Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

soniapenulisAvatar border
TS
soniapenulis
LANJUTAN KISAH SEKAR YANG TERGODA AUDITOR GANTENG
BAGIAN 3



Proses audit berjalan dengan baik. Ada beberapa temuan tapi untungnya bukan di divisiku. Bisa tidur nyenyak dan menghabiskan quality time bersama keluarga. Tim audit selama tiga hari full berada di kantor, divisi Humas dan Protokol hanya tinggal melengkapi berkas yang kurang. Sementara kakak kelasku entah sudah berada di mana.

Hingga sore itu di sebuah supermarket sepulang kantor. Kantong belanjaanku ditabrak seseorang dan semuanya berantakan.

"Maaf, saya tidak lihat tadi," ucap orang itu. Dia masih menunduk sambil memungut belanjaanku yang berserakan.

"Tidak apa-apa saya yang salah," ucapku kemudian.

"Sekar?" ucapnya lagi. Aku segera mengalihkan pandangan ke wajah pria itu."MasyaAllah, Pak Arif rupanya."

"Jangan panggil Pak! Kesannya saya jadi tua sekali, ha ha ha."

Aku tersenyum melihat ekspresinya yang konyol.

"Ini mau pulang?" tanyanya padaku.

"Iya. Tadi anak saya minta dibelikan buah dan sosis," jawabku santai sambil menyusun barang belanjaan di bagasi.

"Bagaimana kalau kita ngopi sebentar?! Kalau tidak keberatan, sebagai permintaan maaf saya."Untuk sejenak aku berpikir. Bang Harun tadi pagi berangkat ke site, dan putriku Arunika masih di rumah adik sepupuku. Tak ada salahnya kusanggupi tawarannya.

"Oke. Kita ngopi di mana?" tanyaku kemudian. Wajahnya Arif berubah semringah, senyum simpul menghiasi bibirnya.

"Kendaraanmu tinggal saja di sini! kita ngopi di Crown ya," ucapnya meminta persetujuan. Aku menjawab dengan anggukan.

Arif memberi isyarat agar menuju kendaraannya yang terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri. Sebuah Nissan X-trail keluaran terbaru berwarna hitam metallic, sepertinya sesuai dengan karakternya yang cool. Aroma sejuk menguar ketika ia membukakan pintu kabin untukku, rupanya dari segi pengharum kendaraan, kami punya selera yang sama.

Tak sampai lima menit kami sampai di depan sebuah bangunan berlantai dua. Tertulis Crown nine ball di dinding bagian depan, dengan kerlip lampu mirip lampu diskotik. Hingar bingar live music terdengar saat seorang penjaga pintu membukakan pintu. Wangi daging panggang seketika menohok lambung, padahal Arif hanya ngajak ngopi. Mungkin baiknya langsung makan malam saja, pikirku.

Arif mengarahkan ke meja di sudut ruangan, berbatasan langsung dengan dinding kaca. Dari sini bisa dilihat temaram cahaya di luar bangunan.

"Mau makan sekalian? Saya masuk sini kok jadi lapar," ucap Arif jenaka.

"Boleh juga. Kebetulan saya belum makan," kataku juga dengan nada yang tak kalah jenaka.Seorang pramusaji menghampiri meja. Memberikan dua buah buku menu pada kami. Aku langsung memesan nasi dan sop buntut dengan minuman jeruk hangat, seharian lambungku belum terisi nasi.

"Wah, makan berat. Gak takut gemuk?" tanya Arif. Tampak sekali dia heran.

"Seharian saya belum makan nasi, Mas. Abaikan diet dulu," jawabku santai.

"Kamu tu, ya. Biasanya perempuan suka jaim dan malu-malu kalau makan dengan pria lain. Kamu beda, Sekar."

"Saya bukan tipe perempuan jaim, Mas. Jadi jangan heran kalau saya kadang gak punya malu, ha ha ha."

"Saya suka gaya kamu, Sekar."

Arif akhirnya memilih menu yang sama denganku.

"Saya lihat di akunmu, ada foto keluarga. Di mana suamimu sekarang?" tanya pria di hadapanku.

"Suami saya tadi pagi terbang ke site, Mas. Habis cuti dua puluh hari," kataku sambil menyuap kentang goreng.

"Wah pejuang LDR donk. Emang gak rindu?" tanyanya lagi.

"Pejuang LDR, kaya abege saja. Ha ha ha. Ya rindulah, Mas. Makanya kalau dia belum waktunya cuti, saya yang liburan ke sitenya. Bawa Ika Putri kami," tuturku serius.

"Istri yang pengertian ya," ucapnya sambil memandang takjub padaku.

"Biasa aja, Mas. Oh iya, masa saya aja yang cerita soal keluarga. Mas sendiri bagaimana? Istri sama anak ada di Kota juga, kan?" tanyaku padanya.

Tiba-tiba raut wajahnya berubah sendu. Sambil mengalihkan pandangan ke luar dinding kaca."Saya baru saja resmi bercerai, Sekar. Dengan hak asuh anak jatuh ke tangan saya, tapi karena terlalu sibuk mencari nafkah. Anak-anak saya titipkan pada Ibu saya," jawabnya lirih. Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Ada rasa bersalah hadir di relung hati.

"Maaf, Mas. Saya benar-benar tidak tahu, saya ...."

"Bukan salahmu, Sekar. Kamu kan tidak tahu." Arif memotong kata-kataku, di bibirnya tersungging senyum kegetiran.

Dua orang pramusaji datang mengantarkan pesanan kami. Tak lama kami pun dengan lahap menyantap makanan yang terhidang. Beberapa kali Arif memandang kepadaku, tapi tak terlalu kuperhatikan. Prioritas saat ini adalah mengisi perut.

Usai makan kami berbincang ringan tanpa menyinggung masalah keluarga. Rasa tak enak masih bersemayam dalam hati. Meski Arif beberapa kali mencoba bergurau. Dari pertemuan malam ini tampak jelas Arif adalah pribadi yang menyenangkan dan humoris. Siapa sangka kehidupan pribadinya berantakan. Pukul sembilan lewat lima belas menit kami berpisah, sudah malam juga.

Meski lelah aku tancap gas menuju rumah adik sepupuku. Di separuh perjalanan, Mirna adik sepupuku telepon. Katanya Ika sudah tidur, jadi jemput besok pagi saja. Atau biar dia yang antar, toh besok masih libur sekolah. Segera memutar arah untuk pulang. Usai mandi dengan air hangat aku langsung berbaring di ranjang yang empuk. Suasana rumah sepi tanpa Bang Harun dan Ika. Asisten rumah tangga kami selalu pulang di sore hari.

Jemariku mengusap layar ponsel dan menghubungi ponsel Bang Harun.

[Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi]Aku mendengkus kesal. Tapi bisa jadi di sana sedang gangguan jaringan. Bukankah ini bukan hal baru? ucapku pada diri sendiri. Iseng kubuka beranda media sosial, lalu tertuju pada sebuah status dari akun Arif.

"Salahkah jika aku iri pada suamimu?"

Deg.

Jantungku berdesir. Apa maksud dari status Arif ini? Apakah menyangkut pembicaraan kami tadi? Statusnya kulewati, namun kemudian masuk sebuah pesan di aplikasi messenger.

[Lagi ngapain? Sudah jemput Ika?]

Sebenarnya aku enggan berbalas pesan dengannya. Tapi rasa tak enak mulai timbul di hati, bagaimanapun Arif adalah kakak kelas.

[Lagi di kamar, Mas. Ika tidur di rumah sepupu saya, jadi ya sendirian]

Di akhir pesan kusertakan emot tawa.

[Wah, coba tadi tidak buru-buru pulang ya?]

[Mas, di mana?]

[Saya di hotel, besok mau ke dinas perikanan. Jadi kalau pulang ke rumah capek di jalan]Kantuk mulai menyerang. Sudah jadi kebiasaanku, jika nempel bantal akan segera terserang kantuk.

[Mas, maaf ya saya ngantuk banget. Saya tidur duluan ya]

[Selamat tidur, cantik]

Aku terpana melihat jawaban pesan dari Arif. Tapi kantuk tak mengijinkan untuk kompromi, akhirnya terlelap. Pukul dua dinihari aku terjaga karena ingin pergi ke kamar kecil. Barulah kuperhatikan secara detail pesan dari Arif, dan memang benar mata ini tidak salah membaca pesan itu.

"Dia bilang aku cantik," ucapku pada diri sendiri.






BAGIAN 4




Pagi yang cerah, aku menikmati secangkir kopi dan roti panggang sendirian. Bang Harun sudah kembali ke site, Ika masih asik bermain dengan sepupunya. Biarlah. Toh masih libur sekolah. 

Ponsel berdering kala kuletakkan gelas kotor di tempat cuci piring.

"Pagi, Pa. Kok baru aktif hapenya? Mama kan kepikiran," cecarku pada Bang Harun.

"Duh Mama, baru juga ditinggal. Kan tahu sendiri signal di sini sering ngadat, ini aja Papa ke gunung. Entah kapan bisa telepon lagi," ucap Bang Harun lesu.

"Iya deh, maaf! Tahu kan gimana Mama kalau gak bisa telepon Papa," tuturku berusaha mengalah.

"Iya, Sayang. Oya, mana Ika?"

"Di rumah Mirna, Pa. Gak mau pulang,"

"Ya sudah, biarkan dia. Kan masih libur sekolah?"

"Iya, Pa."

"Ya udah, Papa balik ke tambang dulu. Mama kerjanya hati-hati ya, love you."

"Love you too, Pa."

Pembicaraan berakhir. Aku segera mengunci pintu dan bergegas menuju kantor, entah mengapa hari ini terasa begitu bersemangat dan ceria. Sebelum sampai di kantor terlebih dulu melihat keadaan putriku dan membawakan beberapa lembar pakaian ganti. Pukul delapan kurang sepuluh menit aku sudah sibuk dengan pekerjaan. Besok ada rapat Anggaran, jika prosesnya alot pasti pulang terlambat.

Kling ... Kling ....

Sebuah pesan masuk ke ponsel. Sambil menyeruput minuman kegemaran, jemariku mengusap layar benda pipih di tangan. Nyaris tersedak, pesan itu dari Arif.

[Selamat pagi, cantik. Udah di kantor ya?]

Meski ragu, tak urung kubalas juga pesan singkatnya.

[Pagi juga, Mas. Perasaan dari semalam panggil saya 'cantik' terus deh. Kan jadi malu,]

[Ha ha ha. Kenapa malu? Kamu memang cantik]

[Pagi-pagi gak usah gombal deh, Mas!]

[Mas jujur kok, kamu sosok perempuan sempurna di mata saya. Ibu sekaligus istri yang ideal]Perasaanku makin melambung tinggi, ketika di akhir pesan kulihat emot hati bertubi-tubi. Ada rasa yang aneh menjalar di setiap sendi hati, telapak tangan jadi basah karena gugup. Cukup lama ritual berbalas pesan berlangsung, hingga ia mohon diri untuk mulai bekerja.

Tepat di jam makan siang kembali Arif berkirim pesan.

[Hai cantik, udah maksi belum? Kita maksi bareng yuk! Saya ada di Paralayang Resto, viewnya bagus. Saya tunggu ya?!]

Dadaku berdebar tak karuan. Isi pesan singkatnya lebih mengarah pada ajakan kencan. Tapi entah mengapa aku tak kuasa menolak ajakannya.

[Otewe]

Balasan singkat. Sejenak kurapikan riasan, memoleskan lipstick nude di bibir. Lalu menyambar tas yang tergeletak di meja dan segera tancap gas. Sebenarnya ada perasaan takut menyanggupi ajakannya, bagaimanapun aku adalah seorang Kabag. Pasti banyak orang yang kenal dengan diriku, tapi ... inikan cuma makan siang biasa, kalau ada yang tanya bilang saja ada urusan yang berhubungan dengan audit. Begitu kata yang berbisik dalam hatiku.

Arif duduk di sudut, mengenakan blazer biru dongker, kemeja senada dan jeans gelap. 

Penampilannya sempurna, meski rambutnya telah dihiasi uban. Menambah seksi, lagi-lagi hatiku berkata.

"Lama ya nunggunya, Mas?" tanyaku sambil melepas kaca mata hitamku.

"Menunggu orang cantik, gak terasa kok," ucapnya sambil tersenyum. Debaran jantungku makin tak karuan.

"Mau makan apa?" tanyanya padaku.

"Mas pesan apa?" Aku balik bertanya.

"Mas pesan ikan patin bakar, sambal mangga muda, sama sayur asam."

"Wah saya mau juga donk, Mas!" ucapku antusias. Arif segera memanggil seorang pramusaji lalu memesan menu yang sama untukku.

"Udah selesai ngawasnya, Mas?" tanyaku pada Arif.

"Belum. Kacau, makanya cari udara segar. Apalagi lihat kamu, pasti fresh semua pikiran saya."Aku palingkan wajah sambil mengusap batang hidung, mendengar pujiannya. Kata-katanya sukses membuat tengkuk menghangat.

"Nanti malam balik ke Kota?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Belum. Masih di hotel. Lagian kamarnya yang booking bukan saya, itu fasilitas dari dinas. Mungkin banyak yang akan melobi saya nanti malam," katanya penuh percaya diri. Suasana di tempat ini memang juara, romantis dan eksklusif. Membuat ngobrol jadi intim.

"Saya heran, kenapa kita ketemu gak dari jaman sekolah ya?"

"Emang mas mau apa kalau kita ketemu dari jaman sekolah?" tanyaku iseng.

"Mas akan gebet kamu, pasti kehidupan rumah tangga kita akan bahagia."

Mendengar kata-katanya yang penuh rayu itu membuat wajahku seperti udang rebus. Merah merona. Pria itu hanya memandangku terus tanpa mengalihkan pandangan.

"Mas, jalan hidup kita sudah ada yang atur. Jangan menyesalinya. Ambil banyak hikmah, yang pasti kau tidak akan punya anak-anak yang begitu kau sayangi jika menikah denganku dulu."Arif tampak diam mendengar kata-kataku. Tangannya mengaduk-aduk gelas minuman jeruk di hadapannya.

"Tapi mungkin juga tak kan saya lihat tangis di wajah anak-anak saya, karena ibunya tak peduli dengan mereka."

Wajah Arif berubah sendu, matanya terpejam beberapa kali. Aku tahu, ia sedang menahan air mata yang mulai menggenangi kelopak matanya.

"Mas, jangan sedih ah! Maaf ya!" ucapku penuh sesal.

"Jangan minta maaf! Ini bukan kesalahanmu, jalan hidup yang Tuhan tulis untuk saya. Saya jadi ingat anak-anak, tapi masih sibuk cari pundi-pundi untuk masa depan mereka."

"Mas, anak-anak tidak hanya butuh materi. Tapi juga dirimu sebagai ayahnya!" ucapku sambil menatap wajah Arif. Wajahnya kian sendu mendengar ucapanku.

"Iya."

Makan siang kami berakhir. Aku harus kembali ke kantor dan Arif harus kembali kepada aktifitasnya.

"Terima kasih sudah mau makan siang dengan saya," ucap Arif sambil tersenyum dan memakai kaca mata hitamnya.

"Sama-sama, Mas."

"Mudah-mudahan tidak kapok kalau saya ajak makan lagi."

"InsyaAllah tidak, Mas. Oke saya duluan ya," ucapku sambil mengambil ancang-ancang untuk tancap gas. Arif hanya mengangguk dan melambaikan tangan. Bisa kulihat dari kaca spion dia masih berdiri memandang kepergianku.

Aku memacu pajero sport berwarna abu-abu dengan tenang. Membelah panasnya jalanan Kabupaten yang ramai. Kembali tenggelam dengan kesibukan yang tiada ujung.

Hubungan pertemananku dengan Arif makin intens, apalagi di ajang komentar di medsos. Kadangkala dia menelepon berjam-jam di malam hari saat Ika telah terlelap. Seperti malam ini ....

"Selamat malam cantik, lagi ngapain?" Suaranya terdengar santai.

"Lagi terima telepon, Mas. Gak bosen yah, panggil saya cantik terus?" tanyaku iseng. Meskipun pada dasarnya aku suka dengan caranya memuji.

"Mas tidak akan pernah bosen. Oya, minggu ini ada waktu gak?" tanya Arif kemudian.

"Memangnya ada apa, Mas?"

"Kalau kamu gak sibuk, kita nonton yuk! Kita bawa anak-anak, gimana?" tanyanya dengan nada membujuk.

Oh tidak. Kalau Arunika kuajak pasti dia akan bercerita pada Bang Harun. Mencari masalah namanya, pikirku.

"Saya lihat jadwal dulu, Mas. Soalnya gak enak bawa Arunika, dia sangat dekat dengan papanya."

"Oh, saya paham. Saya sangat berharap kamu bersedia meluangkan waktu minggu ini!"

"Nanti saya kabari ya, Mas!"

"Oke. Ya sudah, istirahat ya! Udah malam, sampai jumpa. Mimpi indah ya cantik!" ucapnya dengan nada mesra.

Sukma serasa bergetar mendengar setiap pujiannya. Sendi-sendi menghangat hingga membuat pipi merona. Bang Harun memang selalu memuji tapi tak kurasakan lagi sensasi menggetarkan seperti ini. Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku?

"Sekar? Kok diem?" tanya Arif heran.

"Terima kasih, Mas. Mas juga istirahat ya!"

"Iya, Sayang. Met bobo," ucap Arif kian berani.

Aku menggigit bibir mendengar kata-katanya. Berusaha menghilangkan rasa membuncah penuh kehangatan di dada. Aku tahu ini salah, tapi sungguh hati ini tak berdaya menepis semua ini.

"Iya. Mas juga bobo, ya!"

"Hu-um," jawabnya manja.




bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
874
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.