Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dwindrawatiAvatar border
TS
dwindrawati
LANJUTAN DARI KISAH "BAHAGIA SETELAH PERCERAIAN"
Bagian sebelumnya bisa dibaca DI SINI

***

Part 3

"Mbak, sepertinya Valetta demam, badannya anget. Dari tadi rewel terus." Lany tiba-tiba masuk ke kamarku sembari menggendong Valetta yang masih menangis.

Kuletakkan ponsel di dekat bantal sehabis menelepon Arin tadi, lalu mengambil alih Valetta dari gendongan Arin.

"Anak Mama kenapa ini? Sudah ya, Sayang ... jangan nangis. Cup cup cup...." Kuhibur Valetta sambil kubelai lembut punggungnya dalam gendonganku.

Lany masih berdiri di tempatnya sambil memandangiku menenangkan Valetta. Dari ekspresi wajahnya, tersirat adikku itu tengah gelisah. Seperti ada yang hendak disampaikannya.

"Kok kamu masih di rumah, Lan? Nggak ke kampus?" tanyaku heran karena tumben juga sudah jam segini Lany belum berangkat kuliah.

"Eh ... gini Mbak, gimana kalau aku cuti dulu sambil mencoba cari kerjaan? Mengingat sekarang__"

"Nggak." Kupotong cepat ucapan Lany.

"Jangan mikir macem-macem, Lan. Ingat, kuliahmu hanya tinggal setahun lagi." Aku melanjutkan.

"Tapi, Mbak. Aku gak mau jadi beban Mbak karena sekarang keadaannya sudah berbeda. Mbak juga punya Letta yang harus dipenuhi kebutuhannya," debat Lany dengan ekspresi kesedihan di wajahnya.

"Lan ... udah, nggak usah khawatir. Jalani kuliahmu seperti biasa. Semua akan baik-baik saja. Mbak janji. Doakan saja Mbak diterima bekerja kembali di perusahaan lama tempat Mbak kerja dulu, ya?"

Lany terbelalak seolah terkejut dengan ucapanku.

"Mbak mau balik kerja di sana? Bukannya mas Arya juga kerja di sana, Mbak?" ungkap Lany.

Aku menganggukkan kepala seraya terus mengayunkan badan ke kanan dan ke kiri dengan ritme teratur. Valetta mulai tertidur dengan kepala terkulai di pundakku.

"Nggak apa-apa, Lan. Justru dengan begitu Mbak bisa membuktikan padanya kalau Mbak juga bisa menghidupi kita semua tanpa belas kasihan darinya. Mbak bahkan siap bersaing dengan mas Arya di sana," tegasku pada Lany.

Raut wajah terkejut di wajahnya seketika berubah sumringah dengan senyum lebar menghias di bibirnya.

"Iya, Mbak. Lany doakan Mbak Mei diterima kerja lagi di sana. Aamiin ya Allah ...," ucapnya.

"Sekali lagi Mbak ingatkan, kamu jangan berpikiran macam-macam. Kuliah yang bener dan bikin Mbak serta ibu kita bangga, ya?" Kuusap lengan Lany pelan.

"Siap, Mbak! Pasti." janjinya.

Aku tersenyum, lalu berkata, "ya sudah, mandi gih terus ngampus sana."

Lany sekali lagi tersenyum lebar sebelum keluar dari kamarku.

Dengan hati-hati kuletakkan tubuh Valetta di atas kasur, lalu membuka laci nakas samping tempat tidur untuk mengambil thermometer. Kuletakkan benda kecil tersebut di antara ketiak anakku, lalu menunggu beberapa detik hingga benda itu berbunyi pelan.

39 derajat, cukup tinggi suhu tubuh anakku. Meski tak yakin, aku teringat masih menyimpan persediaan kompres demam. Aku pun kembali mencari-cari di laci nakas. Alhamdulillah, masih ada dua bungkus. Kuambil sebuah, lalu kulekatkan pelan kompres tersebut di dahi Valetta setelah membuka bungkusnya.

"Cepat sembuh, Sayang. Jangan sakit ...." ucapku lirih sambil menatap khawatir pada anakku yang masih pulas.

"Mei ...."

Suara panggilan di belakang membuatku spontan menoleh. Ternyata ibu.

"Ya, Bu?" sahutku. Ibu melangkah masuk menghampiri. Sejurus kemudian disentuhnya lengan Letta yang terbuka.

"Panas badan Letta, Mei," ucapnya dengan gurat kekhawatiran yang jelas di wajahnya.

"Sudah Mei kasih kompres. Semoga gak lama lagi turun panasnya, Bu."

Ibu beralih menatapku. Pandangan sendu itu kutahu apa makna yang tersirat di baliknya.

"Jangan terlalu banyak pikiran, Bu. Nanti hipertensi Ibu kambuh," bujukku seraya tersenyum agar gundah dihatinya segera memudar.

****

Malam sudah larut, tapi Valetta masih saja terus menangis. Tubuh ini sudah mati rasa karena berjam-jam berayun kesana kemari untuk meredakan tangisnya, namun anakku tak juga mau diam.

Bergantian ibu dan Lany mencoba membujuk dan hendak menggantikanku menggendong Letta yang kian histeris. Tapi anakku itu hanya mau aku saja yang menggendongnya.

'Ya Allah ... sakit apa anakku ini? Kumohon ya Allah, jangan berikan aku cobaan melalui Letta, aku takut tak kuat menanggungnya ....'

Aku merintih dalam hati sembari terus berusaha menenangkan Letta. Obat penurun panas hanya mampu bertahan beberapa jam, setelah itu suhu tubuhnya akan naik kembali.

"Kita bawa ke dokter saja, Mei." Ibu menyarankan.

"Iya, Mbak. Ayo kita bawa saja Letta ke dokter," tambah Lany.

"Kalau kamu khawatir soal biaya, jual saja gelang Ibu ini, Mei." Ibu menunjukkan gelang emas yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Nggak perlu, Bu. Mei juga masih punya kok beberapa perhiasan. Nanti biar jual itu saja kalau sampai Letta harus dirawat inap," sahutku.

"Ya sudah, ayo kalau gitu kita berangkat sekarang, Mbak. Kasihan Letta dari tadi nangis terus dan nggak mau nyusu. Takutnya dehidrasi nanti." Leny berkata, lalu dengan cepat bergerak mengemasi selimut dan beberapa barang milik Valetta.

"Tolong pegang Letta dulu, Bu. Mei mau ganti baju sebentar." Kuserahkan Valetta pada ibu yang langsung disambut oleh ibu.

****

"Pakai taksi online aja kali ya, Mbak?" tanya Lany saat kami sudah bersiap pergi ke rumah sakit yang sudah pasti ada dokter jaga yang standby di UGD. Karena pada waktu menjelang tengah malam begini, tak mungkin ada dokter yang masih berpraktek.

"Iya, Lan. Tolong kamu pesenin, ya?" jawabku sambil mengencangkan gendongan Letta ditubuhku.

Lany mengangguk cepat.

"Mbak, udah dapat drivernya nih. Yok kita ke depan nungguin." Lany berkata lagi. Aku mengiyakan, lalu pamit pada ibu yang kami minta untuk menunggu saja di rumah.

Kami menunggu di depan pagar rumah. Kebetulan rumah peninggalan ayah ini letaknya cukup strategis, persis berada di pinggir jalan besar.

"Mbak, itu kali mobilnya, Mbak." Lany menunjuk sebuah mobil Lexus berwarna putih yang sedang melaju pelan ke arah kami.

"Yakin kamu, Lan? Kok bagus bener mobilnya?" tanyaku ragu.

"Iya, yakin. Tadi di aplikasinya mobilnya warna putih kok, Mbak." jawab Lany yakin, lalu melambaikan tangan pada mobil yang jaraknya kurang lebih tinggal sepuluh meter lagi dari kami.

Mobil itu menepi, lalu kaca jendela sampingnya turun perlahan. Belum sempat aku melihat wajah orang yang duduk di balik kemudi, Lany sudah keburu menarik tanganku dan membuka pintu mobil di sisi penumpang.

Mau tak mau, aku pun masuk ke dalam mobil mengikuti Lany yang dari dulu gerakannya memang suka grasak-grusuk.

"Pak, sesuai aplikasi ya, Rumah Sakit Mitra Cahaya!" ucap Lany pada si supir. Supir itu hanya mengangguk sekilas, lalu kembali menjalankan kemudi.

Aku sendiri sibuk menepuk-nepuk bokong Letta dalam pelukanku agar anak ini tak terbangun dan membuat suasana jadi berisik dengan tangisnya yang menggelegar.

Mobil melaju dengan kecepatan stabil. Tidak terlalu kencang, tidak juga terlalu lambat. Sang sopir tidak bicara sama sekali, hanya mengendalikan kemudi sambil fokus menatap ke depan.

Sekitar lima belas menit kemudian, kami pun tiba di depan sebuah rumah sakit besar yang terletak di tengah jantung kota.

"Pak, udah bayar lewat aplikasi, ya." Lany berkata kepada sang sopir ketika mobil sudah benar-benar berhenti.

Sang sopir menoleh ke belakang, ke arah kami. Baru itulah aku bisa melihat wajahnya meski tak terlalu jelas karena ruang dalam mobil sangat minim pencahayaan.

Wajah dengan garis tegas itu menatapku tanpa suara maupun senyuman. Bisa dibilang kaku, padahal parasnya cukup tampan. Ia lalu mengangguk sekilas, dan kembali memalingkan wajahnya ke depan.

'Apa dia bisu?' batinku. Tapi sudahlah, tak ada waktu untuk memikirkan sikap sopir yang kaku. Aku harus segera membawa Valetta masuk ke dalam rumah sakit untuk diperiksa. Kami pun turun dengan hati dari mobil sang sopir.

"Ayo, Lan," ajakku pada Lany. "Tunggu sebentar Mbak, ada telepon masuk. Siapa tahu dari ibu yang ingin menanyakan kita udah sampai di rumah sakit atau belum." Lany mencekal tanganku, lalu sibuk merogoh tas selempang yang dikenakannya.

Kening Lany berkerut sambil menatap ponselnya yang masih berdering.

"Kenapa, Lan?"

"Nomer nggak dikenal, Mbak," jawabnya.

"Sudah, cepat angkat saja. Ini mumpung Letta belum bangun," perintahku. Lany menurut, lalu kulihat dia mendekatkan ponsel ke telinga kanannya.

"Halo?" Lany bersuara.

"Hah? Apa, Pak? Kok bisa? Tapi ini kami sudah sampai di tujuan, lho. Posisi Bapak masih di titik penjemputan?"

Lany bicara dengan penelponnya yang sama sekali tak kumengerti.

"Ya ampun ... maaf banget, Pak. Maaf banget, ya?"

Tak lama Lany pun menutup telepon, lalu menatapku dengan wajah yang menegang.

"Kenapa, Lan? Kenapa?" tanyaku was-was.

"Mbak, mobil yang tadi nganter kita, ternyata bukan taksi online yang aku pesan. Tadi sopir taksinya telepon dan marah-marah karena nungguin kita lama banget di depan rumah."

Penjelasan Lany tak urung membuatku terperangah saking kagetnya.




Part 4

"Ya ampun, kok bisa sih, Lan?" seruku tanpa sadar, yang langsung membuat Valetta bergerak gelisah dalam gendonganku.

"Aku juga bingung, Mbak. Kok bisa, ya?" Lany menyahut dengan ekspresi kebingungan.

"Kamu sih, Mbak tadi bilang juga apa? Kamu main yakin-yakin aja. Untung orang tadi bukan penjahat. Kalo dia perampok atau pemerkosa gimana?" ujarku sambil bergidik ngeri membayangkan jika tadi sampai terjadi hal buruk karena kesembronoan kami yang main asal naik mobil orang begitu saja.

"Ihh ... iya Mbak, aku yang salah memang. Sudah yuk kita langsung ke dalam. Kasihan tuh Letta kedinginan entar," sahut Lany lalu berjalan mendahuluiku memasuki halaman rumah sakit.

****

"Anak Ibu mungkin terkena ISPA. Bunyi nafasnya juga agak berat. Apa dari ayah atau ibunya punya riwayat asma?" Dokter bertanya setelah selesai memeriksa kondisi Valetta.

Anakku kembali menangis. Mungkin takut karena merasa asing dengan suasana rumah sakit, ditambah pula sedang tidak enak badan.

"Tidak ada, Dok. Saya maupun ayahnya tidak ada yang mempunyai riwayat asma." Kujawab pertanyaan dokter seraya menggendong Valetta yang masih rewel.

Sang dokter manggut-manggut mendengar jawabanku. "Baiklah kalau begitu. Sebentar saya buat dulu resepnya, nanti silahkan ditebus di apotek rumah sakit." Dokter muda itu kembali berkata, lalu meninggalkan kami untuk menulis resep bagi Valetta di meja kerjanya.

"Syukurlah Letta nggak sampai harus dirawat inap, Lan," ucapku pelan pada Lany. "Iya, Mbak. Semoga setelah ini Letta segera sembuh," jawabnya sambil ikut mengelus punggung Letta yang kini sudah agak mulai tenang.

Kami harus menunggu sekitar tiga puluh menit untuk menebus resep obat karena ada beberapa macam obat yang harus dibentuk menjadi puyer. Mataku mulai terasa berat. Sepanjang hari ini tenagaku memang agak terforsir mengurusi Letta.

Iseng aku mengecek ponsel, sementara gantian Lany sekarang yang memangku Letta yang kembali tertidur.

Tak kusangka ada sebuah pesan masuk dari Arin, sahabatku.

[Besok kirimin CV lo ke email.] Bunyi pesan dari Arin. Terkirim sekitar dua puluh menit yang lalu. Karena tadi sedang repot dengan Letta, aku jadi tak ngeuh waktu ponselku berbunyi untuk memberikan notifikasi.

[Siap. Email kantor masih sama, kan? Sorry baru bales.] Kukirim segera ke Arin. Mungkin ia sudah terbang ke alam mimpi saat ini. Biarlah, besok pasti dibacanya pesanku ini.

[Iyeeee. Masih sama. Kok belom tidur? Begadang, lo?]

Tak kusangka Arin langsung membalas pesan dariku. Aku pun segera membalasnya kembali.

[Masih di rumah sakit, bawa si kecil.]

[Loh, sakit apa anak lo? Berdua dong sama Arya?]

Moodku langsung ambyar membaca pesan terakhir Arin karena menyebut-nyebut nama mas Arya. Arin memang belum tahu perihal permasalahan rumah tanggaku, jadi wajar saja jika dia mengira bahwa aku tentunya sekarang sedang bersama-sama dengan lelaki itu untuk mengantar anak kami berobat.

Baru jari ini hendak mengetik pesan balasan untuk Arin, tiba-tiba terdengar nama Valetta dipanggil oleh petugas apotek. Aku pun bergegas bangkit untuk mengambil obatnya.

"Lany, yok pulang." Kucolek Lany yang matanya sudah 5 watt sambil menunjukkan kantong berisi obat untuk Valetta. Lany menguap sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Kantong berisi obat kumasukkan dalam tas, lalu kuraih Valetta dari pangkuan Lany.

"Pake taksi lagi kita, Mbak?" Lany bertanya saat kami berjalan melewati lapangan parkir rumah sakit yang sepi. Hanya kendaraan yang terparkir berjejer memenuhi lahan parkirnya.

"Iyalah. Masa ngesot?" sahutku sekenanya.

"Ih Mbak Mei pasti masih keki gara-gara taksi online tadi nih ...," gerutu Lany sambil mengeluarkan ponselnya. Bersiap untuk memesan taksi online yang akan mengantar kami pulang ke rumah.

****

Waktu hampir menunjukkan pukul satu dini hari ketika kami sampai di rumah. Melihat Letta masih sangat pulas, aku tak tega untuk memberinya obat. Maka kuputuskan untuk memberinya besok pagi saja.

Tubuh yang terasa amat letih, membuatku jatuh terlelap tanpa sempat mencuci muka terlebih dahulu. Ketika kantuk mulai membuai, rasanya semua beban pikiran pun ikut tenggelam seiring dengan kesadaran yang semakin berkurang.

****

Suhu tubuh Letta masih turun naik, namun ia sekarang sudah mulai mau makan bubur sedikit dan minum ASI. Sepertinya, obat yang diresepkan oleh dokter semalam mulai bereaksi.

"Kasihan cucuku, masih terlalu kecil untuk mengerti badai yang menerpa pernikahan kedua orang tuanya," ucap ibu lemah sembari menyuapi Letta dengan bubur halus yang kubuat.

Mendengar ucapannya, jujur saja hatiku pun merasa sedikit tercubit. Letta yang harus menjadi korban keegoisan aku dan mas Arya. Tapi apakah aku yang sepenuhnya bersalah karena membela ibu dan Lany?

Seharusnya mas Arya pun lebih bijak dalam bersikap sebagai suami. Apalagi ia tahu sebelum menikah pun aku adalah tulang punggung keluarga, menggantikan ayah yang telah tiada. Ketika ia telah menyanggupi untuk mengambil alih semua beban dipundakku, harusnya dia juga sadar atas segala konsekwensinya.

Hanya karena baju yang belum diseterika, ia jadi semena-mena memangkas uang bulanan. Rasanya pun, hal itu terlalu mengada-ada. Atau mungkinkah ada alasan lain di balik perubahan sikap mas Arya yang tiba-tiba? Entahlah ....

Aku hanya membela hak ku yang telah dijanjikannya. Sebatas itu. Tapi dia sendiri yang semakin melebarkan masalah dengan berkata yang tidak-tidak tentang keluargaku.

Ditambah lagi, ia juga melibatkan mamanya dalam permasalahan ini. Masalah akan semakin rumit ketika orang tua ikut campur dalam permasalahan rumah tangga anaknya. Dan itulah yang terjadi pada kami sekarang. Semua sudah telanjur saling benci hanya karena dipicu masalah yang amat sepele.

"Maafkan Mei, Bu. Tidak ada maksud untuk membuat Letta menjadi korban karena masalah Mei dan mas Arya. Kelak dewasa Letta akan mengerti dengan sendirinya. Jujur saja, Mei pun sekarang sudah mentah hati jika harus bersatu lagi dengan mas Arya. Semua ucapan mas Arya dan mamanya, selamanya akan membekas dalam hati dan otak Meira, Bu," uraiku mengutarakan isi hati yang sebenarnya.

"Harusnya Arya juga tak perlu sampai melibatkan mamanya. Kalau pun dia keberatan karena harus menanggung Ibu dan Lany, dia kan bisa berterus terang. Selanjutnya, tinggal fokus mencari solusi bagaimana yang terbaik."

Pendapat ibu barusan memang seide denganku. Ah, susah memang jika memiliki pasangan yang kurang dewasa. Semua dilakukan hanya berdasar menuruti emosi dan hawa nafsunya saja, padahal masalah tersebut masih bisa diselesaikan melalui komunikasi secara baik-baik.

BERSAMBUNG

***

Beberapa novel Dwi Indrawati telah terbit di Google Play Store:

MEREBUT HATI SUAMIKU
KUPULANGKAN SUAMIKU KEPADA IBUNYA
ISTRI PILIHAN
lisa181922Avatar border
tjahmbelerAvatar border
prima2611Avatar border
prima2611 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
3.4K
23
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.