Ibu-ku telah wafat bulan Juli lalu, beliau sudah lama menderita dan berjuang melawan sakitnya. Itulah hal yang paling menyedihkan dalam hidupku. Sebelum Ibu pergi, saya putuskan untuk pulang kampung dan merawatnya. Saat itu saya bekerja sebagai karyawan swasta di kota, saya putuskan untuk resign dari kerja.
Selama Saya bekerja, saya selalu memberikan gajiku untuk Ibu, saya hanya mengambil uang pas untuk makan dan sewa kost. Kadang temanku selalu heran, mengapa gajiku selalu saya berikan kepada Ibu. Namun saya selalu semangat untuk membahasnya, karena Ibu adalah malaikatku. Saya jelaskan kepada mereka; "
Selagi saya punya kesempatan akan saya lakukan untuk membalas jasa Ibu-ku, walau tidak mungkin saya bisa membayar semua pengorbanannya. Saya tahu Ibu-ku selalu sakit-sakitan, saya takut sekali kehilangannya, terlebih saya begitu takut tidak dapat membahagiakannya dan membalas jasanya. Saya takut kehilangan kesempatan itu. Begitu ruginya saya", itulah pikirku.
Setelah saya resign kerja, saat Ibu terbaring sakit di kasur dan saya bilang kepadanya; “
Mulai sekarang saya yang akan merawat Ibu, tidak usah Ibu khawatir mengurus rumah, memasak, mencuci dan lainnya. Jangan khawatir, saya yang akan masak untuk Ibu, Bapak dan adikku. Saya akan lakukan mulai dari sekarang”. Siang itu saya ke warung untuk membeli tempe dan sayur kangkung untuk saya masak, pikirku pasti sangat lezat makan siang ini dengan tumis kangkung dan tempe goreng hangat.
Setelah selesai masak saya dapati Ibu-ku terbaring lemah tak berdaya, saya begitu khawatir dan memutuskan membawanya ke rumah sakit. Saya masih ingat hari itu, Kamis siang saya bawa Ibu ke rumah sakit. Ibu-ku masuk IGD dan selalu saya temani, saya sangat kalut dan tidak sabar karena pandemi
Covid-19ini membuat prosedur pelayanan rumah sakit menjadi sangat rumit dan begitu lama. Hampir selama 13 jam lamanya Ibu-ku di IGD tanpa penanganan yang pasti, begitu saya kalut dan sering bolak-balik bertanya kepada perawat.
Baru setelah jam 12 malam Ibu-ku dipindah di ruang rawat inap. Saya pikir syukurlah, namun selang 1,5 jam setelahnya Ibu-ku telah menghembuskan nafas terakhirnya. Tangisku langsung pecah dan tak terbendung, rasanya begitu hancur dan tak percaya. Saya sangat berat kehilangannya.
Jumat pagi jasad Ibu-ku disemayamkan. Saya masih tak percaya akan ini, saya selalu menangis tiada henti. Siang itu saya menuju ke kamar Ibu dan tidur di kasurnya, berharap Ibu ada di sini menemaniku. Saya seperti gila, saya tak mau makan dan hanya menangis seharian. Namun saya harus ikhlas, begitulah yang dikatakan orang, tapi saya masih tak percaya.
Setiap hari saya bersihkan kamar Ibu, saya rapikan tempat tidurnya. Hal itu selalu saya lakukan sampai sekarang, saya merasa dan berharap Ibu-ku masih berada di sini. Sesuai janjiku, saya-lah yang akan merawatnya, menyapu, mengepel, mencuci dan memasak. Saya masih menepati janjiku itu, saya selalu termenung di kamarnya, mengelus bantalnya dan selalu menyiapkan sajadah dan mukena yang selalu Ibu pakai buat shalat di kamar.
Sajadah dan Mukena Ibu
Hal yang ingin saya lakukan seandainya Ibu masih hidup adalah sesuai janjiku, yaitu saya yang akan merawatnya. Namun, sekarang saya sudah tidak dapat melakukannya, hanya do’a yang selalu saya panjatkan setiap selesai shalat untuknya. Saya selalu bacakan
Surah Yasinsetelah shalat
Maghrib untuknya. Dan yang paling saya sukai adalah setiap Kamis sore saya selalu berpakaian rapi dan wangi mengunjungi makamnya, membawakan bunga dan saya bacakan do'a. Saya tak pernah lupa melakukannya, hanya itu yang bisa saya lakukan sekarang untuk membalas budimu Ibu. Engkaulah pelita dan malaikatku, semoga engkau tenang di sana, diberikan tempat terbaik di sisi-Nya dan diampuni segala dosamu, Ibu. Amin.