Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azka81Avatar border
TS
azka81
Dunia Hanya Persinggahan Sebelum Pulang Ke Kampung Halaman Yang Sebenarnya
“Setiap perjalanan ada yang namanya tempat persinggahan, tapi itu bukan tempat yang tepat untuk menetap.”


“Gimana, Zah, udah selesai? Mau pulang sekarang atau ....” Suara Husna membuyarkan lamunanku.

“Bentar lagi, Na. Aku masih ingin di sini. Berada di tempat ini seakan membuatku menjadi lebih bersemangat. Tempat ini mengingatkan, kalau aku masih punya rumah untuk pulang. Melihat kereta yang melaju, seakan-akan membawa pesan rindu dari Umi dan Abi.” Aku menghela napas pelan, berusaha menyembunyikan perasaanku saat ini.

“Zahra, kamu harus kuat dan sabar. Uwak mengirimmu ke kota ini juga demi kebaikanmu. Kalau kamu kembali ke desa nanti, kamu bukan hanya membawa ilmu, Zah, tetapi juga iman. Itu bekal yang berguna untukmu kelak. Tentu hal itu akan membuat Uwak bangga.” Gadis anggun penyuka warna hitam itu tersenyum menatapku.

Aku memainkan jari jemari sembari melihat pemudik yang berlalu lalang menuju pintu stasiun. Pemandangan yang membuatku merasa terhibur, raut bahagia nampak terpancar di wajah mereka. Seakan-akan aku melihat lambaian tangan Abi di antara mereka.

“Berat, Na, kamu lebih beruntung karena pondok kita tak jauh dari rumahmu. Jadi, setiap bulan kamu bisa pulang ke rumah. Tidak seperti aku yang harus menunggu libur panjang atau lebaran. Aku kangen pelukan Umi, aku rindu melihat senyuman Abi.” Kurasa mataku mulai mengembun.

Husna menggenggam tanganku, gadis itu tersenyum hangat. “Orang tuaku adalah orang tuamu juga, Zah. Di sini rumahku adalah tempatmu pulang. Kita adalah saudara. Aku paham apa yang kamu rasakan, kamu harus terbiasa menerima kenyataan.”

Aku terdiam dan mematung. Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakakku yang pertama adalah seorang pekerja seni. Semenjak menikah, beliau lebih memilih tinggal di kota kelahiran suaminya. Sehingga jarang pulang menengok Umi dan Abi sibuk dengan karir dan keluarga kecilnya.


Dunia Hanya Persinggahan Sebelum Pulang Ke Kampung Halaman Yang Sebenarnya

Sudah hampir dua tahun aku berada di kota sejuk yang di juluki Kota Tapis Berseri ini. Umi dan Abi memintaku untuk menuntut ilmu di salah satu pondok di sini. Mereka ingin aku menjadi ustazah di desa kami. Walau, setiap akhir bulan aku dan santriwati lain diizinkan untuk pulang, tetapi karena jarak yang jauh aku memilih rumah Husna sebagai tempat melepas penatnya kegiatan belajar.

Husna dan aku adalah sepupu. Sebelum berangkat ke pondok, aku memang sudah dititipkan ke keluarga Husna. Abi dan Umi mempercayakan orang tua Husna untuk mengurus dan mengawasiku selama berada di kota ini.

Aku masih teringat ketika Umi dan Abi berpamitan untuk kembali ke desa kami setelah mengantarku. Di stasiun ini, Umi memeluk dengan dekapan hangat.

“Zahra, anak Umi yang salihah. Zahra jangan lupa salat yah, Nak. Harus rajin belajar, dan jangan lupa menjalankan kewajiban yang lain. Berdo’a meminta ketenangan dan keberkahan dalam menuntut ilmu. ”

“Umi ....” kueratkan pelukan di tubuh wanita yang sudah melahirkanku itu, air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya jatuh juga.

Abi mengelus kepalaku dengan lembut, “Zahra harus belajar mandiri, Nak. Abi yakin Zahra pasti jadi anak yang hebat. Jalani dengan penuh kebahagiaan dan tanpa beban. Niatkan karena Allah yah. Karena setiap langkah yang Zahra lakukan akan bernilai pahala.”

Airmataku semakin deras mengalir mendengar petuah abi.

“Zahra gak malu, dilihat Husna. Masak umurnya sudah mau lima belas tahun masih cengeng.” Abi tersenyum melihatku menangis.

Kuseka air mataku.

Di umur yang beranjak dewasa ini aku memang masih manja kepada umi dan Abi, tak pernah sekali pun aku berpergian tanpa mereka. Mungkin karena aku anak bungsu, atau ... entahlah. Dan kali ini aku harus berpisah dengan mereka untuk mencari ilmu .

“Pokoknya Zahra harus semangat, gak boleh minta pulang. Biar Abi dan Umi yang kesini menengokmu. Pokoknya anak Abi gak boleh cengeng. Kalau misalkan kangen sama Abi dan Umi, Zahra datang ke stasiun aja minta temenin Husna. Anggap saja, keretanya membawa pesan rindu dari Umi dan Abi untuk Zahra.” Aku masih ingat rangkaian kalimat abi saat itu.

Abi tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku. Kemudian menghilang bersamaan dengan melajunya kereta api yang ditumpangi. Rupanya itu terakhir kali aku melihat senyuman beliau.

Hanya selang beberapa bulan sesudah itu, aku mendapat telepon dari desa. Umi memintaku pulang, Abi sakit keras. Setelah mendapat izin dari pondok, dengan diantar abinya Husna. Aku langsung bergegas ke stasiun, menuju kereta yang akan membawa ke desa.

Perjalanan delapan jam dari kota yang sejuk ini, menuju desa tempat tinggalku terasa begitu lama. Sepanjang perjalanan aku gelisah, aku khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan pada Abi.

Sesampainya di rumah kudapati suasana sudah ramai. Bendera kuning sudah terpasang di di pinggir jalan.

“Abiii!” aku berteriak tanpa bisa mengendalikan diri mengetahui orang yang kucinta telah tiada.

Duniaku gelap.

Sejak saat itu, setiap libur bulanan aku dengan ditemani Husna sering pergi ke stasiun kereta. Kebetulan rumah Husna tak jauh dari sini. Menatap stasiun ini aku serasa melihat lambaian tangan Abi. Melihat kereta yang singgah seperti mendapat kiriman pesan rindu dari beliau.

Aku melamun mengingat itu.

“Permisi, Mbak. Boleh duduk di sini?” Seorang wanita setengah baya tersenyum ramah menyapa kami.

“Ehm, silahkan, Bu,” jawabku dan Husna berbarengan.

“Mbak berdua ini, tujuannya mau kemana?” dia bertanya sambil memasukkan sebuah buku ke tasnya.

“Kami hanya numpang duduk di sini, Bu. Ingin melihat pemudik yang pulang kampung,” ucap Husna.

“Oh ... kirain mau pulang atau pergi kemana? Mungkin satu tujuan sama Ibu.”

“Gak, Bu. Hanya ingin melihat kereta yang singgah," sahutku.

“Benar sekali, stasiun ini hanyalah sebuah tempat persinggahan bagi kereta. Kereta akan berhenti setiap hari, tapi hanya singgah. Kemudian akan melanjutkan perjalanan lagi. Sama halnya dengan manusia, tinggal di dunia hanyalah sementara. Pada akhirnya akan melanjutkan perjalanan menuju kematian.”

Aku dan Husna hanya tertegun mendengar ucapan wanita itu.

“Mbak, kereta yang saya tunggu sudah tiba. Saya permisi. Assalamu’alaikum ....”

“Wa’alaikumussalam .....”

Hening.

Kutatap kereta yang berlalu di hadapanku. Deru suaranya terdengar menggema, aku berbisik dalam hati.

“Abi, Zahra masih singgah di sini.”

---
Cerpen lainnya:
Sepatu Surga untuk Ayah Klik di sini

Pantengin terus yah gansis lapak ane

Sumber pict: Dokpri
Diubah oleh azka81 23-08-2021 00:10
UprutzAvatar border
kuz1toroAvatar border
aisyahnantriAvatar border
aisyahnantri dan 11 lainnya memberi reputasi
10
2.3K
27
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.