Gevaa111Avatar border
TS
Gevaa111
NOSTALGI(L)A 2


Sudah empat hari aku berada jauh dari rumah, berada di sebuah pemukiman yang dulu akrab tapi sekarang begitu asing.

Hari-hari di dalam pabrik yang panas, membuatku sering menitikkan air mata. Sungguh aku rindu mereka, ketiga anak yang lucu dan menggemaskan, milikku di sana. Aku rindu pada secangkir teh panas yang diseduh suamiku setiap kali aku bangun kepagian untuk mulai bekerja.

Beberapa teman, aku sudah mengenalnya dulu sehingga aku tidak canggung untuk berada di dalam pabrik, tetapi tetap saja aku merasa sesuatu menghilang dari hati. Aku tertawa, bercanda, tetapi sebenarnya diriku rapuh, penuh luka tanpa darah.

"Besok Sabtu kita gajian," celetuk Sari, temanku satu line. Kami duduk berdekatan, tapi terpisah oleh meja panjang di tengah untuk menggelar kain hasil persiapan para helper agar kami para operator sewing dapat dengan mudah mengambilnya.

"Oh, mingguan ya?" tanyaku.

"Iya, apa kamu belum dikasih tau sama Pak Yuli?" sahut Narmi yang duduk di belakangku. Aku menggeleng.

"Pak Yuli hanya kasih tau kalau aku digaji borongan, sesuai jumlah jahitan yang aku dapat per hari," jawabku.

Pak Yuli adalah kepala bagian sewing. Orangnya super galak dan cerewet, mengurai rambut yang basah sehabis keramas pun tidak diperbolehkannya.

Namun, tak urung aku berandai-andai juga. Upah hasilku menjahit pasti banyak, mengingat setiap harinya aku selalu mencapai target maksimal.

Hari itu udara sangat panas. Keringat bercucuran melewati punggung dan belahan dadaku. Dalam hati aku sedikit mengeluh, membayangkan sejuknya rumah yang kutinggalkan kemarin. Ah, andai saja aku tidak menuruti amarah, pasti saat ini aku sedang duduk santai, sembari memeluk buku-buku, atau menjahit pakaian-pakaian pesanan orang dengan hati riang gembira. Tak akan ada Pak Yuli yang kejamnya luar biasa itu. Aku adalah bos yang menjalankan usaha serta memerintah diriku sendiri.

Sehabis makan siang-aku membawa bekal-para karyawan kembali duduk di belakang meja masing-masing.

“Teman-teman, dengar! Mulai besok, pabrik tutup. Kita diliburkan selama dua minggu!” seru Yani, ketua line-ku. Segera suara ribut khas mulut perempuan meracau di segala penjuru.

“Emangnya ada apa?” tanya Narmi.

“Dua orang operator sewing dari line empat terkena covid dan harus dikarantina. Area pabrik akan disterilkan untuk menjaga segala kemungkinan,” tandas Yani.

“Gaji kita bagaimana?” bisikku cemas pada Sari. Dia mengedikkan bahu. Wajahnya tak kalah cemasnya denganku.

Kira-kira pukul tiga sore, Pak Yuli memasuki ruang operator sewing. Dari gelegar suaranya, jelas bahwa dia meminta perhatian. Kami mematikan mesin secara serempak, lalu duduk dengan pandangan lurus ke depan, menatap Pak Yuli dengan perasaan campur aduk.

“Sebelum pulang, nanti kalian antre ke ruangan administrasi.” Demikian sabdanya. Aku menghela napas penuh kelegaan, begitu pula teman-temanku. Aku berharap, nanti mendapat upah melebihi apa yang kuharapkan mengingat aku bekerja cukup rajin dan tercepat dibandingkan teman-teman satu line

***

Dengan membawa dua lembar uang berwarna merah, bergambar sang proklamator, aku pulang ke Yogyakarta. Aku mendapatkan upah tiga ratus ribu rupiah untuk empat hari bekerja, tapi aku memberikan seratus ribunya pada mama, sekadar mengganti biaya makan selama aku menumpang. Mama menangis dan berusaha menolak. Bagaimana pun aku tinggal di rumah orang tua sendiri, bukannya kos atau mengontrak. Namun aku memaksanya sampai beliau tak sanggup menolak.

Di atas bus antar kota aku merenung. Apakah Tuhan marah, atas sikapku yang kurang bersyukur? Baru saja aku menemukan tempat untuk melarikan diri dari masalah, tapi harus kembali menghadapinya? Adilkah ini?

Mataku sudah hampir memejam, ketika kudengar getaran dari ponsel di kantong celana pendekku. Aku mengambilnya dan membaca nama yang tertera. Dalam bimbang, kugeser tombol hijau.

“Halo, Yama,” sapaku malas.

“Halo, aku tadi ke pabrik tempatmu bekerja, tapi kata satpam, pabrik ditutup sampai dua minggu,” ujar suara di seberang telepon.

“Iya bener, para karyawan diliburkan karena ada dua orang yang kena covid,” jawabku.

“Kita jalan yuk, ke tempat dulu biasa kita datangi.”

“Aha-ha-ha ... aku sudah dalam bus, Yama. Mau pulang ke Yogyakarta.”

“Apa? Kenapa terburu-buru?”

“Aku kangen sama keluargaku.”

“Tapi harusnya kamu bilang dulu sama aku!”

“Kenapa?”

“Karena aku mencin ....”

“Yama, stop! Aku nggak lagi mencintaimu!”

Dengan gusar, aku menggeser tombol merah. Nanti, sesampai di rumah, akan kupikirkan ulang, apakah akan tetap menyimpan nomor Yama atau memblokirnya. []



(Tamat)
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
288
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.