Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ZenMan1Avatar border
TS
ZenMan1
Kala Nasib Rupiah Tergantung Amerika...
Kala Nasib Rupiah Tergantung Amerika...


Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Pekan ini, pelaku pasar sepertinya bakal bergerak hati-hati karena ada pengumuman dua data penting.
Pada Senin (25/1/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.020 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu atau stagnan.
Namun beberapa menit kemudian rupiah langsung melemah. Pada pukul 09:14 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.030 di mana rupiah melemah 0,07%.

Sepanjang minggu kemarin, rupiah melemah tipis 0,07% terhadap dolar AS secara point-to-point. Sayang sekali. Sepertinya tren depresiasi rupiah belum bisa dibalik.

Pasalnya, investor kemungkinan akan memilih bermain aman dengan menghindari aset-aset berisiko. Ada dua rilis data yang akan berpengaruh besar di pasar, dan keduanya datang dari AS.

Pertama adalah hasil rapat Komite Pengambil Kebijakan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) pada Kamis dini hari waktu Indonesia. Konsensus yang dihimpun Reuters memperkirakan Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat masih akan mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25%.

Namun bukan hanya soal suku bunga acuan yang ditunggu pasar. Investor juga menunggu arah kebijakan moneter The Fed ke depan.
Beberapa kalangan mulai membuat perkiraan bahwa The Fed akan melakukan pengetatan dengan cara mengurangi pembelian surat berharga (quantitative easing). Setelah itu, baru Federal Funds Rate bakal dikerek.

Sejumlah pejabat teras The Fed memang telah menegaskan bahwa kebijakan yang mengarah ketat alias tapering off belum menjadi pertimbangan. Saat ini ekonomi AS masih butuh dukungan dari segala lini untuk bangkit dari hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

"Kami akan terus melakukan itu (pembelian aset di pasar keuangan) sampai ekonomi betul-betul solid. Jadi saya rasa akan butuh waktu sampai kita bicara soal tapering," kata Eric Rosengren, Presiden The Fed Boston, seperti dikutip dari Reuters.
"Saya belum melihat kami akan mengurangi (pembelian aset) sekarang atau dalam waktu dekat. Mungkin itu baru akan terjadi pada akhir 2021 atau awal 2022, tetapi tentu tergantung bagaimana arah perekonomian yang lagi-lagi bergantung dari perkembangan pandemi," kata Patrick Harker, Presiden The Fed Philadelphia, sebagaimana diwartakan Reuters.
Akan tetapi, sepertinya pelaku pasar belum puas kalau belum mendengar langsung dari Pak Ketua Powell. Oleh karena itu, investor sangat menanti jumpa pers oleh Powell yang digelar usai rapat. Selagi menunggu kode dari Powell, rasanya pelaku pasar akan menahan diri dan tidak akan bermain agresif. 


Data kedua adalah pengumuman pertumbuhan ekonomi AS pada Kamis malam waktu Indonesia. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Paman Sam pada kuartal IV-2020 tumbuh 4% dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/QtQ). Memang masih tumbuh, tetapi jauh melambat dibandingkan pertumbuhan kuartal sebelumnya yang mencapai 33,4%. 

Pada kuartal III-2020, tema besar ekonomi adalah pembukaan kembali (reopening) karena kurva kasus positif corona berhasil dibuat melandai. Setelah pembatasan sosial (social distancing) yang ketat pad kuartal II-2020, 'keran' aktivitas warga AS kembali dibuka pada kuartal III-2020 meski masih ada pembatasan di sana-sini.

Namun pada kuartal IV-2020 ceritanya berbalik. Jumlah pasien positif corona melonjak tajam sehingga membuat berbagai negara bagian di AS kembali menutup aktivitas dan mobilitas masyarakat. Dari reopening menjadi reclosing


"Kita benar-benar berada di lubang yang dalam. Ketika ekonomi mulai dibuka kembali dan ada tanda-tanda positif, kita tentu berharap tidak kembali seperti kondisi Februari 2020," tutur Loretta Mester, Presiden The Fed Cleveland, seperti diwartakan Reuters.

Untuk keseluruhan 2020, Mester memperkirakan PDB AS mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) di kisaran 6%. Jika terwujud, maka akan menjadi pencapaian terburuk usai Perang Dunia II. 

AS adalah perekonomian terbesar di dunia, pasar konsumen nomor satu di kolong atmosfer. Kalau pemulihan ekonomi AS berada di jalur yang benar, maka seluruh dunia akan menikmatinya. Ekspor berbagai negara akan terdongkrak karena peningkatan permintaan di AS.
Oleh karena itu, data pertumbuhan ekonomi AS begitu dinanti oleh pelaku pasar. Sebab data ini akan sangat menentukan arah pemulihan ekonomi dunia.
Selagi belum ada penguman resmi dari Biro Analisis Ekonomi AS (US BEA), investor akan cenderung mengambil jarak dari instrumen berisiko. Ini akan membuat arus modal yang mengalir ke pasar keuangan negara-negara berkembang jadi seret, termasuk ke Indonesia. Hasilnya, rupiah pun harus rela tergusur ke jalur merah. 


sumur

https://www.cnbcindonesia.com/market...tung-amerika/1
0
363
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.1KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.