ryanmallay2000Avatar border
TS
ryanmallay2000
Kesombongan tidak mampu hadapi cobaan
   
Setelah setahun bertugas melaksanakan pengamanan perbatasan RI-PNG akhirnya kamipun kembali ke Home Base. Aku yang berdinas di salah satu satuan tempur di Jawa Tengah sangat senang mendengar tanggal 26 Desember 2006 akan balik ke asrama.

Bukan hanya girang karena telah berhasil melaksanakan tugas tetapi bahagia karena akan bertemu istri tercinta yang aku nikahi dua bulan sebelum berangkat ke Papua. Dialah wanita terbaik dari sekian wanita yang pernah aku pacari. Wanita yang tidak pernah mampu aku lepaskan dari hatiku sejak 1999.

Jika orang lain berusaha mempertahankan kelanggengan hubungan asmaranya sedangkan aku mencoba memperpendek masa pacaran agar bisa menjajaki yang lainnya, namun sejak 1999, wanita inilah yang tidak pernah mampu aku lepaskan dari ingatanku yang akhirnya atas ridho Allah swt, dalam sholat istigharah, aku mendengar bisikan nama dia untuk menjadi pendamping hidupku.

Dia bukan wanita terbaik yang pernah aku pacari tetapi dialah wanita terbaik yang Tuhan pilihkan untukku. Aku tidak memilih dia menjadi istriku tetapi Tuhan yang merestui dia menjadi pendampingku dan itulah yang terbaik dari segala yang terbaik.

26 Desember 2006, mulailah kapal berlayar dari Jayapura menuju Makassar. Kami menaiki salah satu kapal perang TNI AL yang memang diakui usia kapal dua kali lipat dari usiaku. Tapi karena kami menyadari sebagai seorang prajurit yang tidak akan pernah meminta kenyamanan tetapi terlatih dalam segala bentuk penderitaan dengan berperinsip siapa yang mampu mencintai penderitaan dialah yang mampu mendapat kebahagiaan.

Kapal bersandar di Makassar setelah 4 hari berlayar, saat itu kami diberi kesempatan untuk pesiar dan aku membeli kalung emas berlambang love untuk istriku karena tidak dapat aku pungkiri semakin terpisah cinta itu semakin terpupuk. Love never die.

Kapalpun kembali berlayar menuju Semarang. Estimasi waktu tanggal 26 Desember 2006, kami seharusnya tiba di pelabungan Tanjung Mas Semarang. Namun rencana itu tidak semulus perkiraan.

Aku masih ingat, setelah sholat Ashar, sebuah KMP dengan tertulis Senopati di lambung kapal itu menyalip kapal kami, dalam batinku berkata “silakan kamu duluan, toh kami juga yang akan sandar duluan”, dengan sedikit kesombongan aku berkata karena sesuai regulasi kapal perang didahulukan dari kapal komersial.

Sebelum sholat Magrib, terdengar berita kurang menyenangkan bahwa KMP Senopati tenggelam kena badai di Laut Jawa. Berita itu tidak begitu dihiraukan karena yang ada dibenakku bagaimana sesegera mungkin aku bisa memeluk dan cium istriku ku. Maklum pengantin muda.

Setelah sholat Magrib, seluruh Komandan Kompi diajak briefing oleh Komandan Batalyon, dan salah satunya aku yang saat itu menjabat Komandan Kompi Senapan C.

Sebelum breifing kami melaksanakan makan malam bersama di lounge room perwira di Kapal TNI AL tersebut, saat semua sudah duduk di kursi sama-sama dan hendak memulai doa makan malam, tiba-tiba meja makan kami terpelanting, kamipun berhamburan di ruang sempit tersebut. Enatah berapa kali kepalaku terbentur tiang kapal dan dinding ruangan tersebut. Antara sadar dan tidak aku melihat semuanya berantakan. Kejadian singkat tesebut terasa panjang walau hanya beberapa menit saja.

Danyon memerintahkan saya untuk mengecek pasukan dan memerintahkan stafnya untuk menanyakan informasi kejadian. Pasi Intel melaporkan bahwa kapal menghadapi badai namun belum diketahui ketinggian ombak dan saya juga melaporkan kondisi pasukan cukup memprihatinkan, deck untuk tempat istirhat prajurit terbang terbawa angin, seluruh pasukan saya perintahkan berlindung di deck bawah.

Tidak semenitpun malam itu kami bisa memejamkan mata, berulang kali terlempar sampai akhirnya kami pasrah dan hanya bisa berdoa.

Paginya, cuaca cukup bersahabat, kapal mulai tenang, dan kamipun bersyukur. Aku kurang memahami navigasi laut yang aku ketahui seharusnya aku akan sandar siang ini di pelabuhan Tanjung Mas dan bisa memeluk istriku.

Dari radio awak kapal aku mendengar perintah dari anjungan bahwa kemudi kapal mengalami kerusakan sehingga menggunakan kemudi darurat, selang beberapa saat laporan dari kamar mesin melaporkan salah satu mesin kapal tidak berfungsi dan dari navigator juga menyampaikan navigasi kapal tidak bisa opersional. Mendengar berita kurang menyenangkan itu, aku langsung ke anjungan dan menghadap seniorku yang sedang bertugas.

“Selamat pagi, Tor” Sapaku dengan penuh hormat karena beliau seniorku satu tingkat. Kepada senior kami memanggil dengan sebutan Mentor disingkat Tor, dan kepada Junior kami panggil Si Sun, di singkat Sun.

“Pagi, Sun, gimana semalam, bisa tidur gak?”, balasan hangatnya.

“justru itu Tor, mohon info kejadian semalam”, tanyaku.

            Lalu dia menjelaskan bahwa semalam kapal menghadapi badai yang cukup tinggi ombaknya dan kecepatan angin yang melebihi kecepatan kapal sehingga kapal tidak dapat melaju dan terbawa arus menjauh dari laut Jawa. Posisi kapal belum dapat diketahui karena alat navigasi mengalami kerusakan, perkiraan Kapal mengarah ke Timur.

            Aku semakin bingung tapi dapat aku simpulkan siang ini tidak jadi sandar di Pelabuhan Tanjung Mas, pupus harapanku mencium istri tercinta siang ini. Belum sempat aku bertanya, Mentor tersebut perintahkan aku untuk kembali ke Deck karena Kapal akan hadapi gelombang yang tinggi lagi. Sepintas aku melihat ketinggian ombak jauh lebih tinggi dari Kapal serasa Kapal akan masuk ke mulut Ikan Moster yang sangat besar.

            Belum tiba aku di deck, goncangan hebat terjadi pada kapalku. Semua orang berteriak sambil takbir, semua doa diucapkan. Entah berapa lama kami tergoncang dan terus tergoncang. Seharian perut tidak terisi, muntah bercucuran di lantai. Malampun tidak ada bedanya dengan siang, kami seperti dadu yang digoncang dalam kaleng.

            Hari kedua menghadapi badai, aku mendapat laporan adanya perkelahian anggotaku di kapal karena rebutan botol aqua untuk dijadikan pelampung. Kedua anggotaku yang berkelahi masing-masing sudah memegang sangkur.

            Aku datang, aku tembakkan pistolku ke udara sebagai peringatan. Spontan seluruh anggotaku tiarap.

“Apa-apaan ini?” tanyaku sambil membentak. Tidak satupun yang menjawab karena memang mereka paham dengan karakterku yang tidak pernah marah dan tidak bisa berhenti kalau marah.

“Kalau kalian mau berkelahi dengan sangkur, silakan! Saya yang menjadi wasit, yang menang melawan saya”, akupun semakin geram. Mereka meletakan sangkurnya karena mereka sadar tidak mungkin mereka akan melawan karena aku yang melatih mereka perkelahian sangkur.

“Tidak pantas kita berkelahi hanya untuk memperebutkan hal yang tidak penting, botol aqua itu tidak mampu menyelamatkan kalian, lagian kenapa kalian ketakutan?” aku mencoba menenangkan situasi.

“Dengarkan prajuritku, sadari sebelum menjadi seorang prajurit, nyawa kita sudah kita gadaikan ke negara ini, kalau saat ini kita masih hidup itu karena negara baik kepada kita, kenapa harus kita takut mati? Mati sekarang atau besok, sama saja, kita pasti mati, tapi kalau kalian mati karena berkelahi gara-gara botol aqua, itu konyol”, jelasku kepada mereka sambil aku membakar semangat mereka.

Sejujurnya aku jauh lebih takut dari mereka, tapi karena aku seorang komandan yang dituntut harus mampu memanipulasi perasaan sehingga aku bisa mengatakan hal itu.

“Saya melatih kalian renang militer, kenapa kalian takut tenggelam? Di Aceh kalian bisa tertawa saat GAM menembak, kenapa sekarang kalian pengecut?” Aku mencoba bangkitkan semangat mereka.

Sejujurnya aku juga ketakutan. Aku melatih prajuritku berenang dengan menggunakan pakaian, membawa senjata dan menggunakan helm, mereka tidak tenggelam. Secara logika kami tidak boleh ketakutan tetapi cobaan dari Tuhan tidak dapat dilogikakan.

Akhirnya aku sadari, mengapa ketakutan melanda saat kami menghadapi badai? Badai di Laut Jawa hanya secuil dari Samudera ini, jika Tuhan memberi sedikit cobaan di Laut Jawa itu, setinggi apapun kemahiran kami berenang, ternyata tidak ada apa-apanya menghadapi cobaan tersebut. Yang besar hanyalah kesombongan, sedikit diberi cobaan oleh Tuhan, kami merasa sangat kerdil.

Setelah tiga hari berlayar menghadapi badai, tepat malam tahun baru 2007, kapal kami dapat bersandar kembali ke Makassar dan kamipun sepakat tidak mau naik kapal, kami ingin pulang dnegan pesawat.

Tanggal 1 Januari 2007, Pesawat Adam Air hilang tidak ditemukan bangkainya, semakin cuit nyali kami yang dulu pernah sombong karena jago perang tetapi tidak akan pernah menang dalam perang batin. Disaat itulah penobatan terjadi, kesomobongan yang luar biasa besarnya tidak arti apa-apa dengan cobaan yang diberi Tuhan, walaupun cobaan itu hanya secuil.

Dua minggu konsolidasi di Makassar, akhirnya kami kembali berlayar ke Semarang dan selama tiga hari pelayaran cukup tenang. Memang bila berpasrah kepada-Nya, Dia-lah yang akan membuat ketenangan dalam hati kami. Sangat berbeda saat kami dulu berlayar dengan kesombongan, diri kami sendiri yang menghadapi cobaan-Nya.

Aku adalah orang yang pertama yang turun dari kapal karena aku pengantin baru yang diutus oleh Danyon sebagai perwakilan penerima kalung bunga kembali tugas operasi.

Dengan langkah tegap aku dihampiri isteri tercinta dan mengalungkan bunga, akupun memeluk dan menciumnya seraya berkata “Kita terlahir bagai merpati bersayap satu, hanya bergandeng tangan mampu terbang ke Surga”. Satu pelajaran dalam hidupku, aku tanpa dia, nothing.

bukhoriganAvatar border
lempokissmeAvatar border
lempokissme dan bukhorigan memberi reputasi
2
860
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.