Mempunyai keluarga utuh dan harmonis adalah impian setiap insan. Namun, takdir terkadang tak seindah impian. Hanya saja, sebagai insan berakal, mengelola takdir agar dapat diterima dan dijalani dengan ikhlas adalah suatu keharusan.

Namanya Ibu Sutami, beliau adalah seorang janda atau Single Parent asli Solo. Sejak melahirkan anak laki-lakinya, beliau ditinggal kan oleh suaminya yang berlabuh ke hati wanita lain. Wanita mana yang tak kecewa dan hancur saat tahu dirinya dan buah hatinya yang masih bayi merah, ditinggal pergi oleh pria yang seharusnya mengayomi.

Sedih, kecewa, nelangsa, tapi hidup tetap berjalan. Dalam hati dan jiwa yang terpuruk, ditempa lagi dengan kondisi paceklik di desa yang melanda. Adanya 6 adiknya yang masih kecil dan orang tua yang sepuh dan sudah tidak bisa banyak beraktivitas membuat beliau mau tidak mau harus cepat bangkit. Berjuang untuk menopang ekonomi bagi seorang putra, kedua orang tua dan 6 orang adiknya.

Mengorbankan perasaannya demi hidup. Ya, kala itu hidup untuk sekadar makan saja sangat sulit. Aneka usaha dagang beliau jalani. Dari jual beras di pasar, hasil bumi yang dibawa dengan sepeda, dari tempat belanja ke pasar sejauh hampir 10 km dengan kondisi jalanan yang tidak mulus. Jual bumbu masakan, hingga menjadi juru masak di tempat hajatan beliau lakoni.

Impiannya hanya satu, keluarganya tidak kelaparan dan adik-adiknya harus ada yang sekolah.

Melihat situasi yang semakin sulit, Sutami muda memutuskan hijrah ke kota Bandung, mencari peruntungan di kota kembang. Dengan berbesar hati menitipkan bayinya pada orang tua, beliau yakin putranya lebih aman tinggal di desa daripada dibawa ke kota.

Di kota Bandung, beliau ikut seorang famili yang cukup berada, menjadi pengasuh anak. Hingga diajak untuk mengabdi sebagai tenaga honorer juru masak di satuan angkatan udara di kota Bandung. Tapi sayang, lagi-lagi nasib tak berpihak, beliau tidak diangkat jadi PNS karena terkendala ijazah sekolah yang tak dipunya. Tuhan tak pernah tidur, kerja keras membuahkan hasil, berbekal pengalaman, beliau diterima bekerja sebagai juru masak di IPTN, kalau sekarang adalah PT DI.

Bekerja keras tak henti, setiap rupiah beliau kirimkan ke kampung halaman. Orang tuanya tak pernah menyia-nyiakan rejekinya, setiap ada uang lebih ditabung untuk di belikan ternak dan sepetak sawah untuk investasi. Saat sudah mulai mapan, beliau mengajak putra semata wayangnya untuk ikut ke Bandung. Peran seorang ibu dan seorang ayah sekaligus beliau sandang, benar-benar #ThePowerOfSingleParent.

Bukan tanpa rintangan hidupnya, berulangkali ditipu, jatuh bangun banting tulang, bahkan mengerjakan dua pekerjaan sekaligus pun pernah dilakukan, semata-mata demi tanggungjawab terhadap keluarganya.

Hasil kerja keras tidak pernah berkhianat, berkat ketekunannya, beliau berhasil menyekolahkan anaknya hingga lulus perguruan tinggi. Adik-adiknya hidup layak dan masing-masing mempunyai rumah. Beberapa petak sawah dan ternak sapi sudah beliau miliki sebagai bekal hari tua.

Namun, di waktu tua yang seharusnya beristirahat dengan anak cucu, beliau masih saja gigih bekerja menunggui warung kelontong miliknya, beliau enggan berdiam diri. Meskipun keluarganya meminta untuk lebih santai dan menikmati masa tua dengan tenang, beliau menolak. Hidupnya adalah bertanggungjawab untuk keluarga.

Bekerja keras, bertanggungjawab dan ikhlas adalah hal yang menjadikan beliau sebagai inspirasi hidup ane. Ya, beliau adalah Ibu Mertuaku tercinta !