dzulbintangxAvatar border
TS
dzulbintangx
Tunisia Dan Mesir, Revolusi Masa Depan Timur Tengah 2010-2011
Kita dikejutkan dengan gejolak yang terjadi di dunia Arab pada tahun 2010-2011 an. Dimulai dengan "révolution de jasmin" - revolusi melati di Tunisia yang berpuncak pada jatuh dan kemudian larinya Presiden Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali ke Arab Saudi, 14 Januari 2011.

Nama revolusi ini mengingatkan kita pada "révolutions colorées" - revolusi berwarna, yang terjadi di bekas negara-negara komunis. "Revolusi" ini, sebenarnya lebih merupakan kudeta ketimbang revolusi, dan ditengarai diarahkan dari jauh oleh Amerika Serikat. Untuk menghilangkan kesan asosiasi dengan revolusi berwarna, para aktivis gerakan di Tunisia lebih memilih menyebut diri mereka sebagai "révolte de Sidi Bouzid" - dalam bahasa perancis atau ثورة سيدي بوزيد dalam bahasa arab, yang dapat diartikan aksi dari Sidi Bouzid, wilayah di mana aksi pertama kali meletus pada 17 Desember 2010, pasca kematian bakar diri, Mohammed Bouazizi. Kepergian Ben Ali dari Tunisia, tidak menandakan berhentinya gerakan ini. Bahkan, gerakan ini seolah memberikan "efek domino" dan menular ke negara-negara Arab lainnya, dari Mesir, Aljazair, Libya, Yordania, Mauritania, Oman, Yaman, Arab Saudi, Libanon, Syria, Palestina, Maroko dan Sudan.

  Dari serangkaian peristiwa ini, masa depan "dunia Arab" pasca revolusi-revolusi menjadi sangat menarik untuk dikaji. Untuk dapat menganalisa hal ini dengan baik, maka pemahaman akan konsep "masa depan" menjadi sangat penting untuk diketahui.Untuk itu, kita berhutang kepada Jacques Derrida yang telah dengan apik menjelaskan konsep masa depan. Derrida, secara umum membedakan masa depan menjadi dua hal" "le future" dan "l’avenir." Menurut Derrida, le future berarti esok, beberapa jam lagi, abad depan, akan menjadi; apa yang akan menjadi. Jadi, le future berupa program-program, dapat diperkirakan, terprediksi, preskripsi-preskripsi. Singkatnya, le future merupakan sesuatu yang terjadwal, dapat diramalkan. Sedangkan l’avenir, berasal dari kata à venir atau to come, akan datang, karena merujuk pada sesuatu atau seseorang yang datang, tak terduga, tak terjadwal. Menurut Derrida, l’avenir adalah masa depan sesungguhnya, kedatangan yang lain tanpa kita mampu menunggunya atau meramalkannya.  

  Le future: Takdir KapitalismeSaat kita berbicara le future atau masa depan yang dapat diramalkan dalam kasus ini, kita sebenarnya berbicara mengenai konteks-konteks maupun penyebab riil yang melatarbelakangi kemunculan aksi-aksi ini.Untuk menganalisanya lebih jernih, di sini, mari kita bersama-sama menengok Tunisia di masa Ben Ali dan Mesir di masa Husni Mubarak sebelum kejatuhannya.Tunisia di bawah Ben Ali, berdasarkan data dari laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2009-2010, disebut sebagai negara paling kompetitif secara ekonomi di Afrika, urutan ke-40 dunia. Bahkan, jauh sebelum itu, pada 18 November 2008, Dominique Strauss-Kahn, Direktur IMF, tokoh Partai Sosialis Perancis, mengatakan bahwa Tunisia di bawah Ben Ali merupakan "exemple à suivre" - contoh yang patut ditiru, "un modèle économique" - sebuah model ekonomi.

  Berdasarkan Index Failed States 2010 yang dikeluarkan Jurnal Foreign Policy - think-thank berbasis di Amerika Serikat, posisi Tunisia ada di urutan ke-121, dengan status "Borderline." Posisi ini artinya lebih stabil dibandingkan Indonesia yang berada di urutan ke-62 dengan status "In Danger" dan China yang berada di urutan ke-57 dengan status "In Danger." Dengan kata lain, menurut indeks ini, Indonesia dan China, lebih berpotensi menjadi negara gagal dibandingkan Tunisia. Dari sini, sebenarnya tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari Tunisia, beda halnya dengan Indonesia yang oleh Forum Rektor Indonesia diingatkan sebagai "Menuju Negara Gagal."Sedangkan Mesir di bawah Mubarak, tercatat tingkat kompetitivitas ekonominya berada di bawah Tunisia, yakni di urutan ke-70 dunia. Begitu pula dari indeks negara gagal, Mesir berada di level yang sama mengkhawatirkannya dengan Indonesia dan China dengan status "In Danger" dan berada di urutan ke-43.  

Yang menarik, Mesir di bawah Mubarak ternyata tidak terlalu mengkhawatirkan dibandingkan dengan Tunisia di bawah Ben Ali. Mengapa? Karena Mesir pada 2007, termasuk lima negara Afrika, bersama Aljazair, Afrika Selatan, Senegal dan Nigeria, yang diundang untuk bergabung dengan Group of Eight Industrialized Nations (G8). Husni Mubarak pun mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G8 pada tanggal 6-8 Juni 2007 di Heiligendamm, Jerman dan 8-10 Juli 2009 di L’Aquila, Italia. Mesir di bawah Mubarak pun dipastikan menjadi bagian dari G14 (G8 + 5 negara Afrika). Berdasarkan data Bank Dunia, Mesir merupakan negara Afrika dengan pendapatan nasional terbesar kedua setelah Afrika Selatan (satu-satunya negara Anggota G20 dari Afrika), dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar 188.413 juta dollar Amerika Serikat, berada di urutan ke-42 dunia, dibandingkan Tunisia yang hanya memiliki PDB sebesar 39.561 juta dollar Amerika Serikat, atau hanya seperlima dari PDB Mesir, dan berada di urutan ke-78 dunia.

Jika melihat fakta-fakta ini, mengapa rezim polisi (bukan militer) Ben Ali bisa jatuh? Begitu pula, mengapa rezim yang dipimpin seorang "Pahlawan perang" Israel-Mesir tahun 1973 dan disanjung oleh Obama pada tahun 2009 sebagai mitra kerja dalam menciptakan perdamaian dan demokrasi di kawasan, bisa terguncang demikian hebatnya? Kisah ini tak terlepas dari sosok Mohammed Bouazizi dari Sidi Bouzid, anak buruh tani, yang berdagang buah dan sayuran sebagai satu-satunya cara untuk menafkahi keluarganya. Gara-gara tidak memiliki izin, bolak-balik barang dagangannya disita aparat kota Sidi Bouzid. Berulang kali pula dia membela diri dan mengupayakan untuk mendapatkan izin dan pengembalian barang yang disita. Tapi ijin tak keluar, dia malah justru dilecehkan dan dikejar-kejar. Pada 17 Desember 2010, di usianya yang ke-26, dalam keadaan depresi, dia membakar dirinya di depan kantor Gubernur. Tanggal 4 Januari 2011, nyawanya pun tak tertolong. Bouazizi lantas menjadi sosok yang dilukiskan oleh filosof Sidney Hook sebagai "eventful leader," di mana kisah tragisnya, kemudian, diikuti oleh Houcine Neji yang bunuh diri meloncat ke tiang pemancang listrik tegangan tinggi dan Lotsi Guadri yang bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke dalam sumur. Setelah itu, dalam kurun waktu 10 hari, tiga anak muda Tunisia lainnya, mencoba bunuh diri, karena frustasi oleh kesulitan hidup di negara di mana lowongan pekerjaan profesional sangat langka.

  Tragedi bunuh diri ini bagaikan pemantik nyala api gerakan anti rejim berkuasa. Gerakan-gerakan turun ke jalan pun semakin meluas, dimulai dari para mahasiswa yang khawatir sekaligus frustasi akan masa depannya, karena tak memiliki pengalaman sekaligus tawaran kerja profesional. Berdasarkan penelitian Carnegie Moyen Orient, jumlah penganggur terbesar adalah para anak muda bergelar sarjana. Secara statistik, dari 13,3 persen populasi, 21,1 persen merupakan anak muda lulusan perguruan tinggi yang tak memiliki pekerjaan. Menurut Taoufik Djebali, profesor sosiologi di Université de Caen, "Sebelum naiknya Ben Ali ke tampuk kekuasaan di tahun 1987, jumlah sarjana sangatlah terbatas. Kemudian Ben Ali melakukan reformasi universitas, di mana saat ini begitu mudah mendapatkan gelar atau ijazah. Hasilnya, meskipun Tunisia dipuja-puja dalam pembangunan ekonominya, para anak mudanya banyak yang menjadi pengangguran. Ijazah di Tunisia pun tidak sinonim dengan kenaikan kelas sosial."Tingginya tingkat pengangguran ini pun diperparah dengan krisis pangan di Tunisia, di mana harga pangan naik 20-30 persen pada minggu pertama Januari 2011. Jelas kondisi ini sangat mencekik rakyat Tunisia dan seolah-olah hanya menghadapkan dua pilihan kepada mereka: bunuh diri atau kelaparan kemudian mati. Dari sini, rakyat yang turun ke jalan pun menyuarakan secara serius turunnya harga bahan pokok.

  Demonstrasi serupa juga terjadi di Mesir pada 25 Januari 2011, yang dikenal dengan Hari Kemarahan, yang bertepatan dengan Hari Kepolisian Nasional. Di hari pertama demonstrasi ini,  para demonstran menyoroti pengangguran dan krisis pangan.Sesungguhnya krisis ini bukanlah gara-gara musim tanam yang buruk seperti yang diberitakan. Krisis ini adalah akibat buruk dari akumulasi kapital melalui pengambilalihan hak milik dan/atau hak penguasaan atas tanah atau basis produktif masyarakat ke tangan para oligopol kapitalis. Situasi ini, seperti digambarkan Karl Marx, kemiskinan/pemiskinan di satu pihak demi menciptakan kekayaan di lain pihak. Dengan demikian, krisis ini adalah hasil dari keinginan para oligopol kapitalis dalam konteks imperialisme kolektif agar monopoli akses atas kekayaan alam, produk pertanian maupun pangan dunia terjamin, tak peduli apakah produk pertanian atau pangan itu langka atau tidak. Pemborosan makanan di satu sisi dan ketiadaan pangan di lain sisi, sekali lagi, tidak menjadi masalah selama para oligopol kapitalis ini bisa meraup keuntungan.

Perlahan tapi pasti, sistem pemerintahan yang terbentuk  menjadi ploutocratie - plutokrasi - pemerintahan di tangan orang-orang kaya. Para orang kaya inilah yang kemudian berkuasa, dan mereka yang berkuasa ini terus memperbesar jumlah kekayaannya untuk melanggengkan kekuasaan, baik itu secara legal maupun korupsi. Hasilnya keluarga Ben Ali bisa memiliki kekayaan sekitar 5 milliar dollar Amerika Serikat, setelah berkuasa selama 23 tahun. Dengan menjadi komprador, keluarga besar Ben Ali dan Trabelsi diperkirakan menguasai sekitar 30 persen dan 40 persen ekonomi Tunisia atau setara dengan 10 milliar dollar Amerika Serikat, bahkan hampir 10 kali lipat lebih besar dibandingkan current account balance - saldo giro Tunisia yang bernilai negatif 1,711 milliar dollar Amerika Serikat.  

Kondisi perdagangan barang yang defisit ini semakin diperparah saat Uni Eropa dilanda krisis kapitalisme tahun 2008, yang berpengaruh pada menurunnya perdagangan jasa (berkurangnya jumlah turis maupun kunjungan dari Uni Eropa) ke kedua negara tersebut. Tercatat pada tahun 2009, Tunisia mengalami penurunan pemasukan sektor jasa sebesar 10%, sedangkan Mesir mengalami penurunan sebesar 14%.Sampai di sini, prediksi keruntuhan rezim kapitalisme plutokratik di Tunisia dan Mesir menjadi sebuah keniscayaan, takdir yang tak bisa diubah.

   
  Tunisia  adalah   negara   Republik   dengan   sistem   pemerintahan presidensial. Perekonomian di Tunisia juga beragam mulai dari pertanian,pertambangan, manufaktur, pariwisata, dll. Uni Eropa merupakan mitra dagang utama bagi negara Tunisia. Walaupun penduduk Tunisia berasal dari Arab, Berber dan Turki, mayoritas mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Arab. Kemunculan fenomena Arab Spring yang sangat terkenal di Timur Tengah berawal dari Tunisia, yaitu pembakaran diri penjual buah karena gerobak dan buah-buahan miliknya disita oleh polisi. Sebenarnya dibalik itu semua adalah karena kediktatoran pemimpin Tunisia pada saat itu yaitu kepemimpinan Zainal Abidin Bin Ali sehingga menyebabkan demonstrasi rakyat besar-besaran.

Beralih ke Mesir, sebelum Mubarak turun dari jabatannya sebagai Presiden pada Jumat 11 Februari lalu, sebenarnya kita sudah bisa menduga bahwa rezim ini akan selesai, entah melalui gerakan massa ataupun pemilihan Presiden pada Agustus/September nanti.Adapun mengenai oposisi, berbeda dengan Tunisia, Mesir dengan tegas melalui Undang-undang No. 40 tahun 1977 tentang Partai Politik, melarang partai politik yang berdasarkan agama. Atas dasar ini pula, gerakan politik berbasis keagamaan, khususnya Islam, seperti Ikhwanul Muslimin, mendapat tekanan yang sangat hebat. Rezim Mubarak pun menempatkan dan memberlakukan represi yang sama atas gerakan Kifaya yang dianggap satu lini dengan Ikhwanul Muslimin. Selain dua gerakan ini, Mesir pun mengenal al-Hizb al-Sheo'ey al-Masry atau Partai Komunis Mesir, sebuah partai yang dianggap terlarang dan direpresi tak kalah kejamnya oleh rezim Mubarak. Represi atas oposisi di Mesir menjadi semakin rumit, mengingat status Mesir yang dinyatakan darurat pasca Perang 6 Hari tahun 1967, memberikan kuasa mengerikan ke tangan ke kepolisian maupun rezim yang berkuasa untuk menghabisi mereka yang bersuara berbeda dengan kebijakan penguasa pusat, sebagai melawan ketertiban umum.Jika perlawanan di Tunisia terlihat digerakkan oleh organisasi-organisasi profesional, maka perlawanan di Mesir sesungguhnya lebih radikal, karena digerakkan oleh kelas pekerja dan kaum muda yang sadar sekaligus tidak tahan terhadap represi yang dilakukan oleh rezim Mubarak. Jauh sebelum tanggal 25 Januari 2011, di mana rakyat Mesir yang menderita krisis pangan, tingkat pengangguran yang tinggi dan kronisnya korupsi, meneriakkan Hari Kemarahan, sesungguhnya perlawanan melawan rezim sudah dimulai dengan pemogokan dan blokade jalur kereta api seluruh Mesir oleh Serikat Buruh Kereta Api, pemogokan 24. 000 buruh pabrik tekstil terbesar di Mesir Al-Mahalla Al-Kubra dan pemogokan yang dilakukan 3000 buruh atau pekerja di Rumah Sakit Qasr al-Aini di Kairo.  

  Pasca Mubarak ini pun, rakyat Mesir tak dapat mengandalkan kaum oposisi seperti Ikhwanul Muslimin yang mengusung slogan "Islam is solution" , yang sebenarnya tak lebih dari gerakan Islam politik. Islam politik merupakan musuh tanpa belas kasih dari gerakan pembebasan dan tak lebih hanya menciptakan sebuah teokrasi neoliberal.Berbeda halnya dengan gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin, Islam Politik tak pernah sedikit pun menawarkan sebuah kritik teologis maupun sosial. Gerakan ini tidak pula menawarkan analisis kritis atas sistem kelas dan lebih sibuk pada ideologi yang didasarkan kembali pada masa lalu, pada masa sebelum Islam tunduk pada kapitalisme dan imperialisme Barat. Karena itu pula, gerakan Islam Politik tak pernah menawarkan program-program yang terinci agar keluar dari sistem kapitalisme maupun imperialisme. Dalam kenyataan seperti ini, sering kali gerakan maupun rezim Islam Politik, justru memilih hidup harmoni dengan kapitalisme liberal dan memilih menjadi garda depan perdagangan bebas, seperti Arab Saudi yang secara ekonomi-politik sangat mesra dengan Amerika Serikat. Dari kenyataan ini pula, bukanlah suatu hal yang mengejutkan bila Obama mengundang Ikhwanul Muslimin hadir saat pidatonya di Kairo tahun 2009 dan menyuarakan hal yang sama dalam krisis politik Mesir ini.Sama halnya dengan Tunisia, masa depan gerakan rakyat Mesir untuk keluar dari kapitalisme yang menyebabkan krisis dan/atau sedang krisis dan bukan hanya sekedar keluar dari krisis kapitalisme, masih belum dapat diprediksi dan masih harus tetap diperjuangkan.

Sumber :
Tamburaka, Apriadi . 2011. Revolusi Timur-Tengah. PT Buku Seru: Jakarta.

Ilmupengetahuanumum.com, 15/09/2019, dengan judul “Profil Negara Tunisia” [url]https://ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-tunisia/  [/url]


   

0
576
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.