Dalam konteks islamisasi, ilmu pengetahuan yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmunya, bukan ilmu itu sendiri. Karena yang menentukan adalah manusia. Manusia lah yang mengahayati ilmu. Pengahayatan para pencari ilmu itulah yang menentukan, apakah ilmunya berorientasi pada nilai-nilai islam ataukah tidak.

Menurut faruqi menghendaki adanya hubungan timbal balik antara realitas dan aspek kewahyuan. Dalam konteks ini, untuk memenuhi nilai-nilai kewahyuan, umat islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realitasnya saat ini ilmu penngetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan kemajuan umat manusia.

Dunia islam pernah mencapai masa kejayaan pada kisaran abad ke VI-XII M, dalam hal iptek dan peradaban, yang ditandai dengan maraknya kajian ilmu dan peradaban. Sejak abad kemunduran islam abad ke-12 M, karena para penguasa muslim kurang memberikan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, dimana mulai terputus hubungan antara dunia islam dengan aliran utama dalam sains dan teknologi, umat islam sangat tertinggal jauh dibanding masyarakat barat justru malah bangkit dari kegelapan pengetahuan.

Selain masalah itu, hal terbesar yang dihadapi umat islam dewasa ini adalah berkaitan dengan paradigm berfikir. Umat islam masih berfikir absurd bukan justru mengembangkan wacana-wacana keimanan, kemanusiaan, dan pengetahuan.

Tugas kaum muslimin terutama para ulama, sarjana, cendekiawan dan kalangan pelajar untuk membendung segala paham barat yang bertentangan dengan spirit islam, seperti sekularisme. Serta mengembangkan ajaran islam yang komprehensif (syumuliyyah), universal (alamiyyah) dan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, antara satu bagian dan bagian lainnya, termasuk dalam konteks keilmuan.