tesinuraeniAvatar border
TS
tesinuraeni
Perempuan Setelah Istriku πŸ’—πŸ’—
Perempuan Setelah Istriku
(Cerpen)

"Aku cuma ingin punya anak dari Mas. Apa itu berlebihan?"

Aku mengusap pelipisku yang tiba-tiba berdenyut setelah mendengar pertanyaan itu. Tak tahu apa penyebabnya hingga Annira kembali merajuk seperti ini. Lagi, untuk kesekian kalinya.

"Memangnya kita nggak bisa bahagia walaupun hanya berdua saja, tanpa anak?" Aku balik bertanya.

Annira membalikkan tubuh untuk menatapku. Matanya memerah, wajahnya kuyu. Dan hal itu langsung membuat hatiku seperti disundut dengan ujung besi membara. Tak kasat mata, tetapi nyata sakitnya.

"Mas nggak cinta sama aku lagi?"

Aku menyugar rambut dengan kasar. "Please, kamu nggak perlu tanya sesuatu yang kamu sendiri udah tahu jawabannya, Ra."

"Jawab aja, Mas! Kamu masih cinta sama aku atau nggak?" Annira mulai tak terkontrol.

Sungguh, aku mulai lelah menghadapi Annira yang seperti ini. Wanita lemah lembut yang dulu membuatku jatuh cinta seolah berubah menjadi sosok yang tak kukenal. Dia makin egois dengan permintaan yang sulit kukabulkan.

"Terserah kamu, Ra!" jawabku pada akhirnya, ikut terpancing amarah.

Tanpa peduli pada panggilan Annira, aku berlalu. Saat sudah di dalam mobil, aku bisa melihat Annira yang mengikutiku hingga ke teras. Sekilas, matanya tampak menatap sendu. Kukeraskan hati, lalu mengendarai mobil entah ke mana. Yang jelas, aku sedang butuh pelampiasan.

***

Hampir tiga puluh menit lamanya berkendara tanpa arah, aku akhirnya memutuskan untuk berhenti di sebuah kafe. Aku butuh pahitnya kopi untuk meredakan nyeri di kepala.

Setelah mendapat secangkir kecil espresso, aku memilih meja di satu sudut. Niatku hanya ingin menjernihkan pikiran sebentar saja. Tak tega juga rasanya meninggalkan Annira terlalu lama malam-malam begini.

Lalu tiba-tiba saja, terlintas satu nama di pikiranku. Seseorang yang kutemui beberapa minggu lalu dalam satu acara reuni. Intan. Aku bahkan sempat meminta nomor kontaknya. Kemudian tanpa sadar, tanganku sudah menggulir layar ponsel untuk mencari kontak wanita itu. Setelah kutemukan, aku segera menekan opsi panggilan suara.

"Halo?" Suara lembut itu masih seperti yang kuingat.

"Intan? Ini aku, Rizal."

"Oh, Rizal. Ada apa, Zal?" tanya Intan. Suaranya terdengar begitu ramah dan antusias.

Bibirku tersenyum menyadari Intan tak banyak berubah. "Aku mau bicara sama kamu. Kita bisa ketemu?"

***

Annira keluar dari kamar mandi dengan wajah ceria. Matanya berbinar cerah, mengalahkan bola lampu terang di kamar kami. Sebuah benda pipih panjang berada di salah satu tangannya.

Jantungku berdebar keras. Tak tahu lagi apa yang hatiku lebih inginkan. Apa pun hasilnya nanti akan terasa bagai buah simalakama untukku.

"Mas, positif!" jerit Annira kegirangan.

Wanita itu mendekat dan langsung memelukku. Erat sekali. Aku tak bisa berbuat apa pun selain membalas pelukan itu. Namun, aku tak bisa memungkiri kalau ada sesal yang mulai timbul. Apalagi saat teringat pertemuanku dengan Intan malam itu.

"Kita akan punya anak, Mas," bisik Annira pelan dengan nada bahagia yang begitu kentara.

Aku menelan ludah. Tenggoranku rasanya kering. Tak bisa membalas ucapan Annira barusan.

"Aku bahagia banget, Mas," lanjut Annira lagi.

Tapi kenapa aku nggak bisa sepenuhnya bahagia seperti kamu, Ra? tanyaku dalam hati.

***

Aku baru akan berangkat meeting ke PP saat ponselku berdering nyaring. Nama Annira tertera di layar. Dengan cepat, aku menerima panggilan telepon itu.

"Assalamu'alaikum, Ra. Ada apa?" tanyaku langsung. Dia sangat jarang menelepon saat jam kerja, kecuali ada hal yang sangat penting.

"Mas, bisa pulang sekarang? Perutku kram. Agak sakit."

Jantungku seolah berhenti mendadak mendengar suara lemah Annira di seberang sambungan. Kepanikan itu menyerang hingga membuatku limbung seketika.

"Mas pulang sekarang," jawabku cepat.

Tak peduli pada tatapan heran rekan-rekan kerjaku, aku bergegas keluar ruangan. Mengabaikan Andri yang berteriak memanggilku. Mengingatkan soal meeting kami dengan klien siang ini. Aku tak peduli pada apa pun, selain Annira sekarang.

Tiga puluh menit kemudian, aku sampai di rumah. Wajah Annira sudah begitu pucat. Begitu dingin, saat aku mengusap wajahnya yang berpeluh. Dia tampak begitu kesakitan.

"Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"

Wanita itu tampak lemas dan tak sanggup menjawab. Hanya bisa memberikan satu anggukan. Aku segera membopong tubuhnya ke mobil. Usia kehamilannya sudah 32 minggu, tapi tubuhnya begitu ringan. Tidak seperti ibu hamil pada umumnya.

"Mas," rintih Annira dari kursi penumpang belakang.

Aku menyempatkan menengok Annira saat laju mobil terhenti di lampu merah. Wanita itu berbaring dengan mata terpejam. Tangannya terus mengusap bagian perut. Aku didera ketakutan luar biasa.

"Sabar, ya, Sayang? Sebentar lagi, kita sampai rumah sakit." Aku mencoba menenangkan.

Annira tak menjawab. Hanya menggigit bibir yang kuyakini sebagai upaya menahan sakit. Lalu, aku teringat seseorang. Segera kuambil ponsel di saku kemeja dan meneleponnya. Agak lega saat panggilan itu akhirnya diterima.

"Intan, maaf." Aku memulai, lalu segera menceritakan semuanya.

***

"Aku sudah jelaskan tentang semua ini di awal pertemuan kita kan, Zal? Jadi, aku harap kamu bisa menerimanya dengan lapang dada."

Aku membuang pandangan dari wajah Intan setelah mendengar kalimatnya barusan. Sesalku makin membumbung karena keputusan yang dulu pernah kubuat. Andai saja, aku tak luluh pada permintaan Annira.

"Radioterapi yang dulu dilakukan pada istrimu saat proses pengobatan kanker telah melemahkan ovariumnya. Hal inilah yang meningkatkan resiko kelahiran prematur. Tak ada jalan lain, Annira harus menjalani operasi caesar," lanjut Intan lagi.

"Aku suami yang bodoh, ya, Tan? Padahal aku sudah tahu tentang resiko ini, tapi malah mendukung Annira untuk menjalani program hamil," desahku lelah.

Intan, teman SMA-ku yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis obstetri dan ginekologi itu menatapku dengan prihatin.

"Kita tahu kalau Annira yang memang berkeras ingin hamil kan, Zal? Dan aku rasa keputusanmu sudah tepat. Kita masih punya harapan. Aku akan berusaha keras agar istri dan anakmu selamat. Kamu terus bantu dengan doa, ya?"

***

"Kamu harus dioperasi, Sayang. Nggak apa-apa, ya? Kita akan ketemu baby kita lebih cepat. Bukannya kamu sudah nggak sabar ketemu sama anak kita?"

Annira tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Mata itu tampak berkaca. Aku menguatkan hati agar tetap terlihat kuat. Tak boleh ikut menampakkan kesedihan.

"Mas, kamu harus janji satu hal sama aku. Mau, kan?"

Tak tahu kenapa, aku merasa kalau permintaan Annira adalah hal yang akan sulit kupenuhi.

"Apa?" Aku bertanya dengan suara serak.

"Kamu harus selalu menjalani hidup dengan baik, ya? Apa pun yang terjadi, hidupmu harus terus berjalan sebagaimana mestinya. Kamu harus terus bahagia. Bisa, kan?"

Aku mengangguk cepat. "Tentu. Aku akan terus bahagia bila ada kamu di sampingku."

Annira tersenyum, lalu menggeleng pelan. Tangannya meremas jemariku yang menggenggamnya.

"Ada ataupun tanpa aku, kamu tetap harus selalu bahagia. Janji, ya?"

Permintaan macam apa itu? Aku tak bisa mengiyakan karena tak mau membohongi Annira.

"Mas, kamu ingat pertama kali kita ketemu?" Annira kembali bertanya.

Aku mengangguk dengan cepat. Tak mungkin lupa karena pertama kali kami bertemu, juga menjadi awal aku jatuh cinta padanya.

Sekitar empat belas tahun yang lalu. Saat kami masih kuliah di tahun ketiga. Di halte fakultas MIPA, di mana jurusan Annira berada.

Saat itu, aku sedang menunggu Bayu, temanku di klub bulutangkis. Aku duduk di atas motor saat seorang ibu penjual minuman botol menawarkan dagangannya. Aku menolak dengan halus. Ibu itu lalu ganti menawari seorang mahasiswi yang duduk di bangku panjang. Satu-satunya orang selain aku di halte itu.

Aku melihat gadis itu mengambil satu botol air mineral, lalu mengulurkan selembar uang bergambar dua orang proklamator Indonesia. Si ibu tampak kebingungan mencari uang kembalian.

"Nggak ada yang kecil aja, Neng? Saya nggak punya kembalian." Si ibu bertanya.

Gadis itu menggeleng. "Ya sudah, kembaliannya buat Ibu aja."

Aku kaget saat mendengarnya, juga si ibu penjual. Penjual itu sampai merasa tak enak. Namun, si gadis ternyata keras kepala. Akhirnya, si ibu pasrah dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Aku sendiri masih terpaku karena begitu takjub melihat kejadian itu. Sampai aku tersadar saat sebuah motor berhenti di depan gadis itu. Pengendaranya adalah seorang perempuan yang rupanya kenal dengannya.

"Belum pulang, Ra? Bareng aku aja, yuk? Aku anterin sampai kos."

Gadis itu tersenyum lebar. "Alhamdulillah, kebetulan aku lagi kehabisan uang buat naik ojek. Baru aja mau jalan kaki."

"Belum dapat kiriman dari bapakmu, ya?" tanya temannya.

Gadis itu tertawa tanpa menjawab pertanyaan temannya, lalu naik ke boncengan motor.

Aku terus mengawasi dari tempatku hingga motor yang dinaiki dua perempuan itu berlalu. Bertepatan dengan itu, Bayu datang. Kami pun segera menuju arah lapangan bulutangkis yang telah kami sewa kemarin.

Entah kebetulan atau takdir, sebelum pintu keluar, aku melihat motor yang dinaiki gadis di halte tadi. Sengaja, aku melewati motor itu. Dan yang tak kusangka, Bayu menyapa mereka seperti sudah saling mengenal.

"Kamu kenal, Yu?" tanyaku dengan minat.

"Kenal, dong. Satu jurusan sama aku."

Aku melirik kaca spion untuk melihat motor yang baru saja kusalip tadi. "Kok aku nggak pernah lihat, ya?"

Bayu malah tertawa keras. "Kamu mana kenal anak-anak Salam!"

Anak Salam? Oh, jadi mereka anggota Nuansa Islam, nama UKM rohis di kampus kami.

"Namanya siapa?" tanyaku lagi.

Kali ini, Bayu tertawa makin keras. Aku sudah menduga reaksinya ini, tetapi tak peduli. Aku benar-benar ingin tahu.

"Yang mana, nih? Depan atau belakang?" Nada menggoda dalam suara Bayu begitu kental.

"Belakang," jawabku tanpa berbelit.

Bayu makin tergelak, tapi menjawab juga. "Annira."

***

Bayi kecil yang berada di salah satu inkubator itu tampak sangat rapuh dan lemah. Ada selang makanan dan ventilator yang terhubung ke dalam tubuhnya. Juga sebuah monitor yang memantau kondisinya. Ruangan NICU yang sunyi terasa makin mencekam bagiku.

Aku mendekat perlahan. Ingin mengamatinya dari jarak dekat. Malaikat kecil yang dilahirkan oleh kekasih hatiku. Salah satu prasasti hidup cinta kami berdua.

Tubuhnya begitu kecil. Wajahnya juga. Anehnya, aku seolah bisa melihat dengan jelas garis wajah Annira di tiap lekukannya. Lalu, ingatanku bertingkah bak proyektor yang memutar film berisi percakapanku dengan Annira dulu.

"Kalau dia perempuan, nggak apa-apa 'kan, Mas?" tanya Annira dulu.

"Ya, nggak apa-apa. Yang penting sehat," jawabku.

Ternyata, dia benar-benar perempuan, Ra. Cantik seperti kamu.

"Mas, cintai anak kita sebesar cintamu ke aku, ya?" pinta Annira suatu waktu.

Saat itu, aku mengiyakannya saja.

Sekarang, aku tak bisa menolak untuk jatuh cinta pada anak kita, Ra. Karena dia begitu mirip denganmu.

Kemudian, kilasan-kilasan itu berputar cepat. Memenuhi otak, menyilaukan pandangan. Aku merosot. Kakiku tak kuat lagi menopang.

Bayang wajah kekasihku seolah menjejali segala ingatanku. Senyumnya yang tulus, suaranya yang lembut, tatapannya yang hangat.

Aku masih bisa merasai betapa lembut tangannya membelai wajahku.

Aku masih bisa mencium aroma tubuhnya yang mewangi alami walaupun tanpa aroma tambahan dari parfum.

Aku masih bisa melukis wajahnya dengan begitu detail dalam angan. Wajah yang mencekikku dalam rindu tanpa tepian.

"Mas, aku bahagia saat kamu memilihku menjadi istrimu."

"Makin bahagia saat punya kesempatan mengandung calon anakmu."

"Aku begitu bahagia karena pernah berkesempatan mendampingimu."

"Aku benar-benar bahagia karena pernah hadir dalam hidupmu."

"Kalaupun aku harus pergi, tak ada sedikit pun sesalku karena setidaknya aku sudah menunaikan tugasku. Mengantarkan dia, buah cinta kita untuk menyapa dunia. Dia ... salah satu bukti cintaku padamu, Mas."

Aku memegangi dadaku yang terasa sangat sesak. Suaranya masih begitu jelas terngiang di telinga. Aroma tubuhnya masih begitu kuat terhidu olehku. Namun, aku tahu kalau dia tak ada lagi di sini.

Dia pergi tanpa pernah melihat cantiknya bayi kami.

Dia pergi tanpa sempat menimang putri kami.

Dia yang pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal padaku.

Tak apa, Sayang. Tak perlu ada ucapan perpisahan. Toh, ini hanya sementara saja. Kita akan dipertemukan lagi dalam keadaan yang lebih baik. Aku sedang berusaha memperbaiki diri sekarang. Memantaskan diri agar kelak bisa bersanding denganmu, sang bidadari surga.

Annira, aku mencintaimu. Selalu.

Annira, terima kasih untuk hadiah yang begitu indah. Aku akan menjaga putri kita dengan baik. Perempuan yang hadir setelah kamu.

β€”Selesaiβ€”
dewisuzannaAvatar border
senja87Avatar border
namakuveAvatar border
namakuve dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThreadβ€’42.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
Β© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.