Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Lahir dan Besar di Negeri Jiran, Tapi Tak Miliki Status Warga Negara, Dibayangi Razia

adhie1185Avatar border
TS
adhie1185
Lahir dan Besar di Negeri Jiran, Tapi Tak Miliki Status Warga Negara, Dibayangi Razia
Warga negara tak berdokumen di negara Malaysia tidak diakui dan mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Pasalnya, mereka lahir dari pernikahan orang tua beda negara.
Sehingga, hal itu berimbas kepada anak-anak mereka yang lahir tanpa mempunyai dokumen kewarganegaraan yang sah baik di Malaysia.

Ilustrasi (Image: iStock)

Cerita warga negara tidak berdokumen ini akan membukakan mata kita, betapa pentingnya mengurus dokumen pernikahan, terutama untuk anak yang akan lahir dari orang tua berbeda kewarganegaraan.
Seperti dikutip dari BBC.com mengenai kisah Efa Maulidiyah yang tidak pernah menyangka hidupnya tidak bisa “bebas” seperti adik-adiknya. Pengalamannya tersebut mungkin mewakili cerita warga negara tak berdokumen seperti yang Efa alami.


Ayah warga negara Malaysia dan Ibu warga negara Indonesia

Efa lahir dari ayah yang seorang warga negara Malaysia bernama Tuah bin Osman. Sedangkan ibu Efa adalah perempuan warga negara Indonesia bernama Asma. Asma merupakan Pekerja Migran Indonesia. Keduanya menikah pada 1999 dengan pengesahan dari penghulu. Status Asma saat itu sudah menjadi PMI ilegal sebab visanya yang sudah kadaluarsa. Ayah Efa mengaku bahwa pernikahan mereka tidak tercatat secara resmi, baik di depan otoritas Malaysia dan Indonesia.

“Waktu itu saya tidak berpikir panjang. Waktu nikah tidak mendaftar di Malaysia, tanpa dokumen, tidak mendaftar di Pejabat (Kantor) Agama. Itu langsung menjadi ini. Dia punya status pun tak dapat warga negara,” kata ayah Efa, Tuah bin Osman.

Karena hal tersebut, Efa tidak diakui sebagai warga negara Malaysia. Negeri Jiran ini sendiri menganut prinsip hukum jus sanguinis yang mengakui status kewarganegaraan menurut garis keturunan. Seseorang akan mendapat status warga negara Malaysia jika kedua orang tua atau salah satunya memang warga negara Malaysia.

Sayangnya, orang tua Efa tidak mendaftarkan pernikahannya. Dan kasus seperti yang Efa alami bukan hal yang sulit ditemukan. Sebagai contoh, lokasi tempat tinggal Efa di kampung Damansara yang hanya berjarak 30 menit memakai mobil dari pusat Kuala Lumpur. Baik di perkotaan maupun pedesaan, kasus seperti Efa bukan hal yang aneh.



Efa Maulidiyah dikeluarkan saat bersekolah di tingkat sekolah dasar karena tak memiliki kewarganegaraan Malaysia. (Image: BBC.com)

Tidak boleh bersekolah di sekolah negeri

Akibatnya sangat fatal. Efa hanya mengenyam pendidikan hingga bangku Sekolah Dasar (SD) saja selama sembilan bulan.
“Saya duduk (tinggal) di rumah, tidak seperti budak (anak) lain setiap hari pergi ke sekolah. Saya duduk di rumah saja,” kata Efa. Ia belajar menulis dan membaca dari teman-temannya yang bisa bersekolah.

Saat berusia tujuh tahun, pihak sekolah mengeluarkan Efa sebab ia adalah warga negara tak berdokumen alias tidak tercatat sebagai warga negara Malaysia. Pilihan Efa adalah bersekolah di sekolah swasta tetapi keluarganya tidak mampu membayar biaya sekolah swasta yang tinggi. Tuah bin Osman sehari-hari bekerja sebagai satpam sedangkan Asma menjual jajanan anak-anak.

“Sedih. Saya hidup di Malaysia tak boleh bekerja, tak boleh sekolah. Cita-cita saya pun tidak bisa saya teruskan karena tak boleh sekolah,” kata Efa.

Seperti yang sempat disinggung di atas, Efa tidak sendiri. Data dari Kementerian Dalam Negeri Malaysia mencatat ada 43.445 anak atau anak muda berumur kurang dari 21 tahun yang tidak terdaftar sebagai warga negara Malaysia pada 2019. Diprediksi angka tersebut bisa lebih tinggi sebab Kementerian Dalam Negeri tidak memasukkan mereka yang belum terdaftar.

Dibayangi ketakutan terkena razia



Sejumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) non-prosedural dari berbagai tahanan Imigrasi di Semenanjung Malaysia berada di Bandara Kuala Lumpur International Airport (KLIA), sebelum dipulangkan melalui Jakarta dan Medan. (Image: ANTARA)

Konsekuensi merembet ke bidang lainnya sebagai warga negara tak berdokumen. Efa tidak bisa mengakses kesehatan secara cuma-cuma dan bekerja secara resmi. Bahkan, ia mengaku ketakutan jika suatu saat terkena razia polisi terhadap pendatang ilegal.
 “Saya takut ditangkap polisi. Biasanya polisi minta semua dokumen, minta duit. Tapi saya takut kena tangkap. Kalau ditangkap polisi, polisi akan hantar ke Indonesia pun tak boleh. Tak ada identitas Indonesia. Hidup di Malaysia juga tak boleh, tak ada identitas,” keluhnya.

Lantaran tidak ada surat nikah, tidak ada nama ayah di akta kelahiran yang dirilis oleh rumah sakit tempat Efa dilahirkan di Kuala Lumpur. Akta tersebut hanya menuliskan “nama ibu” dari bayi Efa, yakni Rohima.

 “Saya pinjam identitas sepupu, pasalnya saya tak punya surat-surat,” imbuh Asma.

Perjuangan orang tua Efa ketika tahu menjadi warga negara tak berdokumen

Ayah dan ibu Efa sudah melakukan berbagai cara agar Efa tercatat sebagai warga negara Malaysia. Tetapi usaha tersebut nihil, bahkan mereka harus berjibaku dengan birokrasi, mulai dari tingkat federal hingga level pemerintah, dan antar instansi.
Orang tua Efa menolak saat Efa memperoleh Identity Card (IC) merah saat usianya 12 tahun. Itu adalah batas umur seseorang memperoleh kartu tanda penduduk. Jika IC berwarna merah maka ia adalah warga negara asing.

Orang tua Efa akhirnya berusaha menempuh jalur adopsi. Mereka pergi ke Jabatan Pendaftaran Negara, yang mengurus masalah kependudukan agar bisa mengambil surat sebagai anak angkat untuk Efa. Tetapi permohonan tersebut ditolak sebab Efa sudah masuk usia remaja.

Perjuangan orang tua Efa memperoleh pendampingan dari Abdul Rachman, seorang aktivis buruh migran. Ia mengatakan merevisi akta kelahiran dapat ditempuh dengan diawali melalui tes DNA. Sayangnya, uji DNA hanya bersifat pendukung dan biayanya juga terbilang mahal, yakni sekitar empat ribu ringgit atau sekitar Rp13,7 juta.

Warga negara tak berdokumen, tidak antusias mengurus sebagai WNI

Di tengah sulitnya mengurus sebagai warga negara Indonesia, ibu Efa, Asma, tak bersemangat untuk menutup kasus warga negara tak berdokumen yang menimpa anaknya di Indonesia. Dengan kata lain, Efa sebenarnya bisa mengikuti status kewarganegaraan mengikuti garis sang ibu yang seorang Warga Negara Indonesia (WNI).
 “Kata orang, kalau bisa urus surat kelahiran pasalnya emak dan bapaknya ada di sini. Kalau Efa jadi warga negara Indonesia, bagaimana?” demikian kata Asma.

Yusron Ambary, Kepala Fungsi Konsuler Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, mengatakan masih terbuka kesempatan untuk mengurus kewarganegaraan sesuai status sang ibu.

“Banyak kasus di mana orang tua datang ke kami tanpa selembar dokumen apapun. Tetap semua itu kita proses, kita bantu.

“Yang paling utama adalah kita akan melakukan wawancara mendalam kepada si ibu untuk memastikan status kewarganegaraan yang bersangkutan dan anak itu,” kata Yusron.

Sejak 2017, KBRI setempat melakukan sosialisasi secara agresif tentang pendaftaran anak-anak keturunan WNI. Umumnya, KBRI akan memberikan dua dokumen, yaitu surat keterangan kewarganegaraan dan surat pengenal lahir. Fungsi dua dokumen tersebut adalah menjadi dasar bagi Atase Imigrasi dalam menerbitkan paspor dan surat kewarganegaraan mereka, tambah Yusron.

Tetap memperjuangkan status kewarganegaraannya

Di kalangan internal keluarga, Efa merasakan kepedihan mendalam. Kedua adiknya berstatus warga negara Malaysia dan bebas bepergian. Contohnya lima tahun lalu saat sekeluarga bisa mudik Lebaran ke Surabaya, Jawa Timur.
“Saya ditinggal sendiri. Emak, bapak, adik semua balik kampung. Saya ditinggal sendiri. Pada Hari Raya pun saya sendiri, tidak ada orang tengok. Sangat sangat sedih,” katanya.

Tidak seperti dirinya, kedua adik Efa bisa bersekolah di sekolah negeri secara gratis. Ia harus mengubur mimpinya sebagai pramugari atau pesawat sebab tidak bisa bersekolah seperti mereka.

Efa, saat wawancara dilakukan pada 2020, sedang hamil anak pertamanya. Ia mengkhawatirkan nasib sang buah hati yang mungkin menjadi warga negara tak berdokumen berikutnya.

“Suami saya warga negara Indonesia yang tak ada apa-apa (tak punya dokumen), saya pun tak ada apa-apa. Saya takut nanti saya bersalin, anak saya pun tak ada apa-apa pula,” kata Efa.

Saat ini, Efa bekerja sebagai petugas kebersihan di klinik seorang dokter gigi. Ia beruntung bisa bekerja di tempat tersebut, terlebih lokasinya di Petaling Jaya, yang tidak jauh dari rumahnya. Meski tanpa dokumen kewarganegaraan, sang dokter mau melatih Efa menjadi asistennya. Selebihnya, Efa memilih banyak tinggal di rumah dan membantu ibunya memasak.

Ia tidak menyerah mengakhiri statusnya yang tanpa kewarganegaraan selama 19 tahun lebih ini. Ia ingin diakui sebagai warga negara Malaysia. Perjuangan Efa memang diakui oleh pemerintah Malaysia tidak bisa cepat.

Oleh karenanya, Menteri Dalam Negeri Malaysia Tan Sri Muhyiddin Yassin mengatakan pihaknya akan mempercepat proses pengurusan kewarganegaraan untuk penduduk seperti Efa.  

“Itu akan dilakukan sesuai dengan hukum, konstitusi dan prosedur standar yang telah ditempuh selama ini dalam mempertimbangkan pemberian kewarganegaraan.

“Kita tidak bisa membandingkan satu kasus dengan lainnya. Mungkin saja kasusnya mirip tapi sejatinya berbeda. Jadi yang kita perlu lakukan adalah mempercepat prosesnya,” katanya.

Ditunggu pelaksanaannya di lapangan nanti.


Sumber






0
840
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.