahkan aku tak berhak membela diri, iya, kan, Mas?”

“Kalau kamu mau, pulanglah ke rumah ibu, rawat aku dan Ibu. Uang pesangonku lumayan banyak, kamu bisa pakai sepuasmu asalkan kamu mau merawat dan anggap ibuku seperti ibumu sendiri.”

“Tapi ibu sendiri yang bilang, haram bagiku menginjakkan kaki di rumah itu lagi,” ujarku dengan emosi mulai mereda.

“Jadi kamu punya alasan untuk menolak? Kalau kamu gak mau, Ratih mau, Rin! Dia sahabat aku yang baik, tulus mau menolong aku di waktu aku susah.”

“Iya, bandingkan saja aku dengan Ratih, Mas. Untuk kembali ke rumah ibumu, kali ini dengan tegas aku menolak. Kamu masih ada Mbak Fitri, kan? Bukankah seharusnya dia bisa mengurus Ibu? bukankah Ibu jatuh karena mengurus anaknya?”

“Dia kerja di luar kota, Rin! Masak kamu gak ngerti, sih?”

“Aku terima apapun keputusan terburuk yang akan kamu ambil untukku, Mas. Aku tetap tak ingin kembali.”

“Arin? Kamuu ….”

Kutatap mata Mas Wisnu yang menahan amarah. Aku sudah siap, Mas. Aku harus siap apapun yang akan terjadi pada rumah tangga kita. Aku hanya minta semangkuk mie ayam, namun kamu gagal memberinya padaku. Sekarang aku harus sudah tak ingin lagi pula menanggung derita akibat kesalahan ibumu.
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
766
2
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.