Sumber: The Guardian

Tindakan rasisme di sepak bola masih saja terjadi. Padahal sudah puluhan tahun kampanye anti rasis terus disuarakan. Tapi kenapa masih terus saja ada?

Penyakit rasisme ini memang sudah akut. Setiap musim, liga terbesar di dunia seperti Liga Primer Inggris, La Liga, dan Serie A masih saja harus melalui musim yang diwarnai rasisme.

Tindakan ini malah sudah menjalar ke sosial media. Padahal di sosial media rasisme mudah dikecam publik. Tapi toh terjadi secara terus menerus.

Buktinya saja, Marcus Rashford, Anthony Martial, Axel Tuanzebe, Lauren James, dan Reece James menjadi korban rasis dalam beberapa minggu terakhir.

Rashford yang menjadi korban rasis ikut menanggapi kejadian itu. "Hanya waktu yang bisa menjawab bahwa (rasisme) telah membaik. Tapi dalam beberapa tahun, (rasisme) tak kunjung membaik," katanya.

Memang itulah kenyataannya. Yang dikatakan Rashford tidak ada yang salah sama sekali.

Tindakan rasisme ini memang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun. Seperti dikutip Guardian, menurut sosiologis Dr Jamie Cleland, salah satu penyebab rasisme adalah karena kasualisasi bahasa.

Jamie Cleland, Sumber: ResearchGate

Bahasa-bahasa yang merepresentasikan rasisme bisa dilontarkan hanya dengan satu kata saja.

Menurut Jamie bahasa rasisme membawa tindakan itu semakin mengakar. "Rasisme dilakukan pada masanya demi modal bersosial," terangnya.

Modal sosial seperti rasime itu akibatnya mengakuisisi nilai-nilai sportif dalam olahraga. "Hingga kini terjadi di media sosial," kata Jamie.

Di media sosial, orang-orang yang mencuitkan kata-kata rasis yang ditujukan pada pemain tertentu sengaja melakukannya demi perhatian. "Mereka merasa hidup ketika orang lain menggigit," tambah Jamie.

Memang rasisme kini tidak dilakukan secara bar-bar seperti dahulu. Kini tindakan itu juga hanya dilakukan oleh segelintir orang.

Segelintir orang menyerang orang lain yang dinilai sebagai kaum minoritas dengan kata-kata rasis. Segelintir orang itu merasa bahwa dirinya adalah bagian dari mayoritas, karenanya mereka merasa superior untuk melontarkan umpatan rasisme.

Tom Loizou, Sumber: Haringey Borough FC

Manajer Tom Loizou dari klub kecil Inggris Haringey Borough FC mengutarakan pendapatnya yang sangat brilian terkait hal di atas. "Jika mayoritas diam terhadap orang-orang yang melakukan rasisme karena pelaku rasisme merasa mayoritas, maka semua mayoritas itu bersalah," terangnya.

Masalah ini juga sulit diatasi di medsos. Menghapus unggahan status berbau rasis itu tidak menghilangkan budaya rasisme.

Vinai Venkatesham, Sumber: Football.London

Chief Excecutive Arsenal Vinai Venkatesham turut khawatir dengan permasalahan rasisme ini. "Sepak bola, para pemain, dan perusahaan sosial media harus bekerja sama demi menghapus masalah rasisme di internet. Kalau enggak, saya sangat khawatir dengan jalan sepak bola kita di depan," ujarnya.

Padahal semua klub sudah mengkampanyekan anti rasisme. Ofisial liga di eropa juga sudah sangat melawan rasisme. "Kita butuh dukungan dari perusahaan sosial media itu," tambah Venkatesham.

Lebih dari itu, budaya melawan rasisme emang harus dilakukan lebih intens lagi. Mungkin kalau boleh pinjam isi ceramah Ustad Abdullah Gymnastiar, budaya rasisme ini bisa dihapus dengan 3M.

Sumber: Wikipedia

Mulai dari yang terkecil

Mulai dari diri sendiri

Mulai dari sekarang.