Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

penacintaAvatar border
TS
penacinta
Aku Hanya Minta Semangkuk Mie Ayam. Mas! (6)
Aku Hanya Minta Semangkuk Mie Ayam, Mas!

#Part 6

Pikiranku saat ini semakin tidak tenang berada di rumah Bi Halimah. Benar saja, setelah kedua anaknya pergi ke sekolah dan Bi Halimah berangkat untuk berjualan sayur di pasar, praktis hanya tinggal aku dan Paman Sobari saja yang ada di rumah. Aku mengurung diri di kamar Diana, tetapi sialnya pintu kamar hanya terbuat dari tripleks yang sama sekali tidak kokoh.

Tok tok tok!

“Arin … kamu ada di dalam, kan?” Suara berat Paman Sobari membuat bulu kudukku meremang, takut sekaligus geli.engaja tak menyahut, aku takut Paman Sobari akan berbuat yang tidak-tidak.

“Arin … jangan sembunyi, dong! Sini kita ngobrol, yuk!” ucapnya lagi. Darahku semakin berdesir saking takutnya.

“Maaf, Paman, Arin ….” Belum selesai aku bicara, pintu kamar sudah terbuka karena didorong dengan paksa.

“Kamu kenapa, sih? Kamu takut sama Paman? Paman bukan orang jahat, kok, malahan Paman mau bantuin kamu. Kamu pasti kesepian, kan?” ujarnya seraya mendekat ke arahku.

“Paman mau apa? paman jangan macam-macam, ya! Arin bakalan teriak kalau Paman masih berani mendekat!” ujarku mengancam. Keringat dingin bercucuran. Perutku lapar, belum terisi makanan sebab semua makanan pagi ini sudah disantap habis oleh mereka sekeluarga.

“Kamu jangan sok jual mahal, dong, Arin! Kamu kabur karena suami kamu sudah gak peduli lagi sama kamu, kan? Sini kamu, biar Paman yang berikan kamu perhatian. Kamu gak perlu bilang-bilang sama bibimu yang gembrot dan cerewet itu!” ujarnya lagi, sorot matanya sangat bernafsu, membuat aku semakin ketakutan.

“Tolong Paman pergi! keluar dari sini!”

“Apa kamu bilang? Keluar? Ini rumah punya siapa, Arin? Hahahaha ….”

“Kalau begitu biar Arin saja yang pergi!” Aku berusaha mengumpulkan kekuatan di dalam hati, aku tak ingin mati konyol atau jadi korban kebejatan Paman Sobari.

“Sudahlah, kamu gak perlu takut, ayo kita bersenang-senang, mumpung rumah lagi sepi,” bujuknya lagi. Otakku dipaksa berpikir cepat agar bisa terlepas dari cengkraman laki-laki buaya darat ini.

“Oke, oke! Paman boleh melakukan apa saja, tapi Paman, tolong izinkan Arin untuk bersiap-siap dulu, sebentar saja. Paman tunggu di luar, ya!”

“Nah, gitu, dong! Tapi kenapa harus tunggu di luar?”

“Paman tunggu di luar sebentar, Arin mau ganti baju yang sexy, baju Arin ini bau bawang.”

“Oh, iya, bener juga, kamu gak boong, kan?” tanyanya, aku memaksakan diri untuk tersenyum semanis mungkin.

“Gak, Paman, asalkan Arin tetap diizinkan tinggal di rumah ini selama Arin mau, bisa?”

“Ooh … kalau masalah itu, gampang! Kamu bebas mau tinggal di sini selama yang kamu mau. Nanti Paman suruh Diana pindah ke kamar si Cici, adiknya. Biar kamar ini kamu saja yang huni, jadi Paman bebas mau berduaan sama kamu,” ucapnya genit sambil berusaha mencubit pipiku, aku terpaksa diam saja agar dia percaya.

“Ya sudah, Paman keluar dulu sebentar, Arin mau tukar pakaian, pake parfum sama beresin kasur dulu,” ujarku lagi berusaha meyakinkan. Paman Sobari akhirnya percaya, lalu ia pun keluar dari kamar sambil senyum-senyum memuakkan.

Setelah kuyakini Paman Sobari tak melihatku, aku langsung menyambar tas pakaianku dan perlahan membuka jendela kamar itu.

“Ariin … udah belom? Paman sudah gak sabar, nih! Katanya kamu lagi hamil, ya? Pasti kamu lebih hot. Hihihihi ….”

“Bentar lagi, Paman! Sabar sebentar!” ujarku dengan jantung yang terus terpacu, takut rencanaku untuk kabur ini gagal.

Cepat-cepat aku menuju jendela, membukanya perlahan. Untung saja ukuran jendela ini muat untuk meloloskan tubuhku. Satu per satu kaki sudah keluar dari jendela. Aku berusaha tak mengeluarkan suara sedikitpun. Setelah berhasil keluar, tas pakaian juga sudah ada bersamaku, dengan sekuat tenaga aku langsung berlari menjauh dari rumah itu.

“Aaariiinnn ….” Terdengar suara Paman Sobari berteriak memanggilku, kepalanya melongok dari jendela.

Aku sudah tak peduli lagi, aku harus secepatnya berlari menjauh, mencari pertolongan. Untung saja Paman Sobari tak mengejarku. Pastinya dia tak berani mengejarku karena lalu lintas warga daerah ini lumayan padat.

“Alhamdulillah ya Allah … hampir saja aku terperangkap di rumah laknat itu,” bisikku sambil mengatur napas. Aku baru sadar kalau kini aku sama sekali tak menggunakan alas kaki alias nyeker.

Aku terus berjalan dengan mendekap tas berisi pakaian. Orang-orang memandangiku dengan tatapan kasihan, namun ada juga yang melihatku dengan tatapan jijik. Aku tak peduli, aku terus berjalan di terik matahari yang mulai menyengat meski hari belum terlalu siang.

Sampai akhirnya aku melihat sebuah masjid, aku pun masuk ke halaman masjid itu. Menuju tempat wuduh. Aku mencuci muka dan kaki. Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Masih ada waktu untuk shalat dhuha.

“Ya Allah … berilah hamba jalan, hamba manusia lemah, tak punya siapa-siapa untuk tempat mengadu. Hanya pada-Mu hamba berserah diri.”

Kuusap wajahku dengan kedua telapak tangan, kuakhiri do’a dengan tetap menyebut nama-Nya. Mataku tiba-tiba melihat cincin satu-satunya yang melingkar di jari manis tangan kiriku.

“Ya Allah … ternyata aku masih punya harta yang tersisa, cincin kimpoi ini,” gumamku. Cincin ini bisa kujual untuk mendapatkan biaya demi menyambung hidup. Namun jika Mas Wisnu tahu, apakah dia tidak akan marah nantinya? Hatiku jadi bimbang.

Aku menguatkan hati, semoga saja ini jalan yang Allah berikan padaku. Cincin ini bisa aku gadaikan terlebih dahulu, akan kutebus jika nanti aku punya uang. Meskipun aku tak yakin, tapi setidaknya aku harus punya tempat berteduh dulu. Aku harus mencari kost atau rumah sewa yang murah.

Akhirnya semangatku kembali tumbuh, aku bergegas kembali mengemasi tas yang aku bawa. Kuperiksa isinya, semuanya masih utuh, termasuk dompet dan juga kartu SIM dari ponselku yang sudah hancur.

Aku pun langsung berjalan lagi sambil menahan rasa lapar yang semakin menggigit. Pandanganku mulai berkunang-kunang, tapi aku harus kuat. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya kutemukan sebuah ruko dengan lambang pegadaian. Aku pun masuk, disambut security yang berjaga di pintu.

“Ada yang bisa dibantu, Ibu?” ucapnya sopan. Syukurlah dia tak memandangku dengan tatapan aneh meski kini aku yakin pasti tampangku terlihat seperti gembel.

“Saya mau gadai, Pak. Bisa?”

“Gadai apa, Bu?”

“Ini, cincin emas,” jawabku.

“Bisa, Bu. Silahkan ambil nomor antrean, ya!”

“Terima kasih, Pak.”

Aku pun akhirnya duduk di ruangan ber-AC, bersama beberapa orang lain yang mungkin punya tujuan yang sama denganku. Tak perlu aku jelaskan, tatapan mereka jelas melihatku dengan tatapan aneh. Biarlah, aku pilih untuk duduk menatap ke arah lain saja.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya tiba giliranku. Petugas menanyakan tujuanku, lalu aku memberitahu jika aku ingin menggadaikan cincin emas yang aku pakai.

Setelah proses yang cukup panjang, ditanya ini dan itu, akhirnya aku berhasil menggadaikan cincin kimpoi yang aku punya. Biarlah, nanti akan aku tebus jika uangnya sudah ada. Aku juga harus beli ponsel untuk bisa mengubungi Mas Wisnu dan Mbak Dini. Hanya mereka harapanku.

Setelah uang aku dapatkan, aku pun langsung berjalan menuju kedai mie ayam tak jauh dari ruko Pegadaian. Ya Allah … sudah dari lama aku ingin makan mie ayam. Aku pun masuk dan memesan seporsi mie ayam.

“Mbaknya mau beli, bukan minta, kan?” ucap pelayan dengan tatapan sinis.

“Enggak, Mbak. Saya beli, saya punya uang, kok,” jawabku sedih.

“Kok Mbaknya nyeker? Mbak bukan gembel, kan?” tanyanya lagi. Sedih hatiku, teriris rasanya. Segitu rendahnya orang memandang padaku.

“Bukan, Mbak. Saya sedang cari kostan murah, sandal saya putus, jadi saya nyeker,” jawabku beralasan.

“Duuh … entar duduknya di luar aja, ya! Jangan masuk, entar pembeli yang lain jadi gak selera makan liat kamu, Mbak!” ketus si pelayan.

“Mira! Kamu bicara apa?” Tiba-tiba saja seorang lelaki muda dan tampan berdiri di belakang pelayan itu.

“Mmm … anu, ini, Pak. Saya khawatir Mbak ini cuma minta makan, gak sanggup bayar. Tampangnya gak meyakinkan!” jawab si Mbak pelayan dengan takut-takut.

“Kalau Mbak ini gak bisa bayar, apa kamu yang rugi? Apa gaji kamu saya potong?” bentak lelaki itu lagi.

“Ng-nggak, Pak. Saya cuma gak mau warung Bapak rugi,” kilahnya.

“Sudah, layani setiap pengunjung dengan ramah! Jangan kamu melihat orang hanya dari pakaian atau kendaraannya saja! Semua pelanggan itu sama-sama harus dilayani dengan baik, ngerti kamu?” ucap laki-laki itu penuh wibawa. Aku jadi merasa tak enak hati, kupandangi telapak kakiku yang nyeker.

“Mbak, silahkan duduk, di dalam saja! Pesanan Mbak akan segera kami siapkan,” ucapnya lagi. Aku mengangguk kikuk. Aku jadi merasa tak enak sama Mbak pelayan, sorot matanya terlihat kesal padaku.

“Terima kasih,” ujarku pada akhirnya.

“Mbak, pakai sandal ini, ya!” Laki-laki pemilik warung itu memberikan sandal karet yang ia pakai padaku.

“Gak usah, Mas, saya gak mau merepotkan. Saya mau beli, tapi belum ketemu toko yang jual sandal,” tolakku dengan halus.

“Gapapa, Mbak. Mbak juga mau cari kost, ya? Di gang sebelah ada kost murah dan bersih, gak jauh, kok. Sekitar lima puluh meter. Namanya Kost Putri Melati.”

“Makasih, Mas. Baik, nanti saya ke sana.”

Ya Allah … ternyata masih ada orang baik di dunia ini. Tak lama kemudian, mie ayam pun terhidang. Kunikmati setiap sendoknya dengan linangan air mata. Akhirnya keturutan juga, Nak, kita makan mie ayam. Terima kasih, ya, Allah ….

9 bab di Joy, gratis no koin.
Bisa baca dari link tanpa harus download aplikasinya. Aku Hanya Minta Semangkuk Mie Ayam. Mas! (6)
bukhoriganAvatar border
yudhi0412Avatar border
yudhi0412 dan bukhorigan memberi reputasi
2
918
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.