Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sukijan.santosoAvatar border
TS
sukijan.santoso
Asmaraku yang Terhenti, Sebab Mengalah Pada Teman Sendiri
Anak melankolis yang gemar membaca, sosok introvert yang tak banyak bicara, itulah diriku. Sifat-sifat dasar yang melekat pada ragaku, tentu telah membentuk sebuah karakter yang otentik. Aku tumbuh menjadi pribadi yang tak menyukai pertikaian, maka sebisa mungkin kuhindari tiap potensi perkelahian.

Sepanjang masa hidupku, sangat sukar kutemukan momen-momen bersitegang dengan insan lainnya. Namun, bukan berarti aku tak pernah berkelahi, aku hanya tak ingin memukul wajah orang hanya karena hal-hal yang menurutku konyol, termasuk perempuan.



---

Entah apa yang merasukiku hari ini, tiba-tiba saja aku teringat akan sebuah kisah asmara yang terhenti, hanya karena mengalah pada teman sendiri.

Saat itu, aku masih kelas dua SMP. Aku menyukai seorang gadis yang sekelas denganku, kita bisa sebut dia “Scarlet”.

Namun, perasaan itu menemui sebuah rintangan. Salah seorang teman sekelasku, sebut saja “Son,” juga memiliki perasaan pada gadis itu.

Tentu saja, hal tersebut menimbulkan friksi di antara kami. Dalam hal pedekate, aku merasa menang darinya, karena bisa mendekati Scarlet tiap harinya. Lain lagi dengan Son, ia tampak sulit sekali untuk melakukan hal itu, seolah Scarlet adalah sosok yang sangat sulit untuk ia dekati.

Son tak habis pikir, ia memakai Bastian, salah satu temanku di kelas, untuk membantunya melawanku. Bastian lalu berkata padaku, bahwa aku tidak boleh mendekati Scarlet lagi, karena saudaranya menyukai gadis itu. Ya, orang yang mengaku saudara Bastian itu adalah Son.

Rasa kesal berkecamuk dalam diriku. Kupikir Bastian adalah teman baikku, tapi ia malah membela orang lain yang tak jelas kekerabatannya dengan dia. Aku juga merasa kesal pada Son, karena kupikir ia tak cukup jantan untuk “bersaing” secara adil.

Jujur, aku tidak takut pada Bastian. Bahkan jika aku harus melawannya dengan Son, sedangkan aku seorang diri, aku juga masih berani.

Hanya saja, kembali lagi pada pembahasan akan sifat dasarku, aku tak ingin ada pertikaian hanya karena perempuan. Coba bayangkan bila kami berkelahi, lalu para guru memanggil kami ke kantor sekolah. Ketika ditanya apa alasan kami berkelahi, haruskah aku mengaku tentang persaingan kami dalam memenangkan hati Scarlet? Tentu hal tersebut hanya akan jadi bahan tertawaan, mengingat kami masihlah anak kecil berusia sekitar 13 atau 14 tahun.

Aku menyadari bahwa pertikaian itu sangatlah konyol, sehingga, kuputuskan untuk mengalah kepada “teman”-ku itu.

Hari-hari setelahnya, kulewati dengan melihat Son yang rutin mendekati meja belajar Scarlet. Hubunganku dengan Bastian jadi renggang, begitupun hubunganku dengan Son yang berubah jadi sekadar formalitas saja. Aku telanjur kesal dengan sikap mereka pada diriku.

Pada akhirnya, kisah asmaraku pada Scarlet terhenti sampai di situ. Perasaanku masih bertahan cukup lama setelahnya, selama beberapa tahun aku masih menyukai dirinya.

Sial sekali, bukannya kudapatkan dia, yang terjadi adalah kulihat dirinya bergonta-ganti pasangan dari tahun ke tahun.

Son sendiri, tak pernah bisa mendapatkan hatinya. Jadi, keputusanku untuk mengalah waktu itu bukanlah keputusan yang benar-benar buruk.

Oh iya, Bastian waktu itu agak meremehkan diriku, yang mengalah setelah ia bicara padaku. Boleh kutebak, pasti ia menganggapku sebagai sosok yang penakut.

Namun, ia salah besar. Beberapa waktu setelah aku mengalah padanya, terjadi friksi lain antara diriku dengan seorang teman sekelas, sebut saja namanya Nurdin.

---

Nurdin sejak SD memang dikenal sebagai anak yang sok jago, ia juga gemar sekali menggangguku. Meski begitu, aku tak pernah melawannya, aku selalu berusaha mengalah tiap kali ia datang untuk mengganggu.

Hanya saja, perlakuannya kali ini sudah membuat amarahku tak terbendung lagi.

Awal dari pertikaian ini terjadi pada sebuah pertandingan sepak bola. Ada satu momen ketika kami beradu tendangan dalam pertandingan tersebut. Kami menendang bola secara bersamaan, dan aku berhasil memenangkan duel itu. Nurdin yang tampak kesal karena tendangannya tak lebih keras dari tendanganku, mulai bermain secara kasar.

Di sekolah, ia jadi makin sok jago. Ia sering menghinaku meski aku tak melakukan apa-apa. Pernah juga ia melemparkan sebuah bola sepak hingga menghantam kepalaku. Rasa kesalku jadi tak bisa ditahan lagi.

Aku mungkin pernah mengalah karena perempuan, tapi aku tak akan mengalah dalam mempertahankan harga diri.

Tekadku jelas sekali waktu itu, akan kuhajar si Nurdin sialan esok hari.

Sebelum semua itu terjadi, aku sempat curhat pada temanku, yaitu Firman. Firman punya cukup banyak pengalaman berkelahi, sehingga kutanyakan padanya, bagaimana rasanya terpukul di bagian mata, apa saja yang terjadi ketika kita berkelahi, bagaimana rasanya dipukul bertubi-tubi.

Sungguh, itu adalah curhatan paling tabu pada masanya.

Bel pun berbunyi, kami dipersilakan pulang setelah guru melenggang.

Satu per satu pelajar keluar dari kelas, kecuali dua, yaitu aku dan Nurdin.

Aku sebenarnya tak berniat berkelahi saat itu, tapi Nurdin menghalangi langkahku. Ia menantangku berkelahi di dalam kelas saat itu juga.

Kulemparkan tasku ke belakang, lalu menatap matanya tajam tanda siap untuk berduel.

Namun…

Nurdin tampak kaget dengan responku, ia kemudian keluar meninggalkanku tanpa memberikan satupun pukulan.

Amarahku yang sudah memuncak tak bisa dibendung, kukejar ia yang sedang berusaha memakai sepatunya di luar sana. Kami saling memaki dengan nada yang meninggi, hingga nak-anak yang saat itu keluar dari kelasnya, menatap kami heran. Utamanya Via dan Ita, samar-samar kudengar mereka membicarakanku, yang mungkin tak pernah terlihat semarah ini di mata mereka.

Kutempelkan kepalan tanganku pada pipi Nurdin, sebagai tanda bahwa aku siap memukulnya saat itu juga. Namun, Nurdin malah memaki-maki diriku sembari melenggang pergi dengan motor hitamnya.

Sialan memang anak itu.

Pulang ke rumah, aku berjalan kaki bersama Fitri, kalau tak salah Scarlet pun juga berjalan bersama kami. Di perjalanan pulang, aku tak henti-hentinya menggerutu, menumpahkan rasa kesal lewat sumpah serapah, sembari melempar-lempar kerikil dan batu-batu kecil.

Aku yakin, Fitri dan Scarlet sangat terganggu dengan perangaiku, hahaha.

Sampai di rumah, kusempatkan duduk pada bangku yang memanjang di depan bengkel. Firman ternyata sedang berbelanja di warung depan rumahku.

Ia berkata, bahwa besok akan ada acara yang sangat seru. Ya, seru sekali.

---

Esok hari yang cerah, aku menjemput sepupu jauhku, Samson, untuk pergi ke sekolah bersama. Kubilang padanya, aku takut si Nurdin sialan itu membawa temannya untuk melawanku. Ia tersenyum karena tingkahku yang berpikiran sejauh itu. Menurutnya, Nurdin tak akan membawa temannya, ini murni pertarungan satu lawan satu.

Sampai di sekolah, aku langsung berlari ke warung bibi Diah. Aku berteriak pada teman-temanku yang sedang nongkrong, “di mata si setan itu?!”

Kulihat mereka semua, tak ada satupun sosok yang kucari di sana.

Aku langsung berlari ke arah kelas, dan kulihat, ia sedang menulis di meja belajarnya.

Teman-teman menyadari kehadiranku, yang bahkan tak menggunakan seragam waktu itu. Aku malah memakai baju kasual berwarna hitam pekat. Sementara dasiku, kulilitkan di tangan bak atlet tinju.

Teman-temanku berhamburan ke luar, sementara aku mengamuk dengan menjatuhkan segala macam benda mulai dari kursi hingga meja.

Aku berhasil mencapai meja belajar Nurdin, kulihat ia masih menulis di sana meski sudah tersisa aku dan dia di dalam ruangan itu.

Dengan kerasnya kubanting meja yang ia gunakan, hingga bukunya pun ikut terlempar.

Aku memukulnya berulang kali, sekeras yang aku bisa, hingga suara getaran tulang pelipisnya menggema di dalam sana. Ia balik memukulku hingga aku terpojok, tapi aku tak merasakan sakit sama sekali. Tampaknya, adrenalinku sudah mencapai puncaknya waktu itu. Aku berbalik memukulinya lagi, lalu kubanting ia bak pemain gulat ke meja belakang.

Seorang teman, sebut saja Wiwi, memisahkanku dari Nurdin. Ia bilang “Sen, sabar Sen!”

Aku tak melawan usaha Wiwi yang ingin menghentikanku, aku masih bisa mengendalikan diri meski dalam keadaan emosi.

Di dalam kelas, aku masih tak bisa meredam amarah. Kumaki-maki dia di sana yang sedang meringis karena sakit di kepalanya.

Aku lalu berteriak padanya:

“SAKIT BOS? MINUM BODREX!”

Teman-temanku jadi tertawa karena perkataan konyolku itu.

---

Bel berbunyi, kami pun keluar dari kelas dengan semangatnya. Hanya saja, semangat yang aku miliki berbeda motif. Jika yang lain semangat karena ingin segera pulang, aku bersemangat karena ingin menghajar Nurdin di tengah jalan.

Di dekat kantor SMP, kuhadang motornya sembari menggenggam segepal pasir di tanganku. Nurdin tampak bergetar saat kuhadang dirinya. Ia kemudian berjalan ke arah sampingku, dan aku lemparkan pasir itu ke matanya. Ia kemudian berhenti di dekat lapang merah, sedangkan aku mengejarnya dengan langkah yang tak terlalu cepat.

Kumaki-maki dia karena tak mau melawan, setelah segala hal yang ia lakukan. Ia lalu kabur lagi dengan motornya. Namun, aku berhasil mengejarnya lagi meski hanya dengan berlari. Kuinjak motornya, sembari memberitahukan rasa kesalku atas segala hal yang telah ia lakukan selama ini.

Para senior yang sedang nongkrong di warung, kemudian berlarian untuk menghentikanku.

“Kak sudah kak, kasihan dia,” kata salah seorang senior yang rutin nongkrong di bengkel ayahku.

Nurdin akhirnya kabur dengan motornya, setelah beberapa orang senior menghalangi niat burukku.

“Dasar banci!” Teriakku, kepada Nurdin yang sudah tak tampak lagi batang hidungnya.

---

Esok hari yang cerah dengan aura kemenangan dalam dada, Bastian mendekatiku sembari berkata “kukira kau tidak bisa berkelahi, Sen.”

---

Yah, cerita ini memang tak memiliki struktur yang jelas. Dari judulnya dapat disimpulkan, bahwa harusnya sebagian besar cerita yang kutulis adalah tentang asmara. Namun, aku malah lebih banyak menceritakan perkelahianku dengan Nurdin.

Pada dasarnya, yang ingin aku tekankan di sini adalah soal sifatku yang benar-benar tak ingin berselisih hanya karena perempuan.

Peristiwa mengalahnya diriku pada Son, dan perkelahianku dengan Nurdin, adalah dua hal yang terjadi dalam rentang waktu berdekatan.

Ketika yang menjadi permasalahan sudah bukan asmara lagi, tapi justru harga diri, aku tak bisa mengontrol emosi.

Sementara ketika yang jadi pokok permasalahan adalah perempuan, aku masih bisa mengalah dan menghindari potensi konflik.

---

Sebenarnya…

Salah satu faktor yang memicuku untuk menceritakan semua itu, berhubungan erat dengan situasi yang sedang kuhadapi. Aku merasa bahwa kejadian serupa bisa terulang kembali, tak jauh dari masa ketika aku menulis cerita ini.

Entah sampai kapan situasi tak mengenakkan ini akan bertahan, entah hingga kapan pula kisah asmaraku berwarna kelabu, tak jelas hitam dan putihnya.

Namun, ini semua bukanlah salahku, bukan juga kesalahan orang lain. Yang salah adalah keadaan, sungguh.

Satu hal yang pasti, di usiaku yang telah menginjak angka 20 tahun, berkelahi karena perempuan sudah bukan hal yang tergolong konyol lagi.

Andai kata nanti diriku jatuh cinta pada seorang gadis, dan aku memiliki teman yang juga menyukainya, maka kali ini aku tak akan mengalah lagi.

Aku juga ingin mencinta dan dicinta. Bukankah hidup tanpa cinta itu, bagaikan taman tak berbunga?
Diubah oleh sukijan.santoso 16-09-2021 03:26
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
588
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.