albyabby91Avatar border
TS
albyabby91
Cerita Bersambung - Hujan dan Resah (Episode 5)


Bagian Keenam - Kebersamaan Yang Berat

Tiga hari sudah penantian yang dijanjikan itu dan kini waktunya memulai langkah baru. Entah untuk siapa hal ini harus di lakukan. Untuk perusahaan kah atau bahkan untuk Dina sendiri. Atau mungkin memang bukan untuk apa-apa, tapi ini hanyalah alur takdir yang harus di lalui Dina sebab keadaan yang tak membuatnya mengambil pilihan lain. Dan memang, jalannya saat ini bukan untuk menciptkan pilihan sendiri. Dia tidak cukup kuat dan mandiri untuk itu. Pilihannya saat ini adalah memilih yang sudah takdir dan semesta sediakan. Tentu saja, juga beserta konsekuensi yang bakal menyertainya kelak.
Seluruh berkas yang di butuhkan sudahpun Dina siapkan, lengkap dengan sebuah catatan mengenai kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat yang nantinya bakal membantunya melakukan kerja-kerja yang kononnya berbau "diplomasi" ini. Dina harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan ini, seprofesional dirinya saat bekerja di perusahaan pak Agus. Fokusnya saat ini adalah melakukan segala yang terbaik dan menyudahi hari-harinya di sana dengan kesudahan yang baik pula. Tak ingin sedikitpun ia mengingat hal-hal lain. Yang ada di benaknya kini, perusahaan harus bangkit lagi dan kalau bisa ini kali terakhir dia berurusan dengan Mr Hanks, si laki-laki genit itu. Ya, semoga ini adalah kali terakhir, gumamnya dalam hati.
Segera Dina mengambil smartphone nya lalu di telponnya pak Agus untuk meminta ijin sekaligus menyampaikan jika ada yang di butuhkan berupa informasi atau berkas terkait pekerjaan kantor, pak Agus tinggal menelponnya saja dan dia akan membantu dari jauh.
"Din, kamu gak usah mikirin perusahaan dulu. Aku tahu kinerjamu. Kamu pekerja keras. Kita udah lama kerja bareng dan aku mengenalmu banget. Sekarang, jaga fokus dan kenyamananmu buat urusan dengan Mr Hanks. Lakukan yang terbaik sebisamu Din" pak Agus menasehati.
"Baik pak. Makasih loh. Bapak memang sangat memahami aku. Selalu" Dina menyudahi percakapan telepon itu.
Dina telah siap dan segera menuju ke depan, menanti taksi yang akan menjemput dan mengantarkannya ke bandara. Sebuah koper ukuran sedang dan sebuah tas ransel sudah di bawa bersamanya. Dina sengaja membawa pakaian secukupnya untuk persiapan seminggu di sana, waktu yang telah di tentukan oleh Mr Hanks untuk mengerjakan projek "tukar tambah" itu bersamanya.
Tak berapa lama taksi telah tiba dan memarkir tepat di depan pintu pagar kontrakan Dina. Drivernya turun dan menyapa Dina seperlunya. Ini memang taksi langganannya yang saban kali mengantar dan menjemputnya jika ada keperluan keluar atau jika ingin berangkat ke kantornya. Diangkatnya barang-barang bawaan Dina lalu di letakkan di bagasi, bagian belakang taksi itu dan segera membukakan pintu dan mempersilahkan Dina masuk ke dalam mobil, lalu berangkatlah mereka menuju bandara.
"Terminal berapa non?" tanya sang sopir mengagetkan keheningan.
"Eh anu. Sebentar yaa aku cek dulu di tiketnya" jawab Dina setengah terkaget.
"Baik non. Gak usah buru-buru. Aku cuma mau mastiin aja. Ini juga baru setengah jalan" balas sang sopir.
"Oh iyaa. Ini udah ada. Di tiket ini tertulis terminal 2A keberangkatan" Dina berkata sambil melihat dengan teliti tulisan yang tertera di tiket itu.
"Kalau boleh tau non mau kemana?" sahut sopir taksi lagi
"Kalimantan bang" jawab Dina singkat.
"Oh yaa. Udah cocok terminal 2A" lanjut sang sopir lagi.
Taksi terus melaju dengan kecepatan sedang memasuki jalur tol bandara. Nampaknya tak harus terlalu buru-buru sebab keberangkatan masih 2 jam lagi dan Nampaknya Dina akan melakukan proses chek in mandiri jadi gak perlu ngantri lagi nantinya. Sayup-sayup dari radio taksi terdengar lantuan lagu Indie berjudul "Renjana" karya penyanyi asal negeri jiran Malaysia, Noh Salleh. Lembut sekali terdengar di telinga Dina. Sesekali ia ikut bernyanyi dalam gumaman. Nampaknya ia sudah akrab dengan lagu itu dan sudah di hafalkan pula lirik-liriknya.
Dering Smartphone berbunyi dan benar yang menelepon adalah Mr Hanks. Dina mengangkatnya dan segera menyampaikan kalau dirinya sudah menunggu di ruang tunggu bandara. Mr Hanks menutup telepon itu dan segera menuju ruang tunggu pula.
Derap langkah Mr Hanks mendekati kursi ruang tunggu di mana Dina duduk. Sejurus tiba pula akhirnya ia di ruang tunggu itu dan sesaat segera menyapa Dina.
"Hai Din. Udah lama yaa. Maaf saya kena macet jadi agak telat sedikit. Boleh aku duduk di sini?" sapa Mr Hanks sambil memberi isyarat dengan tangan kalau ia hendak duduk di kursi kosong tepat di samping kanan Dina.
"Oh iya pak Hanks gak apa-apa. Silahkan pak, silahkan" Dina menjawab datar seperlunya seakan tak ingin berbasa-basi.
"Berkas-berkas yang kemarin aku sampein udah siap?"
"Udah kok pak. Ada di dalam koper semuanya. Udah lengkap"
"Oh iyaa. Kalau gitu tinggal nunggu berangkat aja. Masih lumayan lama nih. Kira-kira sejam lagi kalau gak delay. Kamu udah sarapan? Gimana kalau kita cari makan dulu?"
"Udah kok pak. Tadi udah sarapan di rumah sebelum ke sini. Makasih udah nawarin"
"Baik kalau gitu Din. Aku nyari sarapan dulu kebetulan tadi buru-buru jadi gak sempat. Paling penganan kecil aja buat ganjal perut"
"Oh iya pak silahkan. Aku nunggu aja di sini"
Sejurus Mr Hanks berlalu dan kemudian menuju sebuah kafe kecil memesan kopi dan kue-kue seperlunya untuk mengganjal perut.
Pengeras suara bandara lantang mengumumkan dan meminta para penumpang agar segera naik ke pesawat melalui gate yang ditentukan. Segera Dina dan Mr Hanks bangkit dari tempat duduknya dan langsung menuju gate sesuai pengumuman announcer dan segera naik ke tangga dan masuk ke dalam pesawat. Penerbangan itu bakal berlangsung dua jam lebih sebelum akhirnya akan mendarat di Pangkalan Bun.
Tak terasa terdengar dari pengeras suara pilot mengumumkan bahwa pesawat udara akan segera landing di bandara. Semua penumpang bersiap-siap tak terkecuali Dina dan Mr Hanks yang sesaat lagi bakal menginjakkan kaki nya di Kalimantan.
Setiba di pintu keluar kedatangan, seorang lelaki jangkung menjemput Dina dan Mr Hanks, mengangkat seluruh barang-barang bawaan mereka dan mempersilahkannya masuk ke dalam mobil sedan berwarna merah maroon itu. Sesaat kemudian mobil melaju menuju sebuah hotel yang sudah di pesan sebelumnya oleh Mr Hanks. Tidak ada sepatah kata yang keluar sepanjang perjalanan menuju hotel itu. Hanya sesekali Mr Hanks menoleh ke arah Dina dengan tatapan penuh makna. Binar wajahnya seolah menunjukan kemenangan seorang dalam medan pertempuran yang dahsyat. Nampak kegirangan tergambar dari senyuman tipisnya yang samar-samar sesekali terlihat.

Sekira sejam kemudian, sampailah mobil itu di depan sebuah hotel yang lumayan mewah, tempat Dina dan Mr Hanks tinggal untuk seminggu ke depan selama menyelesaikan urusannya di Kalimantan. Segeralah sopir membukakan pintu dan mempersilahkan keduanya turun dan segera di sambut oleh pegawai hotel yang sudah menunggu di depan pintu masuk. Setelah semuanya beres, Mr Hanks dan Dina menuju ke lantai 3 kamar tempat mereka beristirahat masing-masing. Mr Hanks sengaja memesan kamar yang berhadapan dengan Dina. Dia beralibi biar gak sulit kalau berkomunikasi dan gak harus berjalan agak jauh kalau ada keperluan masing-masing.
Dina telah tepat berada di depan pintu kamar hotel bernomor 205, di ambilnya kunci lalu di bukanya kamar itu. Sejurus kemudian ia sudah berada di dalam kamar dan segera merapikan barang-barangnya sebelum kemudian mengambil handuk dan menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya dan menunggu makan siang tiba.
Tepat pukul 12 siang, Dina menuju ke lantai dasar untuk mencicipi makan siang yang sudah di sediakan oleh pihak hotel. Mr Hanks pun terlihat membuka kunci kamarnya dan berjalan pula menuju lift tepat di sebelah barat kamarnya. Seperti sebuah kebetulan, Dina juga sedang berjalan ke arah yang sama menuju lift sehingga berbarenganlah mereka. Sontak Dina menunduk saat tak sengaja Mr Hanks menatap matanya. Ia tersentak entah kaget atau apa namanya. Tapi itu membuat Mr Hanks semakin memperhatikannya. Tanpa sengaja mereka memencet tombol yang sama untuk membuka lift itu.
"Ehm, silahkan pak Hanks. Bapak aja yang tekan" sahut Dina sedikit agak gugup.
"Udah kamu aja Din. Udah terlanjur" sahut Mr Hanks datar.
"Eh iya kalau gitu" lanjut Dina sambil menekan tombol untuk membuka pintu lift.
Tak lama kemudian mereka sudah berada di ground floor tempat di mana makan siang di sediakan. Dina memilih duduk di tempat yang agak pojokan. Mr Hanks mengikutinya dan tanpa permisi seperti biasanya langsung memilih tempat duduk yang tepat di depan Dina berada. Terang saja Dina kikuk bukan main. Konsentrasinya terganggu melihat lelaki paruh baya itu kini sudah berhadap-hadapan semeja dengannya. Sungguh pemandangan yang tak pernah ia inginkan.
"Kenapa Din? Kalau gak nyaman aku pindah aja ke sebelah. Gimana?" tanya Mr Hanks penuh harap seolah membaca gestur Dina yang mulai risih itu.
"Oh gak apa-apa. Silahkan saja pak" Dina datar menimpali.
"Benar gak apa-apa nih Din?" Mr Hanks bertanya basa-basi
"Iya. Gak apa-apa" Jawab Dina singkat.
Makan siang itu mereka lalui dengan singkat seolah menerjemahkan kekakuan yang kini terpampang nyata antara keduanya. Dina kelihatan sedikit berkeringat entah oleh sebab cuaca, pedasnya makanan atau karena hal yang kini dialaminya. Tak henti-hentinya dia mengambil tisu untuk mengelap bulir-bulir keringat yang nampak jelas mengalir dari ujung hidung hingga pipinya, sungguh pemandangan yang membuat Mr Hanks bergetar dadanya. Wajah yang ayu itu semakin menampakkan keseksian kala cucuran keringat itu tak henti-hentinya mengalir. Semakin di lap rasanya semakin kencang aliran keringat itu. Hingga bekas bedan tipis yang masih menempel luntur tersapunya. Makin kencang aliran keringat yang mengalir di pipi Dina, makin kencang pula jantung Mr Hanks berdegup. Dalam hati ia bergumam, sungguh ciptaan tuhan yang nyaris sempurna seorang Dina ini. Bagi Dina, makan siang itu adalah salah satu momen paling awkward. Betapa tidak, bahkan bermimpi ketemu Mr Hanks saja rasanya tak pernah ada dalam benaknya. Kini wajah itu terpampang di hadapannya dengan nyata, makan semeja pula.
Makan siang sudah pula terlewatkan. Dina dan Mr Hanks kembali menuju kamarnya masing-masing. Siang itu di lewati begitu panjang bagi Dina. Tapi bagi Mr Hanks, momen langka itu adalah anugerah. Dia berharap ada kali kedua, ketiga atau bahkan seumur hidup. Ah, kenapa aku ini. Gumam Mr Hanks dalam hati. Keistimewaan Dina adalah terletak pada pribadinya yang tegas dan disiplin. Dia tidak akan mentolerir kesalahan sedikitpun. Apalagi kalau kesalahan itu di sebabkan karena sebuah kesengajaan atau keteledoran. Pasti Dina akan sangat marah. Berbanding terbalik dengan Mr Hanks yang meskipun berbeda 15 tahun dari sisi usia, namun ia adalah pribadi yang cenderung santai, terbuka dan mudah bergaul dan gonta-ganti wanita. Namun saat berjumpa Dina, ia merasakan hal yang berbeda pada pribadi gadis semampai itu. Selain oleh sebab tampilan fisik, karakter gadis itu juga unik. Seorang introvert yang punya dunia sendiri dan tidak mudah bergaul dengan sembarangan orang kecuali jika ia sudah mengenalnya sangat lama. Di kantor saja, Dina cuma punya beberapa orang yang bisa di sebut teman. Tentu saja pak Agus yang juga bos nya itu adalah orang yang paling dekat dengannya dan paling mengenal karakternya. Selain itu, mungkin teman-teman yang sering berkomunikasi intens dengan Dina terbilang jarang atau bisa di bilang langka. Begitulah Dina dan dunianya yang sukar terbaca. Apalagi mencoba bermain cinta dengannya, sudah barang tentu gigit jarilah akhirnya alias Zonk. Dina paling alergi soal itu. Semua hal tentang asmara, galau atau rindu akan sosok lelaki yang menemani hari-hari bersama adalah persoalan yang asing bahkan tak pernah dihiraukan sama sekali.



Malam pun tiba, seperti biasa setelah makan malam selesai, Dina menyempatkan membaca buku atau novel bergenre sci-fi yang isinya tidak jauh-jauh dari perihal luar angkasa atau teknologi terbaru yang bakal terjadi dan di visualisasikan lewat tulisan dengan balutan unsur sastra yang melankolis. Dina terlarut dalam bacaan di hadapannya sebelum pintu kamarnya terdengar di ketuk. Sambil setengah berteriak, Mr Hanks memanggil-manggil dari luar seolah ada sesuatu yang penting.
"Din, Dina. Boleh aku masuk?" Mr Hanks mengetuk lagi sambil setengah mengintip lewat lubang kunci dari luar.
"Siapa?" Dina meletakkan novel yang di bacanya lalu menuju ke arah pintu hendak melihat siapa kiranya yang mengetuk.
"Aku Din. Hanks" Mr Hanks mencoba sedikit mengeraskan suaranya.
"Oh iya pak sebentar. Aku buka dulu" Dina memutar pegangan pintu itu lalu di bukanya perlahan. Tak di lebarkan hanya sedikit buat mengeluarkan kepalanya saja.
"Pak Hanks, gimana pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Dina
"Oh iya maaf Din, udah mengganggu waktu istirahatmu. Aku boleh minta tolong gak?" Mr Hanks sedikit memelankan suaranya kali ini.
"Oh iya gimana pak?"
"Ini ada peta lokasi pengerjaan tambang di dalam flash saya. Tadi aku coba buka tapi kok gak bisa. Apa kena virus atau gimana yaa?"
"Mana flashnya pak, coba saya periksa dulu"
"Ini Din. Tolong di cek dulu. Semoga aja gak hilang file nya"
"Baik pak. Aku coba dulu"
Sebelum melangkah menuju ranjang, Dina sontak teringat kalau lupa membawa laptopnya. Semua file yang kemarin di siapkan udah di simpan dalam sebuah hardisk. Ia lalu membalik badan dan memberitahu kalau ia gak bisa melihat isi flash itu sebab lupa membawa laptop nya.
"Maaf pak. Tapi kemarin aku gak bawa laptop. Semua data ku simpan dalam hardisk ini. Nantinya aku biasa membuka datanya lewat handphone aja" jelas Dina.
Kata-kata itu seolah menambah semangat Mr Hanks. Entah sebuah kebetulan atau keberuntungan, di dalam kamar yang di sewa Mr Hanks itu terdapat satu set komputer modern dengan monitor berlayar datar. Mr Hanks memang sengaja memesan kamar Deluxe yang agak luas dan berfasilitas lengkap.
"Gini aja Din, di dalam kamar aku ada komputer tuh. Barangkali Dina bisa memeriksanya di sana" Mr Hanks menawarkan penuh harap.
"Mmm maksudnya di kamar bapak? Berdua saja?" Tanya Dina dengan raut wajah sedikit ketus.
"Iya kalau Dina gak keberatan. Cuman sebentar kok. Kalau udah kelar Dina balik ke kamar ini lagi" jawab Mr Hanks dengan nada agak setengah memaksa.
Sambil berpikir keras Dina menyanggupi dengan perasaan jengkel bercampur deg-degan. Pikirannya sudah berselancar ke mana-mana. Hal-hal buruk terlintas di dalam benaknya. Jangan-jangan ini hanya trik Mr Hanks saja agar dia bisa melakukan sesuatu yang melecehkannya. Teringat lagi ia akan kejadian sebelumnya saat mereka bekerja berdua saja. Mr Hanks tipe laki-laki yang gak tahan melihat wanita cantik. Apalagi saat ini tinggal mereka berdua saja, dalam kamar pula. Ah, ingin rasanya kejadian itu di skip saja. Timbul penyesalan dalam hati Dina. Andai saja ia membawa serta laptot saat berangkat kemarin, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi.
"Din, gimana?" tanya Mr Hanks mengagetkan Dina dari gumamannya.
"Ehmm anu pak yaudah. Tapi pintu jangan di tutup yaa" jawab Dina kikuk.
"Kok kamu takut sih. Tenang aja, aku gak terpapar covid kok. Udah di tes antigen sebelum ke sini" Mr Hanks sedikit berbisik sambil menatap Dina dengan sedikit centil.
"Iya. Pintu jangan di tutup. Dan kalau udah selesai aku balik ke kamar" Dina berucap dengan nada ketus.
Mr Hanks segera berjalan ke arah kamarnya diikuti Dina pelan. Langkah kaki Dina menunjukkan keraguan, benaknya di penuhi tanda tanya entah apa yang bakal terjadi saat dirinya berada di dalam kamar Mr Hanks nanti.

===) Bersambung...
Diubah oleh albyabby91 11-02-2022 16:25
gramediapubl701Avatar border
penikmatbucinAvatar border
pulaukapokAvatar border
pulaukapok dan 5 lainnya memberi reputasi
6
5.4K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.