penacintaAvatar border
TS
penacinta
Keluarga Mantan Pacar (6)
Keluarga Mantan Pacar

Part 6



“Sayang! Kok ngelamun, sih?” Suara Mas Zaki mengejutkanku.

“Liatin apa?” tanyanya lagi.

“Hehehe … sory, lagi lihat gedung kantor di seberang itu, jadi teringat waktu itu, Mas. Masa-masa kita magang dulu!”

“Yee … kirain ngelamunin apa? ya udah, kamu pesan aja dulu, ya! Mas ke toilet bentar.”

“Oke,” sahutku.

Tak lama kemudian, seorang waiters datang menghampiriku.

“Silahkan dilihat untuk menunya, Mbak,” ucapnya. Aku pun menoleh.

“Mbak Rania?” ucapnya terkejut.

“Yuri?” Seketika tanganku terulur, hendak menyalaminya. Namun entah mengapa dia malah menghindar.

“Mbak, sama siapa ke sini?” bisiknya setengah menunduk.

“Sama suami, emang kenapa?”

“Aduh, Mbak. Emang Mbak gak tahu kalau di resto ini tuh harga makanannya mahal-mahal, emang mampu bayar?”

“Yuri, kamu di sini tugasnya melayani pelanggan, kan? Apa perlunya kamu mengingatkan soal harga makanan?” ujarku tak senang. Kenapa beberapa waktu belakangan ini aku malah bertemu lagi dengan keluarga mantan, sih?

“Ck, soalnya males kalau ujung-ujungnya ribet sebab pelanggan kurang duit buat bayar,” dengusnya.

“Emang pernah? Kayaknya semua orang udah tau soal kualitas dan reputasi resto ini, jadi pastinya yang masuk ke sini udah pasti orang-orang berkantong tebal, dong?” tanyaku.

“Justru itu, melihat dari tampangnya Mbak Rania, takutnya entar malah gak bisa bayar lagi.”

“Emang tampangku kenapa?”

“Mbak, mending batalin aja niat buat pesan makannya. Pindah ke resto yang lebih murah aja, ya!”

“Jawab dulu, emang tampang aku kenapa? Kenapa pula harus pindah resto?”

“Mbak, Mbak, maaf ada apa ini?” ucap Mas Zaki yang sudah berdiri di belakang Yuri.

“Eh, Mas. Ini, aku cuma ngingetin si mbak ini soal harga makanan di resto ini kan harganya lumayan, takutnya si mbak ini gak bisa bayar,” ucap Yuri menjelaskan.

“Kamu baru kerja di sini, ya? Soalnya aku gak pernah lihat sebelumnya,” ucap Mas Zaki santai dengan kedua tangannya tetap masih di dalam saku celana.

“Iya, Mas. Saya baru seminggu kerja. Soalnya ada kejadian, orang yang cuma mau selfie doank di resto ini, terus pesan makanan tapi gak sanggup bayar.”

“Kamu tau siapa mbak yang kamu maksud ini?” tanya Mas Zaki.

“Tau, dong, Mas.”

“Siapa?”

“Mantan calon kakak ipar saya, yang aslinya dari keluarga kelas bawah,” jawab Yuri dengan ekspresi tak bersalah sedikitpun.

“Lalu, apakah orang yang masuk resto ini ada aturan harus dari kalangan kelas atas saja?” tanya Mas Zaki lagi. Aku hanya memiringkan bibir melihat Yuri diinterogasi.

“Iya, dong, Mas. Sebab kalau gak mampu bayar, bisa-bisa kami yang repot.”

“Dari mana kamu yakin kalau mbak ini gak bisa bayar?”

“Ya yakin aja, kecuali kalau Masnya yang bayarin,” jawab Yuri sambil melirikku sinis.

“Oh, jelas. Sebab dia istri saya. Bahkan restoran ini semuanya juga bisa saya beli, termasuk mulut kamu!” desis Mas Zaki sambil menunjuk bibir Yuri.

“Hah? Mana mungkin, istri?” ujar Yuri, matanya melotot.

“Tugas kamu hanya bekerja melayani tamu sebaik-baiknya. Bukan untuk merendahkan orang lain! Kamu lihat di seberang sana, tatap lekat-lekat!” Mas Zaki menunjuk gedung pencakar langit di luar kaca jendela resto.

“Ma-maksudnya?” tanya Yuri bingung.

“Kamu bisa baca tulisan besar di atas gedung itu?”

“I-iya, HS Group. Mas aku juga karyawan HS Group di Kalimantan.”

“Kalau begitu, mulai sekarang kamu jaga attitude kamu! Bahkan saya tahu siapa nama Kakak lelakimu itu. Hendi Harjuna! Kalau kamu masih suka merendahkan orang lain, bukan cuma kamu yang akan kehilangan pekerjaan, tapi Hendi juga! Nasib setiap orang bisa berubah, maka jagalah tata krama dimanapun kamu berada! Camkan itu!”

“Jangan, Mas. Saya butuh pekerjaan ini,” ujarnya memelas.

“Minta maaf!” Mas Zaki memberi kode dengan dagunya.

“Mbak Rania, maafkan aku, ya.”

“Iya, lain kali jangan suka merendahkan orang lain!” jawabku.

“Kalau saya mau, saya bisa aja bikin kamu kehilangan pekerjaan saat ini juga! Untung saja Rania masih berbaik hati sama kamu!” geram Mas Zaki. Sifat cool dan kakunya muncul lagi, deh.

“I-iya, aku permisi!” Yuri berjalan menjauh sambil menundukkan wajahnya.

“Sayang, kamu gak apa-apa, kan?”

“Gak lah, Mas. Udah biasa.”

“Kamu, sih, pokoknya mulai besok harus mulai membiasakan diri pakai baju-baju yang berkelas! Biar gak diremehkan lagi sama orang-orang!”

“Aku nyaman dengan bajuku ini, Mas, yang penting masih sopan.”

“Dasar bandel!”

“Kenapa malah ketemu sama mereka, sih? Mbak Maria di sebelah rumah, ini malah ketemu si Yuri pula.”

“Begitu lihat nametagnya, Mas langsung tau, karena kamu pernah cerita tentang Yuri.”

“Hahaha … Mas belum aku kasih tahu, soal Mbak Maria.”

“Kenapa?”

“Ternyata dia hanya ART di rumah itu. Hahaha ….”

“Yang bener?”

“Iya, majikannya sedang di Amerika. Pulangnya masih lama, jadi dia bisa aman berakting sebagai pemilik rumah itu ke aku.”

“Aneh!”

“Mas, panggil mbak waiters yang lain aja, ya! Aku belum pesan soalnya.”

“Oke.”

Malam itu, aku hanya tertawa kecil, melihat yuri berdiri ketakutan saat kami melewatinya setelah selesai makan malam. Rasanya agak aneh, Mbak Maria bilang Mas Hendi sudah kaya raya, tapi kenapa pula Mbak Maria harus jadi ART dan Yuri jadi waiters? Sungguh janggal rasanya.


Sudah tamat di KBM App, Joylada, dan Google Play Book
0
961
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
BukuKASKUS Official
7.7KThread4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.