goal481Avatar border
TS
goal481
Catatan Reflektif Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
Kamis, 29 Juli 2021 09:29
Editor: bakri

Oleh Dr. Danial, S.Ag., M.Ag, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe
Pada hakikatnya syari̒at Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan ini dicapai melalui misi syari̒at Islam atau lebih dikenal dalam istilah agama dengam maqasid syariah yang meliputi kemaslahatan agama, jiwa, harta, akal, keturunan, lingkungan, dan kehormatan.

Ketujuh misi di atas merupakan indikator atau aspek yang menunjukkan kualitas hidup manusia. Kualitas hidup di bidang agama yang baik dapat diukur dari kualitas pemahaman agama, pengamalan agama, dan pengalaman beragama.

Kualitas hidup yang baik dalam aspek jiwa diukur di antaranya melalui mutu kesehatan dan kualitas kenyamanan. Kualitas hidup dari segi ekonomi (harta) diindikasikan oleh tingkat kesejahteraan. Kesejahteraan diukur melalui rendahnya angka pengangguran, kemiskinan, dan kriminalitas.

Indikator kualitas pendidikan (akal) yang baik di antaranya dilihat dari tingkat partisipasi pendidikan tinggi, indek pembangunan manusia, dan budaya literasi. Sementara kualitas kehidupan di bidang keluarga (keturunan) ditunjukkan oleh kesehatan ibu hamil, angka kematian bayi dan ibu, keharmonisan hubungan keluarga, dan kualitas pendidikan anak.


Sedangkan kualitas lingkungan yang baik diukur dari kebersihan dan kesehatan lingkungan, efektifnya kontrol sosial-masyarakat, dan kondusifnya situasi bagi pengembangan kepribadian anak dan masyarakat.

Selanjutnya, terpeliharanya kualitas kehormatan ditunjukkan oleh terwujudnya atmosfir kehidupan yang bebas dari segenap perilaku yang dapat menjatuhkan atau merendahkan martabat manusia, seperti kejahatan seksual, hoaks, fitnah, ghibah, namimah, caci maki, dan lain sebagainya.

Idealitas syari̒at Islam di atas bertolak belakang dengan realitas kehidupan Muslim Aceh mutakhir. Data menunjukkan bahwa di bidang agama, masyarakat Muslim Aceh memiliki semangat beragama yang tinggi akan tetapi pengamalan ajaran Islam di berbagai bidang kehidupan masih belum maksimal, hal ini dapat diukur dengan kurangnya semangat partisipasi masyarakat dalam shalat berjamaah di mesjid-mesjid.

Data di bidang kesehatan jiwa juga mengejutkan, sebab menurut Riset Kesehatan Dasar (RKD) tahun 2013, prevalensi gangguan jiwa berat di Aceh cukup tinggi, yakni sebesar 2,7 kasus per mil atau berada di atas rata-rata nasional yang berkisar 1,7 kasus per mil.

Mengejutkan karena gangguan jiwa di Aceh ternyata tidak hanya disebabkan oleh masalah emosional, tetapi juga banyak disebabkan oleh penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza).

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2018, terdapat 74.000 pecandu narkoba yang harus direhabilitasi. Ini jumlah pecandu yang terdata, sebagaimana kita ketahui bahwa ini adalah peristiwa gunung es, sehingga jumlah yang sebenarnya jauh lebih banyak dari ini.

Sampai di sini kita dapat mengatakan bahwa Aceh sudah pada tahap darurat narkoba. Ini belum lagi digenapkan dengan data kesehatan lainnya seperti kematian ibu hamil dan melahirkan, kematian bayi, dan kasus stunting. Di tambah lagi kasus pernikahan anak di bawah 15 tahun 4,73% dan 16-18 tahun 23,97%.

Di bidang ekonomi, jumlah penduduk miskin Aceh per September 2020 adalah 15,20% (833,91 ribu orang) bertambah 19 ribu orang dibandingkan Maret 2020 yang berjumlah (814,91). Indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan Aceh masing-masing berada pada posisi 2,64% dan 0,66%.

Dari segi pertumbuhan ekonomi tahun 2020, Aceh diperkirakan berada di antara 4,9% sampai 5,2% dengan kecenderungan bias ke bawah. Akan tetapi, Aceh memiliki beberapa faktor pendorong percepatan ekonomi, di antaranya kenaikan upah minimum Provinsi Aceh sebesar 13,03% menjadi 2,9 juta/bulan, investasi (terutama investasi bangunan yang disponsori oleh proyek pemerintah), konsumsi rumah tangga, dan konsumsi pemerintah.

Dalam bidang pendidikan, Aceh memiliki prosentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang buta huruf (Latin) sebesar 1,85%, menurun dibandingkan tahun 2017 sebesar 2,03%. Kelompok usia yang lebih banyak buta huruf adalah 65 tahun  (21,20%). Sementara penduduk buta huruf berusia 44 tahun ke bawah 1,29%.

Pendidikan tertinggi yang ditamatkan masyarakat Aceh adalah 2,89% (D I/ II/ III), 6,63% (D-IV/ S1), dan 0,31% (S2/ S3). Bahkan menurut data dari Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) di PTN Wilayah Barat Indonesia, Skor rerata lulusan SMA/MA/SMK Aceh bidang sains dan teknologi (Saintek) adalah 486,67 atau berada pada urutan ke-24 nasional dari 34 provinsi di Indonesia.

Sementara skor rerata lulusan SMA/SMK Aceh bidang sosial dan humaniora (Soshum) adalah 472,86 atau berada pada peringkat 26 nasional.

Fenomena lainnya menunjukkan bahwa pelaksanaan syari̒at Islam di Aceh lebih didominasi oleh bidang hukum (baca: penghukuman), sehingga melupakan bidang kehidupan lain yang tidak kalah penting untuk mendapatkan perhatian seperti, ekonomi dan kesejahteraan, kesehatan, lingkungan, pendidikan, tata kelola pemerintahan, dan lainnya.

Padahal bidang-bidang ini juga penting untuk mendapatkan perhatian karena jangan terkesan tujuan daripada pelaksanaan Syariat Islam di Aceh adalah untuk menghukum orang.

Namun demikian, perlu untuk diberikan apresiasi karena adanya beberapa kemajuan yang dihasilkan pemerintah Aceh selama 10 tahun terakhir dalam menghasilkan qanun-qanun syari̒at di luar hokum (hukum jinayat dan hukum keluarga) di antaranya adalah qanun yang mengatur bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lainnya.

Tentu saja tidak boleh berhenti pada produk hukum seperti qanun, melainkan harus diikuti dengan penerapan semua qanun tersebut secara konsisten dan efektif.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam mencapai tujuan penerapan Syariat Islam agar sesuai dengan misi Syariat Islam (maqasid syariah) itu sendiri adalah perlunya dibangun  konektivitas dan integritas dalam sistem pemerintahan secara holistik.

Seluruh lembaga pemerintahan baik legislatif, yudikatif, eksekutif maupun berbagai elemen masyarakat harus berjalan sesuai dengan spirit pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.

Akhirnya, kita juga harus mengakui secara jujur bahwasanya menerapkan Syariat Islam di Aceh bukanlah perkara mudah. Salah satu jawaban yang paling mendasar adalah belum adanya role model yang dapat kita ambil contoh dalam menerapkan nilai-nilai agama Islam di zaman modern sekarang ini.

Namun demikan, ketidakadanya role model ini tentunya bukanlah alasan, akan tetapi justru cambuk dan penyemangat bagi provinsi ini dalam mewujudkan Syariat Islam di Aceh yang berorientasi kepada kemaslahatan manusia dunia dan akhirat. Wallu ‘alam.

link

Ini yang digembor-gemborkan oleh para kadrun di mari...
napi.hrsAvatar border
napi.hrs memberi reputasi
1
762
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.7KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.