Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ralifa761Avatar border
TS
ralifa761
Pelecehan Seksual bentuk Pelampiasan Ketidaksetaraan Gender Akibat Belenggu Patriarki
"UAS Kajian Gender dan Perempuan Jepang" Studi Kejepangan FIB UNAIR

Oleh : Rahma Alif Fathinah (121911333015)


      Perkembangan peradaban manusia saat ini masih belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari belenggu sistem patriarki. Patriarki merupakan suatu sistem sosial di masyarakat yang mempoisiskan laki-laki sebagai sosok utama dan pemegang kuasa penuh dalam sebuah tatanan masyarakat. Sistem ini juga dinilai sebagai sesuatu yang “ajaib” karena dari sistem tersebut secara tidak langsung memposisikan perempuan berada di bawah laki-laki dan mengharuskan mereka untuk taat kepada laki-laki (Rokhimah, 2015:133-134). Keberadaan sistem patriarki dalam suatu masyarakat juga menyebabkan adanya pembatasan peran atau gender bagi laki-laki dan perempuan dalam menjalankan aktivitas kehidupan.

      Gender timbul karena adanya konstruksi budaya dari suatu generasi ke generasi lainnya di masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan. Hal serupa juga sejalan dengan pendapat Mosse dalam (Rokhimah, 2015:136-137), bahwa gender adalah pelabelan pembagian sosial antara laki-laki dan perempuan yang juga mengacu pada karakteristik emosional dan psikologis mereka sesuai budaya yang berlaku. Namun, seringkali masyarakat dalam memahami gender sama dengan seperti memahamai seks pada laki-laki dan perempuan. Padahal sebenarnya gender dan seks adalah dua hal yang berbeda. Karakteristik seks pada laki-laki dan perempuan dilihat berdasarkan ciri biologis yang terdapat pada tubuh mereka sejak lahir, seperti alat vital yang menentukan jenis kelamin mereka. Kesalahpahaman ini yang menyebabkan masih banyak terjadi permasalahan ketidaksetaraan gender dalam suatu masyarakat dan semakin didukung apabila sistem patriarki masih berlangsung pada kehidupan masyarakat tersebut.

     Ketidaksetaraan gender dalam masyarakat seringkali menyebabkan tindakan kekerasan dan pelecehan dari laki-laki terhadap perempuan sebagai bentuk diskriminasi. Hal tersebut tidak akan ada hentinya apabila dalam suatu masyarakat masih berlangsung sistem patriarki, karena secara tidak langsung sistem tersebut melegalkan praktik dominasi laki-laki terhadap perempuan termasuk dalam hal seksualitas. Laki-laki dianggap wajar apabila berlaku agresif dan aktif terhadap perempuan, sedangkan perempuan harus pasif dalam hal seksual (Suprihatin, 2020:415). Adanya kekerasan dan pelecehan akibat ketidaksetaraan gender hingga saat ini umumnya banyak merugikan pihak perempuan. Perempuan seringkali menjadi objek diskriminasi dari laki-laki, salah satunya berupa pelecehan seksual di tempat kerja. Pelecehan seksual menurut Gelfand, dkk dalam (Suprihatin, 2020) adalah sebuah tindakan berkonotasi seksual yang tidak diinginkan oleh individu atau kelompok terhadap orang lain. Bentuk-bentuk pelecehan seksual juga dijelaskan oleh Triwijati dalam (Suprihatin, 2020) bahwa pelecehan seksual meliputi paksaan untuk melakukan kegiatan seksual, ucapan dan perilaku yang berkonotasi seksual secara langsung atau tidak langsung, dan pernyataan merendahkan tentang seksualitas atau orientasi seksual.

      Pelecehan seksual akibat adanya ketidaksetaraan gender juga terjadi di negara maju seperti Jepang. Permasalahan ini dikenal dengan istilah sekuhara (セクハ). Dilansir dari artikel Kompas.com tahun 2016, sepertiga perempuan Jepang pernah mengalami pelecehan di tempat mereka bekerja, baik mereka yang merupakan pekerja paruh waktu atau tetap. Bentuk pelecehan seksualnya beragam, ada yang bersifat ringan seperti menjadi bahan ejekan dari teman pekerja pria bahkan hingga yang paling berat, seperti dipaksa untuk melakukan hubungan seksual, tubuhnya disentuh secara tidak sopan, dan sering diminta untuk berhenti bekerja dari tempat mereka bekerja. Segala bentuk pelecehan seksual tersebut sebagian besar dilakukan oleh pimpinan mereka yang mayoritas adalah laki-laki. Kemudian, apabila mereka melaporkannya kepada pihak berwajib maka hal buruk akan menimpa karir mereka, seperti tidak mendapatan promosi jabatan bahkan sampai diberhentikan secara paksa oleh atasan mereka.

       Begitu pula di Indonesia. Pelecehan seksual di tempat kerja juga dialami oleh perempuan Indonesia, salah satunya pada jurnalis perempuan yang tergolong dalam salah satu kelompok pekerja perempuan yang rentan mengalami pelecehan seksual. Terutama saat harus melakukan liputan di lapangan. Menurut catatan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dalam (Suprihatin, 2020:424) pada tahun 2016 telah terjadi beberapa kasus pelecehan seksual yang menimpa jurnalis perempuan Indonesia, baik mereka yang sudah bekerja tetap ataupun masih berstatus magang. Kejadian tersebut ada yang terjadi di dalam dan luar kantor, mayoritas pelakunya berasal dari pimpinan mereka.

        Berdasarkan penelitian Suprihatin tahun 2020 telah ditemukan bahwa dari 4 narasumber yang diwawancarainya terdapat 2 perempuan yang mengalami pelecehan seksual secara verbal, 1 mengalami pelecehan seksual verbal yang mengarah ke fisik, dan 1 memperoleh keduanya (verbal dan fisik). Keempat narasumber tersebut mengalami kejadian tersebut saat mewawancarai narasumber di lapangan dan di kantor. Mereka semua rata-rata sudah melaporkan tindakan tersebut ke atasan mereka. Sayangnya, 1 korban yang merupakan korban pelecehan seksual dari pimpinannya di kantor mendapatkan hasil berupa dikeluarkan dari tempat ia bekerja, sedangkan korban yang lain hanya sampai tahap melaporkan kejadian ke HRD mereka dan mendapat kompensasi untuk tidak mewawancarai narasumber yang sama. Akan tetapi, tidak ada hukuman yang tegas kepada pelaku yang melakukan pelecehan tersebut ke jurnalis.

       Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja akibat ketidaksetaraan gender masih sering terjadi di era modern ini. Penyebab utamanya adalah masih adanya belenggu sistem patriarki yang dijalankan oleh masyarakat, baik di negara yang maju ataupun berkembang. Dominasi pemimpin laki-laki dengan segala kuasanya di tempat kerja masih sangat berpengaruh dalam bertindak semena-mena dan memandang perempuan sebagai objek seksualitasnya. Perlindungan hukum dari pihak terkait dan pemerintah sangat dibutuhkan terutama untuk pemulihan psikologis korban dari rasa trauma. Tindakan hukum yang tegas kepada pelaku juga sangat diperlukan karena bagaimanapun perempuan juga memiliki kesempatan yang sama dalam menjalankan karirnya untuk pribadi yang lebih baik, serta adanya jaminan dalam hal keamanan dan kenyamanan dalam bekerja sangat diperlukan.

Referensi :

Hardoko, E. (2016). Sepertiga Perempuan Jepang Pernah Alami Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Diakses pada 31 Desember 2020, dari https://internasional.kompas.com.  


Rokhimah, S. (2015). Patriarkhisme Dan Ketidakadilan Gender. MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender6(1).


Suprihatin, S., & Azis, A. M. (2020). Pelecehan Seksual Pada Jurnalis Perempuan Di Indonesia. PALASTREN Jurnal Studi Gender13(2), 413-434.  

Diubah oleh ralifa761 12-01-2022 12:20
0
316
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Regional Asia Lainnya
Regional Asia Lainnya KASKUS Official
1.7KThread242Anggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.