Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

marketing32Avatar border
TS
marketing32
Lee Zii Jia dan Jalan yang Pernah Ditempuh Indonesia
Lee Zii Jia dan Jalan yang Pernah Ditempuh Indonesia
Dunia badminton dikejutkan oleh pertikaian Lee Zii Jia dengan Asosiasi Badminton Malaysia (BAM). Jalan terjal pertikaian antara Lee Zii Jia dengan BAM itu sudah pernah dialami oleh Pelatnas Cipayung.

Lee Zii Jia mengirimkan surat pengunduran diri dari pelatnas Malaysia. Pengunduran diri itu lalu dibalas keputusan hukuman larangan bertanding selama dua tahun dari BAM. S E N S O R

BAM tidak akan mengirim dan mengizinkan Lee Zii Jia bertanding pada turnamen seri BWF yang membutuhkan persetujuan asosiasi terkait keberangkatan. BAM juga membuka pintu menyudahi hukuman bila Lee Zii Jia menarik keputusan untuk bermain sebagai pemain independen.

Lee Zii Jia dan BAM sama-sama punya alasan kuat di balik langkah yang diambil. Lee Zii Jia ingin ia bergerak menuju tujuan yang ia bidik sesuai dengan ritme yang ia mau, sedangkan BAM mengaku melindungi kepentingan yang lebih besar di balik keputusan menghukum Lee Zii Jia.

Keributan Lee Zii Jia dengan BAM ini berbanding terbalik dengan situasi pemain-pemain independen yang ada di Indonesia. Pemain independen yang ada di Indonesia bisa bermain dengan bebas dan tanpa hambatan berarti.

Sebenarnya di Malaysia pun sudah ada sejumlah pemain yang tak bernaung di pelatnas, namun masih bisa bermain dan mengikuti turnamen sebagai pemain BWF. Namun Lee Zii Jia jadi kasus mencolok karena ia saat ini adalah wajah utama badminton Malaysia, baik itu dari segi harapan ataupun daya tarik nilai jual.

Di dunia badminton, ada kemiripan antara negara-negara kuat seperti Indonesia, Malaysia, Denmark, China, Jepang, dan Korea Selatan. Mereka sama-sama menerapkan sistem pemusatan latihan nasional, meski badminton sejatinya masuk kategori olahraga individu di luar turnamen beregu seperti Piala Thomas-Uber dan Piala Sudirman.

Indonesia sendiri melalui jalan yang panjang sebelum sampai ke situasi hubungan pemain independen dengan PBSI seperti saat ini. Gejolak pemain-pemain yang ingin berkarier independen dengan PBSI sudah lebih dulu terjadi pada akhir 2000-an.

Saat itu Pelatnas Cipayung kehilangan pemain-pemain yang jadi tulang punggung utama. Taufik Hidayat, Vita Marissa, Markis Kido, dan Hendra Setiawan adalah deret nama-nama yang memutuskan keluar dari Pelatnas Cipayung dengan beragam sebab mulai dari soal nilai kontrak hingga ketidaksepakatan soal kebijakan.

PP PBSI mendapat guncangan besar saat itu. Pemain-pemain yang masuk kategori bintang malah beriringan keluar dari pelatnas Cipayung.

Dalam situasi seperti itu, PP PBSI era Djoko Santoso tidak mengambil langkah ekstrem seperti halnya BAM terhadap Lee Zii Jia. Tidak ada larangan bertanding bagi pemain-pemain yang memutuskan keluar dari pelatnas Cipayung dan tampil independen.

Kepengurusan PP PBSI saat itu bahkan dengan legowo memanggil sejumlah pemain di luar Pelatnas Cipayung ketika menghadapi kejuaraan-kejuaraan penting. Salah satu hal yang berbuah manis adalah ketika Kido/Hendra yang sudah berada di luar pelatnas Cipayung memberikan medali emas Asian Games 2010 untuk kontingen Indonesia.

Setelah melihat tren banyaknya pemain yang sudah berkiprah secara independen di luar pelatnas Cipayung, PBSI era Gita Wirjawan kemudian melakukan perubahan besar dengan menghadirkan aturan baru yaitu sistem kontrak individu.

Sebelumnya PP PBSI menganut sistem kontrak kolektif, seperti yang masih dilakukan BAM hingga saat ini. PP PBSI menjalin kerja sama dengan satu sponsor dengan nilai kontrak tertentu lalu kemudian PP PBSI yang mendistribusikan nilai kontrak per pemain berdasarkan prestasi, peringkat, dan variabel lainnya yang ditentukan di tim penilai.

Sejak 2013 PP PBSI kemudian memutuskan menyelenggarakan kontrak individu. Pemain, difasilitasi PBSI, langsung berhubungan dengan sejumlah calon sponsor yang berminat mengajukan tawaran.

Variabel yang digunakan juga tak banyak berbeda seperti prestasi dan peringkat BWF. Semakin tinggi prestasi, semakin besar nilai kontrak yang didapat.

Sistem kontrak individu ini juga diharapkan membuat atlet-atlet muda makin termotivasi untuk berprestasi lantaran melihat kontrak fantastis yang bisa didapatkan oleh senior-senior mereka yang ada di papan atas.

Setelah sistem kontrak individu diberlakukan, secara umum, besaran nilai kontrak tiap atlet mengalami peningkatan dibandingkan era kontrak kolektif dijalankan.

Di tengah keberhasilan mengaplikasikan sponsor individu, PP PBSI juga masih bisa menjual Pelatnas Cipayung sebagai magnet untuk sponsor. Alhasil, ada kontrak tim yaitu perjanjian kerja sama dengan salah satu apparel. Misal Indonesia bermain di Piala Thomas, seluruh anggota Tim Piala Thomas akan mengenakan kostum dari apparel tersebut.

Kontrak PBSI dengan sponsor tim yang kemudian jadi bahan bakar untuk pembinaan, mulai dari makanan sehari-hari para atlet hingga pembiayaan menuju turnamen.

Sedangkan kontrak individu yang kemudian ikut berperan penting membuat atlet makin meningkat dari sisi kesejahteraan dan membuat pelatnas Cipayung tetap utuh sebagai kesatuan.

Sebagai pemusatan latihan yang tidak mendapat suntikan dana dari pemerintah secara berkelanjutan [pemerintah hanya memberi dana pelatnas untuk program-program multicabang], PP PBSI memang harus pintar-pintar mencari pemasukan.

Mereka harus menghidupi 80-90 orang atlet tiap tahunnya. Dari biaya keseharian hingga pemberangkatan turnamen. Angka yang dibutuhkan seringkali disebut ada di kisaran puluhan miliar atau bahkan menyentuh Rp100 miliar.

Kembali ke hubungan Lee Zii Jia dan Malaysia.

Dilema dirasakan oleh BAM dan pelatnas Malaysia. Tanpa Lee Zii Jia, mereka kehilangan magnet terbesar yang otomatis bakal berhubungan dengan nilai kontrak sponsor yang akan masuk dan jadi energi untuk roda pembinaan.

Bagaimana bila kasus seperti Lee Zii Jia dengan BAM terjadi di Pelatnas PBSI dengan pemain-pemain utama mereka?

Bagi PBSI, perubahan sistem yang mereka jalankan sejak era Gita masih membawa dan menghadirkan keseimbangan hingga saat ini. Artinya kasus keinginan main independen dari pemain utama masih belum mencuat ke permukaan.

Pemain-pemain utama masih setia jadi bagian dari pelatnas Cipayung. Kehadiran pemain-pemain utama ini yang turut mendongkrak nilai jual Pelatnas Cipayung dan PBSI di mata sponsor.

Sementara itu dari segi pendapatan pribadi, pemain-pemain bintang Pelatnas Cipayung bisa berdiskusi langsung dengan sponsor apparel terkait nilai yang mereka inginkan dan tawaran yang diajukan.

Kelangsungan pelatnas Cipayung sebagai pemusatan latihan jelas harus dipertahankan. Bukan hanya bicara soal historis dan sejarah panjang, pelatnas Cipayung adalah jembatan bagi mimpi-mimpi indah bagi banyak pebulutangkis Indonesia.

Tanpa kehadiran pelatnas Cipayung, bakal susah bagi seorang pemain untuk menembus prestasi internasional karena menyangkut besarnya pembiayaan. Tanpa pelatnas Cipayung, mungkin hanya pemain-pemain yang sudah masuk kategori bintang dan pemain-pemain muda dari klub besar saja yang bisa merasakan persaingan kelas dunia.

Dengan pemain-pemain utama terus bertahan di Pelatnas Cipayung, yang berdampak signifikan pada nilai jual dan pendapatan sponsor, itu artinya mereka juga memberikan napas dan energi bagi pemain-pemain muda yang juga merupakan junior mereka.

Pun demikian siklus yang sama bakal terulang saat pemain-pemain muda tersebut berganti peran menjadi pemain utama. Mereka yang kemudian jadi wajah utama Pelatnas Cipayung dan jadi nilai jual di mata sponsor. Dengan demikian Pelatnas Cipayung pun masih akan terus berdenyut dan berjalan. S E N S O R

Untuk kasus Lee Zii Jia, BAM rasanya bisa belajar dengan sistem kontrak yang diterapkan di Indonesia.






Sumber - CNNIndonesia
0
247
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita Olahraga
Berita OlahragaKASKUS Official
15.1KThread4.8KAnggota
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.