Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

LaditachudaAvatar border
TS
Laditachuda
Kutukan Sampah: Gita Cinta Masa SMA
Cinta Masa SMA


Kutukan Sampah: Gita Cinta Masa SMA




Quote:


Buatku jadi murid SMU itu kebanggaan tersendiri. Walaupun sebelumnya sempat ada kejadian dilematis di keluarga gara-gara aku salah pilih, dan akhirnya kejeblos ke sekolah swasta.

Toh, buatku, nyasar di sekolah ini adalah berkah. Jujur saja aku suka sekali sekolah ini, mirip kampus tempat kuliahan soalnya. Gedungnya besar dan luas, fasilitasnya lengkap, sampai ruang tata boga saja ada.

Yang jadi perhatianku itu ruang perpustakaan, semua buku tumplek di tempat itu. Sampai heran sendiri, kok bisa yah semua buku ada di ruangan ini? Saking ngefans sama perpustakaan, hampir seluruh waktu luangku di sekolah habis untuk membaca buku. Plus menunggu kedatangan si dia, kakak kelasku, tertampan di sekolah, Paskibraka, dan favoritku hingga 2 tahun ke depan.

Meta berkali-kali berkata padaku, "Jangan mimpi Cinta. Dia hanya serupa bayangan semu di saat mati lampu, yang ketika lampu nyala malah hilang sama sekali." Ah, sialan! Aku benci dengan kenyataan itu, bahwa Meta benar, Yudi tak mungkin suka padaku, tak terjangkau olehku.

Tapi ternyata, tetap saja aku berharap lebih padanya selama bertahun-tahun. Bahkan aku rela aktif hampir setahun lamanya di Paskibra. Kuabaikan semua kenyataan kalau Yudi sama sekali tak pernah melirikku, malah tak hapal sama sekali nama juniornya ini. Menyedihkan.

Dasar saja aku yang bebal, omongan Meta yang tajam pun hanya lewat begitu saja di telinga. Yang terjadi malah aku yang makin rajin latihan Paskibra demi bertemu dengan Yudi, sang idola.

"Kamu belajar dasar baris berbaris bukan?" bentak Yudi.

Suaranya melengking di telingaku. Tapi aku tahu peraturannya, tak boleh bergerak sama sekali. Tidak mengangguk, atau menggeleng sekalipun, fatal kalau melakukan dua hal itu. Aku tahu pasti ada kekurangan dalam sikap berbaris kali ini, itu sebabnya Yudi sebagai senior menegur dengan bentakan.

Kemudian pemuda itu dengan mantap menurunkan sedikit lengan kananku yang tidak lurus, tidak sejajar dengan bahu teman di depanku. Masih untung aku tidak dihukum banyak-banyak setelahnya. Kasian teman-teman yang lain jadi ikut dihukum denganku, yang wanita terpaksa Skot jump,yang pria jadi push up.

"Lain kali konsen! Kesalahan satu orang ditanggung satu grup!" teriak Yudi sambil mengontrol kelompok yang sedang dihukum.

"Lima belas, enam belas, tujuh belas, delapan belas...."

Aku dan teman-teman yang lain terus berhitung hingga jumlah hukumannya selesai. Jujur, aku rela melakukan apapun juga yang penting bisa melihat seniorku itu. Malah sebelumnya aku pernah beberapa kali sengaja berbuat kesalahan biar mendapat perhatiannya.

Padahal Meta berulang kali mengatakan kalau usahaku menarik perhatiannya itu sia-sia. "Lu tuh enggak ngaca Arty, ketinggian mimpinya."

"Bodo, ah," jawabku, "bagusan gue punya mimpi, daripada kamu yang tidur mulu."

"Huu, buciinn," ejek Meta, "mending sama si Isa aja dah kamu tuh." Meta mengedikkan kepalanya ke arah kelas IPA.

Spontan aku mengikuti gerakan kepalanya, dan mataku tertumbuk di wajah pemuda berkulit sawo matang.

"Eh, sialan, dia ngeliat aku," desisku sambil menyikut Meta yang terkikik pelan.

Buru-buru aku menundukkan kepala, menyibukkan diri membuka halaman buku paket Akuntansi. Meta yang duduk di sampingku juga pura-pura sibuk.

Tiba-tiba suara Tyas mengagetkanku. "Artyyy, siniiii!" Serunya memanggil-manggil sambil melambaikan buku catatan Bahasa Indonesia yang dipinjamnya kemarin.

"Sono tuh, si Tyas manggil," celetuk Meta sambil nyengir kuda.

Sebal aku melihat Meta yang sumringah seperti itu. Pasti harapannya langsung ada letupan-letupan asmara antara aku dan si Isa. Huh, cuih! Enggak akan mungkin terjadi deh, Beb.

Akhirnya mau tak mau aku menghampiri Tyas yang tanpa dosa berdiri di ambang pintu, tepat bersebelahan dengan Isa.

"Udah beres?" tanyaku, sambil berusaha mengabaikan keberadaan Isa. Tapi percuma, tubuh setinggi itu mana bisa dianggap tidak ada.

"Isa mau minjem tadinya, tapi gue nanya dulu sama Lu, Art," jawab Tyas sambil mencolek Isa.

Isa yang lagi asyik main game di ponsel bareng teman di sebelahnya langsung sadar ada aku begitu dicolek Tyas.

"Eh ada bintang kelas IPS," selorohnya.

Aku tersenyum kecut mendengarnya, entah itu pujian, entah sindiran, entah kutukan. Sebenarnya aku lebih memilih yang ketiga, kutukan. Benci sekali hati ini dianggap yang paling super oleh teman-teman. Seringnya malah jadi merasa dikucilkan oleh mereka, karena dianggap sok suci dan sok pintar.

"Enggak juga, ah," jawabku, "katanya mau minjem catatan Indo? Mumpung entar kamis baru ada pelajarannya, nih."

Aku berbaik hati bertanya pada Isa yang tengah memperhatikan dengan penuh minat. Ada sedikit rasa geli ketika matanya bertatapan dengan mataku. Matanya coklat lembut, rasa choco milk,manis, agak menghanyutkan.

"Boleh?" tanyanya penasaran.

Mau tak mau aku mengangguk, padahal butuh juga catatan itu. Tapi gengsi kalau sampai menolak permintaan tolong di depan banyak orang. Inilah derita yang dianggap paling rajin plus pintar. Padahal aku kelas IPS, tapi tetap saja kelas jurusan lain selalu mencari kalau butuh catatan bahasa Indonesia.

Jadilah mulai dari hari itu Isa sering bolak-balik meminjam catatanku. Alasannya juga macam-macam, mulai dari telat nulis, enggak masuk sekolah, sampai amanat si Tyas buat minjam. Tapi sudahlah, walaupun tak tahan dengan tingkah Meta yang entah kenapa tiap Isa datang selalu kena penyakit batuk, tetap saja akhirnya aku mengikhlaskan hati meminjamkan catatan.

"Lu, enggak ada krenyes krenyes gituh kalo tiap si Isa dateng?" tanya Meta, usil seperti biasa.

Aku pura-pura tidak mendengar, konsentrasi pada punggung tegap di jajaran depan. Punggung siapa lagi kalau bukan punya Yudi? Entah buku apa yang dibacanya kali ini. Entah kapan pula dia sadar kalau juniornya ini penggemar sejati dirinya.

Tiba-tiba keasyikanku terganggu. Ada seseorang yang menggeser tumpukan buku di mejaku. Aku menoleh, tadinya mau menyemprot, tapi langsung tertelan lagi ketika bungkusan manis itu disodorkan, sejajar dengan hidung, dan tercium harum pegunungan Aspen dari pita emasnya. Sepertinya itu juga, kalau iya juga enggak apa-apa, sungguh khayalan yang manis.

"Ikut aku, yuk!" Isya mengajakku keluar perpustakaan, bungkusan kecil itu disembunyikannya di antara jemari tangan.

Oh, tidak! Itu buatku bukan? Protesku dalam hati, dan aku yakin, keputusanku mengikuti Isa saat itu karena penasaran dengan isi bungkusannya. Meta senyum-senyum dikulum. Pura-pura sibuk dengan catatannya, padahal matanya mengekor kami terus. Bahkan aku yakin, saat itu Yudi juga ikut memperhatikan.

Aku menganggap Isa itu payah, tidak romantis, dan terlalu kepedean. Apa sebabnya? Entah apa yang ada di kepala cowok itu, di saat cewek-cewek lain diajak ke tempat khusus yang romantis, si Isa malah bawa aku ke bagian belakang sekolah, ke tempat pembuangan sampah. Helooo... enggak ada tempat lain, yah?

Isa berhenti berjalan ketika dirasanya kami sudah agak jauh dari keramaian. Ini sih bukan jauh dari ramai lagi! Makiku dalam hati sambil menahan napas, jengkel setengah mati.

"Ty, sebelumnya aku minta maaf," ucapnya ketika membalikkan badan. "Semoga kamu enggak nganggap aku kurang ajar. Tapi sungguhan, Ty. Aku rasa ada sesuatu di hati ini yang tumbuh sejak kamu pinjami catatan itu...."

Suara Isa jadi terdengar sengau sekarang. Aku sibuk menahan napas. Bau sampah sialan! Pening kepala ini diserang dari segala penjuru. Apa yang dikatakan Isa saja aku enggak paham. Ya, Tuhan. Apa dosaku terjebak di tempat ini?

"Aku ingin kita membina sebuah hubungan yang tidak hanya sebatas teman saja, Ty. Kamu itu spesial, beda dari cewek-cewek lainnya...."

Aduh. Perutku mulai bergejolak, kayaknya sebentar lagi bakal muntah. Aku yakin ada yang buang bangkai tikus di belakang sini. Membayangkannya saja kepalaku langsung pusing.

"Ty, bisakah kita jadi teman yang spesial? Membina sesuatu yang baik hingga ke pernikahan? Aku ingin kamu jadi pacarku dulu, lalu kita rencanakan ke sesuatu yang lebih serius lagi. Ty maukah...."

"Iya!! Iya, iya! Aku mau! Bisakah kita pergi dari sini?" jawabku histeris, lalu menarik tangan Isa cepat-cepat, tak tahan dengan bau busuk sampah.

Itulah kutukanku yang berikutnya setelah kutukan anak pintar. Karena pusing akibat bau sampah, dan salah paham dengan kalimat-kalimat Isa yang sengau. Kukira Isa akan mengatakan, "Ty, maukah kau terima hadiahku?"

Ternyata aku salah! Dan kesalahapahaman itu dirayakan Meta seminggu lamanya dengan berkoar-koar tentang hari jadian kami. Hari jadian kutukan, gara-gara bau sampah. Selama sebulan lamanya aku merasa seperti di neraka. Isa selalu menguntit aku kemana saja, aku jadi phobia selama kurun waktu itu. Bahkan pergi ke WC saja celingak-celinguk, takut dikuntit.

Berlebihan, yah? Hehe. Mungkin karena aku tipe bebas, sedangkan Isa tipe penuh perhatian. Aku baru sadar hal ini setelah beberapa tahun sesudahnya. Tidak ada penyesalan, hanya ada sedikit harapan untuk mengulang lagi, itu saja.

Isa memang sangat perhatian. Berangkat sekolah diperhatikan, pulang sekolah diperhatikan, ada di rumah ditelpon terus. Tapi buatku itu menggelikan. Yang ada malah aku sering main kucing-kucingan dengannya, pura-pura ada kerja kelompok, setelah yakin Isa pulang baru aku pulang ke rumah. Sayangnya, tidak semua rencanaku berhasil.

"Ayo, pulang!"

Aku kaget ketika tiba-tiba Isa menyeruak di antara teman-temanku. Rupanya kali ini Isa kesal karena aku tidak pernah mau diajak berangkat atau pulang bareng.

"Aku ada perlu dulu sama temen," tolakku dengan wajah merah. Meta dan yang lainnya menertawaiku.

"Perlu apa? Ayo, naik!" tegas Isa.

Entah kenapa aku menurut saja waktu itu. Mungkin karena malu jadi bahan tertawaan anak-anak yang sedang ada di parkiran, yang sama-sama sedang menunggu angkot lewat.

"Kamu ini aneh ... apa enaknya naik angkot? Udah aku bilang, 'kan, bakal diantar jemput tiap hari?" gerutunya.

Ya, Tuhan. Emang lebih enak naik mobil pribadi yang disupiri anak seorang konsultan negara. Tapi enggak enaknya banyak juga, aku enggak bisa bebas, itu saja.

Setelah musibah hari itu hidupku tambah tidak enak. Setiap hari yang kulakukan hanya memantau di mana Isa dan sedang apa dia. Maksudnya biar aku tahu jalan tikus mana yang harus diambil di sekolah, biar dia tidak tahu aku di mana. Belum lagi gosip Isa yang posesif jadi merebak di sekolah, sampai jadi masalah juga di Paskibra.

"Kamu telat 10 menit! Pacaran aja!!" doktrin Yudi sangar, sewaktu aku telat latihan.

Sedih aku mendengarnya, padahal telat juga bukan kemauanku, dan aku menangis. "Maaf. Ibu saya sakit," jawabku singkat, sedikit parau.

Kulihat Yudi tertegun sesaat, tapi melanjutkan lagi kedisiplinannya, aku dihukum lagi karena datang terlambat. Tidak masalah hukumannya, yang masalah hanya perkataannya tadi itu. Selama latihan aku memendam sedih, dan Yudi tidak ada simpatinya sama sekali.

Baru kali ini aku sedih berhari-hari. Si Neko keberuntungan hadiah jadian dari Isa jadi sering kuajak ngobrol waktu sepi. Lucu memang, tapi ia lambang keberuntungan katanya, kok aku malah jadi sering tidak beruntung, yah? Hei, Neko. Katakan apa yang harus kulakukan? tanyaku berulang kali pada benda mungil dari tembaga itu. Badannya kuguncang-guncang tiap saat, sambil menunggu batangan mungil bertuliskan huruf kanji keluar dari kepalanya.

Tapi, tentu saja aku tak tahu artinya walaupun berjuta kali batangan itu mengeluarkan jawaban. Huuft. Harus diselesaikan secara manual, ucapku dalam hati.

Keesokan harinya aku memutuskan memanggil Isa dengan menitipkan surat pada Tyas. Aku tidak menelponnya karena malas berdebat. Selama berhari-hari sebelumnya aku memang menghindari Isa, malas aku karena merasa dikuntit terus.

Isa datang pas jam istirahat seperti yang aku pinta dalam surat. Dia terlihat senang karena akhirnya berhasil menemukan aku di sekolah.

"Kamu sehat-sehat aja, 'kan? Kata Meta kamu agak sakit," tanyanya khawatir.

Aku tersenyum kecut. Iya, aku sakit, sakit karena jadian sama kamu, keluhku dalam hati.

"Sa, aku mau sendiri dulu. Aku enggak bisa kayak gini terus, rasanya hidup ini jadi di neraka karena kamu kuntit terus. Aku mau ngadem, aku...."

Belum juga selesai kata-kataku, Isa sudah meledak dengan rentetan kata-kata aneh, menurutku itu juga.

"Sendiri? Maksud kamu mau putus? Apa salahku kalo perhatian sama kamu? Itu karena aku sayang kamu!"

Oh, kata-kata sayang itu langsung membuat perutku sakit. Sampai sekarang juga hal itu sering terjadi, sepertinya aku alergi pada perkataan seperti itu.

"Kalau kamu mau sendiri, sok aja sendiri sana! Ke Gunung Puntang sekalian, tapa. Tapi enggak usah dijadiin alasan buat putus. 'Kan, di Gunung juga sama sendirian. Iya, 'kan?"

Kepalaku langsung cenat cenut mendengarnya. Pura-pura tidak mendengar omelannya, aku beringsut perlahan, menjauh darinya. Lalu cepat-cepat membalikkan badan, dan berlari menuruni tangga.

"Arty! Aku belum selesai bicara!" serunya panik.

Kejadian hari itu tercatat dalam sejarah sekolah, dan jadi viral selama satu bulan. Bagaimana tidak? Suara Isa telah membuat anak-anak di dua kelas yang berada dekat lab berhamburan keluar. Penasaran dengan pertengkaran panas tentang cinta.

Malangnya nasibku. Tercoreng sudah wajah ini, dan keberuntungan itu tidak ada, keluhku sambil melempar si Neko ke atas selimut. Tidak ada airmata, hanya sedikit sesal karena terjebak satu bulan gara-gara bau sampah. Apalagi ditambah satu bulan berikutnya harus menahan kuping dari ocehan-ocehan panas di sekolah.

"Lu, tuh cewe paling aneh, tau!" Meta mengomeliku terus di sepanjang bulan yang penuh hujan. "Apa kurang si Isa coba? Tampangnya lumayan, dia anak orang kaya. Perhatian, sayang sama Elu...."

"Kurangnya gue kagak sayang sama dia tau!" tukasku, memotong omelan Meta, lalu tertegun ketika sadar ada Yudi di depan kami.

Meta juga tertegun, lalu penuh sadar diri berpamitan. Aku juga merasakan sesuatu, ada yang ingin Yudi katakan padaku. Oh, tidak. Apakah mungkin mimpiku akan jadi nyata?

"Hai," sapanya kikuk.

Aku membalasnya, kikuk pula. Bersiap menerima yang paling indah dalam hidup ini.

"Kemarin itu, waktu kamu kesiangan.... " Yudi membuka percakapan penuh rasa malu. "Maafkan aku. Apa ibumu udah sehat?" tanyanya, menyesal.

Aku mengangguk, tidak mengira akan membahas hal yang telah membuat sedih berhari-hari. "Enggak apa-apa, Kak. Emang salah aku, kok."

"Maaf," ucapnya lagi. "Ini permintaan maafku. Terima, yah." Yudi menjejalkan bungkusan di tanganku. "Cewekku yang minta aku melakukan ini," ucapnya lagi.

Cewek? Serasa kena pentungan hansip yang sedang ronda malam, aku pun mengerjap-ngerjapkan mata, ikut melihat seorang kakak kelas yang ditunjuk oleh Yudi. Kakiku lemas, perutku mulas, jantungku kebas. Kenyataan ini lebih seram dari adegan film horor yang pernah kutonton.

"Ma-makasih, Kak," ucapku lirih, lemas, hampir tak bernada.

Bungkusan dari Yudi kuremas-remas, dan aku tak pernah tahu apa isinya hingga saat ini. Sebuah tanda sakit hati terdalam, dan aku menganggapnya karma susulan akibat dari kutukan sampah.

"Sorry, itu yang mau aku bilang, Beb. Dari kemarin-kemarin mau bilang itu," ucap Meta, menunjuk Yudi dan ceweknya yang berjalan menjauh sambil bergandengan.

Apa aku menyesal? Entahlah, bahkan selama berbulan-bulan berikutnya pun aku tidak yakin kalau masih punya hati.

Quote:
Diubah oleh Laditachuda 03-03-2021 13:57
mbakendutAvatar border
tien212700Avatar border
mmuji1575Avatar border
mmuji1575 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
592
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to HeartKASKUS Official
21.9KThread28.3KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.