Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

soniapenulisAvatar border
TS
soniapenulis
AKU DAN AUDITOR GANTENG
BAGIAN 1



Namaku Sekar, tinggi seratus enam puluh senti meter, berat enam puluh kilogram. Kulit kuning langsat, rambut? Tidak kelihatan pastinya, karena aku berhijab. Belum syar'i tapi terus belajar memperbaiki diri. Aku bekerja di sebuah instansi pemerintah, sebagai seorang Kabag.

"Bu, ini berkas yang harus ditanda-tangani!" ucap salah seorang anak buahku.

"Terima kasih, Emi. Oya sudah ada konfirmasi balik dari pihak Inspektorat?" tanyaku pada wanita berhijab bernama Emi.

"Sudah, Bu. Katanya besok pagi jam sembilan tim-nya datang," paparnya tegas."Masih orang lama?"

"Sepertinya nambah personil, Bu. Ada orang pusatnya, tapi saya belum dapat info lagi."

"Oke, saya tunggu info tentang orang pusatnya nanti sore! Paling lambat sebelum jam pulang, karena semua harus teratur waktu pemeriksaan!" titahku padanya. Wanita itu mengangguk dengan patuh.

Aku kembali berkutat dengan berkas-berkas persiapan audit. Cukup membuat kepala pusing dan melelahkan. Resiko pekerjaan.

"Aku harus tahu siapa orang pusat itu, untuk mengamankan audit. Jangan sampai kehadirannya membuat posisi tidak aman," ucapku pada diri sendiri.

Kukorbankan waktu makan siang bersama suami hanya untuk mempersiapkan berkas yang akan di audit. Wajah Bang Harun tampak cemberut kala video call. Sebenarnya aku sudah memberitahu perihal audit ini dua hari lalu padanya.

[Kok audit mendadak gitu sih, Ma?]

[Loh, kan aku udah kasih tahu Papa dua hari lalu? Masa lupa?]

[Waktu cuti Papa kan tinggal berapa hari aja lagi, Ma] ucap belahan jiwaku sambil menunjukkan wajah memelas.

[Mama janji, kalo udah selesai audit. Mama susul Papa ke site, gimana? Ayo donk senyum! Kasih senyum yang bikin Mama jatuh cinta dulu,] Godaku dengan suara manja.

Berhasil.

Wajah tampan dan bersahaja itu menyunggingkan senyum. Usianya memasuki kepala empat tapi kegantengannya belum memudar. Itulah suamiku Harun. Setelah senyum mengembang sempurna pembicaraan kami berakhir. Belahan jiwaku bilang ingin jalan-jalan dengan buah hati kami yang berusia delapan tahun. Gadis manis itu bernama Arunika.

Lewat tengah hari, portir cantikku yang bernama Emi datang ke ruangan.

"Bagaimana, Em? Sudah dapat info?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas-berkas yang ada di tangan.

"Sudah, Bu. Namanya pengawas dari Propinsi itu Arif. Usianya empat puluh tiga tahun, saya masih melacak sosmednya."

"Oke, kabari saya lagi kalau sudah dapat link sosmednya! Saya mau tahu dia itu orangnya seperti apa," ucapku serius.

"Oya siapkan jadwal ke salon untuk squad kita malam ini! Saya mau besok kita sambut tim audit dengan wajah fresh. Ingat! Bagian Humas adalah garda terdepan di setiap departemen," ucapku lagi.

"Salon yang biasanya kan, Bu?"

"Iya, kualitas di sana sudah teruji. Cepat hubungi yang lain! Sepulang kantor langsung treatment," titahku dengan jelas.

Gadis berhijab itu segera mohon diri. Aku kembali berkirim pesan pada Bang Harun, bahwa akan lembur. Karena ada pengawas dari Propinsi jangan sampai kecolongan. Sudah jadi rahasia umum untuk menyelamatkan banyak pihak cara kotor pun kadang kala ditempuh.

[Papa, nanti Mama pulang terlambat ya. Ada berkas yang harus dilengkapi, habis itu mau treatment ke salon. Titip Arunika ya, Mama love Papa]

Tak lupa kusertakan emot hati dan kiss bertubi-tubi di akhir pesan. Ponsel berbunyi, rupanya pesan balasan dari Arjunaku tercinta.

[Kalau soal Arunika, Mama gak usah kuatir! Papa kan ayahnya,]

Emot wajah cemberut tampak di akhir pesan. Aku tahu dia kecewa, tidak banyak waktu yang kuluangkan untuknya. Bisa servis dia di malam hari saja sudah untung.

Dulu, karirku tak sebagus sekarang. Tapi nasib sedang berbaik hati. Karena kesepian ditinggal Bang Harun bekerja, motivasi kerjaku semakin tinggi. Akhirnya bisa berada di puncak karir cemerlang seperti sekarang. Memang gaji PNS tidak seberapa, tapi pakaian mahal dan branded sudah jadi trend.

Apalagi gaji Bang Harun lumayan besar. Seorang Project manager bergaji duapuluh hingga tigapuluh juta rupiah perbulan, tergantung level perusahaannya. Perusahaan tempat dia bernaung sekarang berada di level menengah ke atas. Pokoknya semua dijamin, karena buat perusahaan bonafide. Kesejahteraan karyawan adalah pencitraan terbaik.

Emi si Portir cantik kembali masuk ke ruangan. Kali ini wajahnya semringah, lalu ia menunjukkan layar ponselnya. Dahiku berkerut penuh tanda tanya ....

"Apa ini, Em?" tanyaku sambil memandang wajahnya.

"Ini loh Bu, yang namanya Pak Arif Witjaksono. Orangnya cakep," ucap Emi sambil senyum-senyum.

"Makanya treatment nanti malam, biar dia kepincut sama kamu, Em!" ucapku jahil.

Gadis berusia duapuluh tiga tahun itu tersipu malu.

"Orang-orang seperti ini mana suka sama cewek cupu seperti saya, Bu."

Aku tergelak mendengar ucapannya.

"Em, tunjukkan donk kalau kamu punya sex appeal! Buat dia klepek-klepek," ucapku setengah bergurau.

"Sini lihat linknya, biar tak Add dia. Siapa tahu saya bisa promosikan kamu." Aku segera meraih ponsel Emi.

"Sudah sana, balik ke depan. Sebentar lagi kan jam pulang!" perintahku padanya.

Sejenak kuperhatikan foto profil milik Arif sang Auditor. Rambutnya mulai ditumbuhi uban, terutama di bagian ubun-ubun. Dia mengenakan kaca mata hitam dengan background pemandangan jejeran batu karang. Tampaknya dia sedang berlibur, jemariku segera menekan pengajuan permintaan pertemanan. Tak perlu menunggu lama permintaanku segera dikonfirmasi.

Rupanya dia sedang online. Segera kukirimkan di messenger ungkapan terima kasih.[Terima kasih sudah konfirm, salam kenal dari Sekar]

Tertera tulisan 'sedang aktif' di bawah namanya. Tak lama pesanku segera berlogo profilnya tanda pesan sudah dibaca.

[Salam kenal kembali dari saya Arif Witjaksono]

Ternyata dia low profile dan tak segan membalas pesan. Oke. Cukup untuk saat ini, pertemanan di jejaring sosial hanya untuk back up jika suatu saat perlu bicara secara pribadi.

Waktu menunjukkan pukul empat sore. Beberapa staf-ku di bagian Humas sudah masuk ke ruangan. Menandakan kalau mereka siap untuk berangkat treatment ke salon. Aku melemparkan kunci Pajero sport pada Nayla, gadis manis berhidung mancung itu menerima dengan sigap.

Malam itu aku benar-benar menikmati perawatan tubuh, dari ujung kaki hingga ujung rambut. Di bagian Humas memang ada dana khusus yang diajukan untuk menjaga penampilan dan wajah. Humas adalah lini terdepan dalam hal berhadapan dengan publik. Bisa dipastikan jika bekerja di bagian Humas pasti rata-rata berwajah rupawan.

Pukul sembilan malam aku sampai di rumah. Aroma sedap makanan menguar ketika Arjuna tampan membukakan pintu. Kecupan bertubi-tubi segera ia hujani di wajahku.

"Papa rindu, Mama kok tambah cantik."

"Masa sih, Pa? Istrinya siapa dulu," ucapku sambil merangkul leher besarnya.

"Mama laperkah?" tanyanya padaku.

"Iya, Papa sayang masak apa?"

"Masak spesial. Iga bakar saos mayonaise. Tapi Papa lapar yang lain. Boleh, gak?" tanyanya genit.

"Gak bisa ditunda nanti, Pa?" jawabku tak kalah genit.

"Gak bisa, Ma. Kebetulan Arunika udah bobo, gimana?" tanya Bang Harun lagi sambil meraih tubuhku lebih dekat. Napasnya memburu, aku tahu dia merindukanku.

Kuusap wajah tampannya, lalu mengangguk perlahan dan malu-malu.

"Mama kan kekasih halalnya, Papa."

Tangan kekar milik Bang Harun segera menggendong tubuhku yang tak seberapa besar. Kemudian menghiasi tiap menit dengan sentuhan sayang dan kerinduan yang tak terpisahkan.



***


BAGIAN 2




Memiliki suami seperti Bang Harun itu adalah anugerah tersendiri. Dia tak pernah ragu turun tangan membantu pekerjaan rumah. Seperti malam ini pria tampanku memasak iga bakar dengan saos mayonaise. Masakannya lezat melebihi masakanku. Matanya selalu menatap dengan penuh cinta.

"Enak, Sayang?" tanyanya sambil memangku dagu dengan sebelah tangan.

"Hu-um, pokoknya masakan Papa tu juara," jawabku manja.

"Papa paling seneng lihat Mama makan dengan lahap. Tapi jangan sampai kegemukan ya!" pintanya tulus.

"Iya, Sayang."

"Kalau udah, istirahat sana! Kan besok harus berangkat pagi ke kantor. Biar Papa yang urus Arunika besok," ucapnya lagi.

"Iya bentar, Pa. Biar makanannya turun ke perut dulu," jawabku santai. Sambil membereskan piring kotor yang ada di meja.

Begitu berada di dapur aku takjub dan bersyukur. Dapur bersih tanpa ada piring kotor menumpuk, aku segera menghambur dalam pelukan Arjunaku.

"Makasih ya, Pa."

"Untuk apa, Ma?" tanyanya dengan nada heran.

"Mengurus rumah, Mama beruntung dinikahi Papa."

"Papa juga beruntung punya istri cantik seperti Mama. Yang selalu mencintai dan menyayangi Papa, padahal suamimu ini tidak selalu berada di sisimu."

Kami berpelukan penuh kehangatan. Inilah cinta yang selalu membuat kami saling rindu ketika berjauhan. Adakalanya rindu itu begitu menyesakkan hingga aku nekat pergi ke tempat kerjanya.

Menit demi menit berlalu dengan penuh cinta, seakan tak ada hari esok untuk menikmatinya. Bang Harun selalu memperlakukanku dengan istimewa tanpa cela.

Bahkan pagi itu dia juga sudah menyiapkan sarapan untukku dan Arunika. Istrinya sibuk berdandan dia sibuk memasak di dapur. Kupandang bayanganku di cermin. Dalam balutan seragam Pemda berwarna cream dan hijab senada, aku terlihat begitu sempurna. Tak lupa kukenakan cincin berlian mungil pemberian Bang Harun tadi malam, menyambar tas branded mewah yang ada di atas ranjang dan bergegas menuju ruang makan.

"Wihhh, ayang-ayangku udah siap sarapan," ucapku riang. Celoteh Arunika yang memuji kecantikanku membuat perasaan kian melambung.

"Mama cantik banget sih, nanti Ika mau jadi seperti Mama kalau udah gede."

"Bilang sama Papa kalau Ika mau jadi cantik seperti Mama, ya!" jawabku sambil menyendok makanan ke piring.

"Ika pasti cantik seperti Mama," ucap Bang Harun sambil mengelus rambut panjang putri kami.Usai berbincang-bincang sejenak sambil sarapan, aku segera pamit bekerja. Kecupan lembut di bibir membuatku makin semangat.

"Jangan nakal ya, Ma! Hati-hati di jalan!" titah Bang Harun dengan suara jenaka.

"Ha ha ha. Papa ini ada-ada aja," jawabku sambil tertawa ringan.

Setelah melambaikan tangan bergegas mengemudikan pajero sport-ku. Waktu menunjukkan pukul tujuh lewat, hampir setengah delapan. Tak sampai lima belas menit aku sampai di kantor. Salah satu gedung perkantoran mewah di kota ini. Tertulis Kantor DPRD Tingkat II Kabupaten T.Aku adalah Kabag Humas dan Protokol di sini. Segera kumasuki ruangan yang telah rapi, secangkir kopi creamy latte sudah terhidang. Aromanya menggoda ketika pintu kubuka. Nayla mengekor ketika melihat kedatanganku.

"Berkas kita sudah lengkap, Nay?"

"Sudah, Bu. Ini ada data tambahan dari Sekwan (Sekretaris Dewan), tapi katanya udah diverifikasi. Takutnya nanti ditanya sama auditor," jawab Nayla sambil menyerahkan map berwarna kuning berlogo Burung Garuda.

"Oke," jawabku singkat seraya menerima berkas dari tangan Nayla.

"Saya mau ke Persidangan dulu, Bu. Lagi bantuin selesaikan notulen Rapat Komisi kemaren.""Iya, tanyakan sama Nining mana notulen Hearing dengan masyarakat dari kecamatan minggu lalu! Saya belum dapat salinannya," titahku pada Nayla.

"Iya Bu. Nanti saya tanyakan, permisi," ucapnya mohon pamit. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Tak lama berselang aku sudah tenggelam dengan berkas-berkas yang ada di meja. Sambil sesekali menyeruput kopi creamy latte di meja. Inilah nikmat Tuhan untukku di awal pagi.

Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat beberapa menit, kala Emi memasuki ruanganku.

"Ada apa, Em?"

"Auditornya sudah datang, Bu," jawab Emi singkat.

"Oke. Sudah dipersilahkan ke ruang rapat kan?" tanyaku sambil meraih ponsel dan menaruh dalam saku.

"Sudah, Bu."

Aku melangkah dengan cepat. Terdengar irama pantovel di lantai, senyuman hangat menyambutku ketika memasuki ruang rapat. Tampak wajah-wajah yang kukenal akrab selama beberapa tahun terakhir. Sambil menyalami para tamu dan bersenda gurau mencairkan suasana, mata ini terus mencari di mana sosok pengawas Auditor dari Propinsi.

"Ini sudah lengkap semua, Ses Ning?" tanyaku pada seorang auditor yang akrab di sanggar zumba.

"Belum, Ses. Masih ada pengawas belum datang. Nanti semua berkas dibawa ke sini kan?" Dia balik bertanya.

"Iya, Ses. Nanti staf saya yang bawakan, eh udah sarapan belum?"

"Udah, Ses."

"Ngopi apa ngeteh nih?" tanyaku pada wanita cantik berusia empat puluh tahunan lebih.

"Udah di tempat biasakan?"

"Udah donk," jawabku santai.

"Oke. Biar nanti kami ambil sendiri," jawabnya tak kalah akrab.

"Oke. Saya balik ke ruangan dulu ya?"

"Sippp."

Segera kutinggalkan para auditor di ruang rapat menuju ruang kerja. Masih banyak pekerjaan menunggu. Yang penting semua berkas audit sudah siap semua. Nanti akan ada saat mereka memanggilku untuk dimintai keterangan.

Dua jam berlalu aku masih berada di ruang kerja. Hingga ketukan pintu sedikit mengagetkan. Jika ada Emi si portir cantik pasti tidak ada yang mengetuk pintu. Tapi gadis itu sedang sibuk.

"Masuk!" ucapku dari balik meja kerja.

Hening.

Terdengar suara gagang pintu diputar. Wangi parfum asing menguar ketika pintu terbuka, aku menyunggingkan senyum dan berdiri menyalami hangat sang tamu.

"Selamat pagi, Bu Sekar," ucapnya ramah.

"Selamat pagi, mari silahkan duduk!" jawabku tak kalah ramah.

"Saya Arif Witjaksono," Ia memperkenalkan diri.

Jujur.

Aku kaget dan tidak menyangka. Wajahnya jauh berbeda dengan di foto profil. Penampilannya lebih humble dan segar. Dia mengenakan kemeja berwarna biru dongker dan celana semi jeans berwarna kecokelatan.

"Senang berkenalan dengan anda, Pak Arif."

"Saya juga, Bu. Kalau saya lihat dari profil anda di Medsos, ternyata saya kakak kelas anda di SMA puncak. Kebetulan sekali ya," tuturnya sambil tersenyum ramah.

"Wah kebetulan sekali, Pak. Saya memang jarang ikut reuni jadi maaf jika tidak hafal dengan wajah anda," kataku sungkan.

Pria di hadapanku malah tertawa.

"Saya juga baru sekali ikut reuni. Soalnya saya tinggal di Ibukota Propinsi, jadi sering malas mau datang ke kota ini."

Giliranku yang tertawa. Untuk beberapa menit kami terlibat perbincangan hangat seputar masa SMA. Membahas guru-guru killer lengkap dengan kisah kenakalan kami.

Setelah dirasa cukup, pria itu minta diantar ke ruang rapat. Kami berjalan beriringan hingga aku bisa mencium wangi parfumnya lebih dekat. Tingginya kurang lebih dengan Bang Harun, tapi bahunya lebih kecil. Sepertinya kerangka tulangnya tak sebesar Bang Harun jadi dia terlihat lebih kecil.

Reaksi rekan auditor yang lain di luar dugaan. Mereka semua langsung terdiam, menunjukkan rasa segan pada pria di sebelahku. Beberapa saat kemudian barulah aku tahu jika kakak kelas semasa SMA itu termasuk pengawas Auditor yang tak kenal ampun.'Wah gawat nih, kalau ada temuan. Mudah-mudahan divisiku aman-aman saja. Bisa rusak citraku di depan kakak kelas kalau ada temuan,' ucapku dalam hati.

BERSAMBUNG KE HALAMAN INI
Diubah oleh soniapenulis 19-05-2021 12:26
fajar1908Avatar border
mmuji1575Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 3 lainnya memberi reputasi
4
974
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.