Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Gevaa111Avatar border
TS
Gevaa111
NOSTALGI(L)A 1


Aku kembali merantau, merantau pada daerah asalku sendiri. Ketika pikiran sudah berada pada titik kecerdasan terendah, yang ada hanyalah kebulatan tekad untuk pergi.

Kukalungkan selendang tenun warna ungu, ah ... terasa kamu memelukku, Sayang. Dengan segenggam harapan yang belum ikut hancur, aku menaiki bus antar kota.

Kira-kira pukul sebelas siang, kakiku sudah berada di lantai terminal Tirtonadi Solo. Sayup kudengar lagu Didi Kempot begitu pilu, sama dengan hatiku.

"Dara!" Aku mendengar suara lelaki memanggilku. Spontan aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sumber suara.

"Dara!" panggil suara itu sekali lagi, dan aku melihat sesosok lelaki duduk di atas jok sepeda motor. Masker scuba dan kacamata menghias wajahnya, semua serba hitam tak terkecuali kaos oblong dan celana panjangnya.

Lelaki itu menghampiriku. Agak lama aku mengamat-amatinya, mulai dari ujung rambutnya yang ditutupi oleh sebuah topi, hingga kakinya yang mengenakan sepasang sepatu kets.

"Yama?" tanyaku. Lelaki itu tertawa. "Iya, kamu Yama, kan?" Aku meninju lengannya.

"Surprise to meet you, Dara," sambutnya.

Yama membuka topi dan kaca matanya. Dari sana aku melihat segambar wajah yang masih setampan dulu.

"Kamu nggak berubah," kataku.

"Awet muda toh?" selorohnya renyah.

"Ya-ya-ya ... Awet muda sekali," jawabku.

Kami tertawa bersama, lalu dengan canggung, Yama mengambil tempat. Sekarang dia berdiri tepat di sampingku. Aku merasakan siku tangan kami bersentuhan sesekali.

"Mau ke rumah Mama, kan?"

"Iya, ta-tapi, aku bisa naik taksi online kok."

"Naiklah."

Aku memandangi matanya dalam-dalam, sementara pikiranku melayang ke mana-mana.

"Kamu nggak repot?" Yama menggeleng.

Dengan bimbang, aku naik ke atas boncengan sepeda motor Yama dan mengambil jarak aman antara punggungnya dan dadaku.

"Nyabuk?" tanyanya sambil tertawa. Aku menggeleng.

Sepeda motor berlari dengan kecepatan sedang.

"Aku lapar, ingin makan dulu," kataku memecah hening percakapan.

"Mau cari makan dulu atau ...?" tanyanya.

"Kalau waktumu banyak, boleh deh aku diantar cari makan," balasku akhirnya.

Kami berhenti di sebuah rumah makan, lalu memesan dua piring nasi berlauk ayam geprek lengkap dengan teh manisnya.

"Kamu masih sangat cantik, seperti dulu," ujar Yama di sela-sela mengunyah. Aku berhenti memasukkan nasi ke mulut, lalu tertawa.

"Dan aku masih sangat merindukanmu," sambungnya.

Aku menatapnya sekilas, tampak olehku, ada rindu di bingkai matanya. Rindu yang tak sama dengan milikku kini.

Yama adalah lelaki yang dulu pernah mengisi hatiku, mungkin berpuluh tahun lalu. Aku sendiri sudah lupa. Yang aku ingat, dulu kami bertemu di sebuah mal, dia bekerja di konter handphone, dan aku di toko asesorisnya. Dia sering ke toko tempatku bekerja untuk membeli segala pernik yang berkaitan dengan handphone, tentu saja semua atas permintaan pelanggan sekaligus servis memuaskan dari konter tempatnya bekerja.

Selanjutnya, kami akrab, lalu menjalin asmara. Semua terasa indah hingga tiba di titik aku menyadari, bahwa Yama bukanlah lelaki yang tepat untukku.

Sepanjang hari dia menenggak minuman beralkohol, mabuk, lalu meracau di parkiran mal. Tak jarang juga dia dikejar-kejar sekelompok orang yang mengaku telah dirugikan Yama, hingga penahanan yang dilakukan pihak berwajib karena keterlibatan Yama dalam aksi tawuran.

"Habis makan, kita langsung ke rumahku aja," ujarku tanpa membalas pernyataannya tadi.

"Aku mengantar sampai rumahmu?" Yama mendelik.

"Nggak, sampai ujung gang perumahan aja. Kalau Mama tau, kamu bisa habis dicincang," selorohku. Yama tertawa, getir. Aku tahu hal itu.

Mama memang tidak menyukai Yama, dan aku yakin, orang tua mana pun tidak akan rela jika anak perempuannya berhubungan dengan lelaki bengal yang selalu bermasalah seperti Yama.

***

Aku masih duduk di atas boncengan sepeda motornya ketika langit mendadak mendung. Bunyi kilat bahkan terdengar beberapa kali.

"Mau hujan ini!" teriakku. Yama mempercepat laju kendaraannya hingga membuat tubuhku limbung nyaris terpelanting ke belakang. Susah payah kutahan agar aku tidak menyentuh tubuhnya, sekadar mencari pegangan.

"Kita lewat jalan yang dulu sering kita lewati aja ya, lebih cepat," sahutnya. Aku diam saja. Dalam hatiku berontak, bagaimana mungkin dia masih ingat jalanan yang dulu kami sering melaluinya bersama.

Jalanan itu agak sempit, tapi nyaman. Dulu kami sering melewatinya jika sudah kepepet, dikejar-kejar polisi karena alpa membawa helm dan surat-suratnya.

"Kamu tau, cuma kamu satu-satunya perempuan yang pernah aku boncengkan lewat sini."

"Oya? Kenapa?"

"Ya karena cuma kamu pacarku."

"Jadi kamu belum menikah?"

"Sudah, tapi aku nggak cinta sama istriku."

"Why?"

"Kami dijodohkan. Ha-ha-ha, konyol ya, sebagai preman kok mau-maunya dijodohkan orang tua. Tapi inilah kenyataannya. Ibu mau aku menikah dengan anak ustaz itu, dengan harapan agar aku berubah menjadi baik."

Yama tampak menghela napas. Aku menatap punggungnya yang berguncang naik turun.

"Bagus dong, dan kamu benar-benar berubah?"

"Aku hanya mau diubah olehmu."

"Tapi aku juga sudah menikah."

Kami lalu sama-sama diam. Aku tidak dapat menyelami pikiran lelaki di depanku itu, seperti aku juga tidak mampu menerjemahkan perasaanku sendiri kali ini.

Sampai di ujung gang masuk rumah orang tuaku, Yama menghentikan sepeda motor. Aku bergegas turun dan mengucapkan salam.

"Terima kasih, udah nganterin aku. Untung tadi kita ketemu, jadi aku bisa ngirit ongkos taksi," gurauku. Yama tertawa, kali ini tawanya lepas.

"Aku bahagia sekali ketemu kamu. Semoga rasa cintamu padaku tetap seperti dulu meskipun kita masing-masing sudah punya keluarga," katanya, nyaris tanpa beban.

"Salam untuk istri dan anakmu ya." Aku mengalihkan pembicaraan, lalu berjalan meninggalkannya. Tiba-tiba sebuah ingatan berkelebat. Ingatan tentang suatu malam sebelum kami berpisah puluhan tahun lalu, di mana Yama yang tengah mabuk, mendaratkan sebuah pukulan tepat pada wajahku hanya karena cemburu buta. Darah yang mengalir dari kedua lubang hidungku membuatnya tersadar dan berulang kali memohon ampunan.

Kali ini aku yang meminta maaf, Yama. Meskipun kondisi antara aku dan suamiku sedang tidak baik, sedikit pun tidak tersisa cinta untukmu, dalam hatiku. []

bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
297
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.