Rebek22Avatar border
TS
Rebek22
Kejora Tanpa Cahaya
Quote:


Arc 1: Dua dewi dalam kepungan api


Prolog : Harapan dan Kenyataan

Athena
Batam, 13 Maret 2019
18.30



Saat ini seharusnya gemerlap lampu sebuah kapal pesiar lah yang memenuhi pelupuk mata ini, irama syahdu dari lantunan musik yang memanjakan kedua daun telingaku, balutan perasaan damai ketika kedua bola mata ini memandangi keindahan malam, serta lisan yang terus terbuka karena membicarakan hal-hal ringan dengan papah dan adik kecilku, dan tentunya sambil menyantap aneka hidangan laut yang selalu berhasil membuat mulut ini seolah tidak mengenal kata berhenti. Iya seharusnya semua itu lah yang aku rasakan pada malam ini. Namun sepertinya sang takdir merasa enggan untuk mewujud ekspetasiku itu, nampaknya ia lebih berkenan untuk menuliskan sebuah kisah berbeda dalam alur kehidupanku.

Kenyataan yang aku dapat justru berbanding terbalik dengan apa yang tadi aku harapkan. malam ini, bukan gemerlap lampu kapal yang kedua mata ini saksikan, melaikan kobaran api yang terlihat begitu lapar, dengan begitu ganasnya si jago merah itu melahap segala hal yang ada di hadapannya, termasuk manusia yang kala itu tengah menikmati malam.

Bukan musik juga yang malam ini memenuhi telingaku, melainkan teriakan minta tolong yang terdengar dari seluruh penjuru kapal.

Bukan juga pemandangan indah dari gemerlap bintang yang memanjakan kalbuku, melainkan rona merah menyala yang seakan mengepung dari segala arah dan terus membisikan keputus asaan kepada setiap insan yang menyaksikannya.

Hal yang lisan ini bicarakan dengan keluarga kecilkupun bukan lah percakapan ringan yang membuat kehangatan menyelimuti kami, melain kan teriakan papah yang menyuruhku untuk terus berlari menelusuri koridor demi koridor yang perlahan mulai hagus di lahap oleh si jago merah, kedua lengannya yang kurus terlihat tengah menggendong adik kecilku, tangis anak manis itu tak kunjung usai karena rasa takut terus menawan hatinya.

Teriakan pria itu mulai terdengar lemah, tanda keputus asaan nyaris berhasil membungkam harapan kecilnya, akan tetapi dia tetap berusaha terlihat tegar, aku tau rasa takut juga menyelimuti hatinya, namun demi keluarga tercintanya dia tetap berjuang, mengabaikan penderitaan hatinya yang mulai di koyak oleh rasa takut. ada amanah sebagai kepala keluarga yang dirinya tengah emban di kedua sisi pundaknya, dia tidak boleh sampai di pencundangi rasa takut, demi kedua putrinya dia akan terus berusaha mencari jalan keluar dari jeratan sang maut.

Lorong demi lorong kami lalui, pengap, lelah dan panas tidak henti-hentinya menerjang seluruh tubuhku, entah sudah berapa lama kami berlari, dan entah berapa lama juga kami harus terus berlari seperti ini agar kata selamat bisa kami raih dan terlepas dari tragedi memilukan ini.

rasa nyilu sudah begitu terasa di kakiku menandakan jika keduanya telah mencapai batas, nafaskupun mulai terasa sangat sesak, bagaimana tidak? Hidung ini terus menerus menghirup asap, pening juga mulai terasa di kepalaku, sakit, sakit sekali. semua hal itu berhasil membuat pandangannku kabur, tidak mampu lagi rasa aku untuk melihat dengan jelas apa yang ada di hadapankuu, sempurna sudah penderitaan ini, dari ujung kepala hingga ujung kaki semuanya sudah terasa sakit, akan tetapi aku belum berniat untuk menyerah, selelah dan sesakit apapun tubuh ini, aku masih akan tetap memaksakan diri untuk berlari, jika aku sampai tumbang, papah pasti akan memaksakan dirinya untuk menggendongku, dan secara otomatis itu akan semakin memperlambat kami untuk menjauh dari kobaran api. bagaimanapun aku tidak mau menjadi beban tambahan untuk papah, cukuplah adikku yang perlu di gendong, jangan sampai diriku juga, karena itu akan benar-benar membuat keadaan semakin sulit.

Konsentrasiku sudah mulai terurai, sulit sekali membuatnya tetap fokus, sehingga kewaspadaanku pun menurut pesat, tanpa sadar kakiku tersandung sebuah puing kapal yang berserakan, sehingga membuat tubuh ini jatuh dan menghantam lantai dek yang keras, papah dengan segera menghentikan langkahnya dan menoleh kearahku, dia menurunkan adikku dari gendongannya lalu merunduk untuk melihat keadaanku, ah sial tetap saja aku menjadi beban tambahan baginya.

" Ana, kamu baik-baik saja ?" tanyanya mengkhawatirkan diriku.

Aku mengangguk pelan ke arahnya " Aku baik-baik saja pah" ujarku sambil berusaha berdiri kembali, tidak ada waktu untuk berdrama mengenai tubuhku yang kesakitan, terutama di bagian wajah karena bagian tersebut baru saja sukses mencium lantai dek.

" Apa kamu yakin? " Ujar papah yang masih tidak percaya kalau putrinya baik-baik saja.

" yakin pah "

" baik lah kalau begitu, ayo kita harus segera keluar dari kapal ini, di luar pasti aman dan kita bisa ikut naik sekoci lalu kembali ke daratan dengan selamat" Ujarnya dengan penuh keyakinan, aku tau dirinya sedang mencoba untuk menegarkan mentalku yang mulai menciut, kepalaku kembali mengangguk tanda jika aku juga meyakini ucapannya.

Adikku masih menangis, hal itu wajar jika mengingat usianya yang masih empat tahun dan harus di hadapkan dengan keadaan hidup atau mati, malangnya gadis kecil itu, padahal hari ini merupakan hari spesial baginya, tetapi kami malah terjerumus ke dalam sebuah tragedi, aku janji jika kami selamat bagaimanapun caranya aku akan mengubur hatinya dengan rasa bahagia, sehingga dia dapat melupakan tragedi ini secara sempurna.

"kenapa bisa jadi seperti ini?" gumamku dalam hati mempertanyakan keputusan langit yang terasa sangat tidak adil bagiku.
Rasanya baru sore tadi kami beranjak dari rumah dan sengaja menaiki kapal pesiar mewah milik rekan kerja papah untuk merayakan ulang tahun adikku yang bernama Odi, Rencanyanya kapal ini akan berlayar dari batam menuju negeri tetangga yaitu australia, di tengah pelayaran kami berniat merayakan ulang tahun Odi di buritan kapal, kue ulang tahun sudah aku beli, ukurannya cukup besar mengingan adikku suka sekali makanan manis, lilin berbentuk angka empatpun sudah aku siapkan berbarengan dengan kue tersebut, di atas kue tadi aku meminta pelayan toko untuk menuliskan " Happy birthday Aprodite" dengan krim berwarna pink karena itu merupakan warna kesukaannya, semuanya sudah terpack rapih tanpa sepengetahuannya agar nanti semua itu menjadi sebuah kejutan yang istimewa baginya. Kapal berangkat tepat pukul lima sore menempuh perjalanan kurang lebih dua belas jam menuju australia. sesampainya di sana kami akan menginap di hotel lalu esok harinya kami berencana untuk berlibur di sana.

Sore itu Kami bertiga masih beridiam di kabin tak lama setelah kapal berlabuh, kami masih bersenda gurau berpura-pura lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahun adikku, wajahnya merah merona karena kesal , kami bersikap seolah-olah lupa akan hari ulang tahunnya, dia terus menggerutu merasa kami benar-benar melupakannya, hingga pada akhirnya Odi memilih pasrah dan berbaring di pojok kasur kabin sembari menutupi wajahnya dengan bantal, sepertinya ini jadi agak berlebihan pikirku, tapi karena asik aku memilih untuk tetap melanjutkannya.

Tepat pukul tujuh malam tiba-tiba suara dentuman keras terdengar dari arah luar, kami cukup kaget mendengar dentuman itu, tidak lama berselang sirine peringatan pun berbunyi papah dengan sigap berlari keluar kabin untuk mencari tau apa yang sebenarnya terjadi, setelah mendapatkan informasi yang dia butuhkan dari dari para kelasih yang berlalu-lalang di dek, papah kembali ke kabin dan menceritakan apa yang dirinya ketahui kepadaku, rupanya salah satu mesin kapal meledak mengingat ledakan yang timbul cukup besar keseimbangan kapal mulai oleng, kapal bergoyang cukup kuat membuat ayah sedikit terpental menghantam diding dek, entah bagaimana caraku menjelaskannya setelah sepersekian detik terdengar kembali dua ledakan secara bersamaan aku mengansumsikan jika sekarang ada tiga mesin yang meledak.

" kebakaran " suara riuh terdengar dari luar, sepertinya ledakan tadi menimbulkan kebakaran, di luar jendela kabin asap mulai terlihat, keadaan angin sore itu sepertinya sangat kencang sehingga api dengan sangat cepat menjalar kesegala arah sampai pada akhirnya separuh bagian kapal terbaka hanya dalam hitungam detik, teriakan panik pun kembali terdengar, merasa keadaan menjadi tidak aman, ayah segera mengajak kami keluar, kabin kami ada di lantai enam kapal pesiar itu, jadi cukup jauh untuk keluar menuju buritan kapal.

Lantai enam dan lima masih terlihat normal, hanya saja orang-orang mulai berlarian menuju tangga darurat, seketika tangga darurat sudah nampak sangat penuh dan tidak karuan , orang-orang mulai saling dorong, membuat banyak yang terinjak karena jatuh, merasa melalui tangga darurat tidak efektif ayah memutuskan lari melalui tangga biasa, dia tau betul setiap bagian dari kapal ini karena rekannya dulu pernah menunjukan cetak biru kapal tersebut kepadanya, pemandangan mulai nampak berubah di lantai tiga, api mulai menjalar ke lantai tersebut hanya butuh beberapa detik saja sampai lantai itu sempurna terbakar, bagaimana dengan dua lantai di bawahnya? setibanya di lantai dua, benar saja api sudah meludeskan sebagian besar bagian kapal , dan di sinilah kami terhenti lantaran kakiku yang tersandung, benar-benar lokasi yang tidak tepat untuk berhenti walau sejenak bukan?

Ayah kembali menggendong Odi. " Ayo Ana kita lari lagi " ajaknya sembari mulai melangkah maju.

Aku belum bisa mengambil satu langkahpun, karena saat kaki kiri ini aku pijakan ke lantai, seketika rasa sakit menjalar hebat ke seluruh tubuh, tadi memang aku berkata jika keadaanku baik-baik, namun sepertinya saat tersandung tadi kaki ini sedikit terkilir di bagian pergelangan, akibatnya ketika di gunakan sebagai tumpuan untuk berdiri dengan segera rasa sakit langsung tersuguhkan kepada diriku, mengetahui putrinya ternyata tidak baik-baik saja, papahpun kembali menghentikan langkahnya.

" Kamu mau di gendong? " tanyanya lagi, akupun langsung menggeleng, dalam keadaan genting seperti ini mana mungkin aku malah menambahkan bebannya? Dengan sekuat tenaga aku mencoba kembali berjalan, langkah pertama berhasil aku ambil, akan tetapi rasa nyilu malah semakin menjadi di pergelangan kaki, aku kembali berhenti dan menatap papah yang terlihat semakin khawatir, tangannya terulur kepadaku memberi isyarat agar aku segera meraihnya, sial betapa payahnya diriku di situasi seperti ini aku malah menurunkan kewaspadaan sehingga kaki ini jadi terkilir dan menghambat kami semua.

Papah berada kurang lebih sepuluh langkah dari tempatku berdiri, melihatku yang tidak kunjung menambah jarak, pada akhirnya dia memutuskan untuk menghampiriku lagi, namun secara tiba tiba langit-langit yang ada di atas kepalanya roboh dan terjuj bebas kearahnya, kejadian itu terjadi sangat cepat, papah secara reflek melempar Odi kearahku sesaat sebelum langit-lanit itu menimpa seluruh tubuh nya, Odi berhasil aku tangkap, akan tetapi tumpuan kakiku yang sedang tidak sehat ini oleng sehingga kami berdua langsung terjungkal kebelakang.

Aku merasa sangat kaget, seketika wujud papah lenyap tertimbun tumpukakn besi dan matrial lainnya yang jatuh bebas dari atas, aku langsung berteriak histeris, tubuh kecil Odi terlihat gemetaran, aku yakin dirinya mengalami syok berat karena nyawanya nyaris saja hilang. jika tadi papah telat sedetik saja untuk melemparkan tubuhnya kearahku, aku yakin tubuh kecilnya akan gepeng meningat berat komponen kapal ini bisa mencapai ratusan kilogram.
Aku segera bangkit dan berlari menghampiri puing-puing yang menggunung itu, rasa sakit tidak lagi aku hiraukan, " Bagaimana keadaan papah?" Hanya itulah yang saat ini memenuhi pikiranku, sekuat tenaga aku mencoba untuk mengangkat pupuin-puing itu, akan tetapi begitu tangan ini menyentuh salah satu besi, mulutku langsung merintih kesakitan karena ternyata besi yang tangan ini sentuh masih terasa sangat panas, wajar saja, besi itu habis di jilat oleh si jago merah. aku sedikit memutar otak, mencari cara untuk mengakali panas yang bersarang pada besi tersebut, akhirnya aku mendapat sebuah ide, dengan segera aku menaggalkan kedua sepatuku, setelah itu kulepas juga kaus kaki yang membalut kakikui, lalu mengenakannya di tangan, semoga panas dari besi tersebut dapat teredam oleh kain ini, rencana tersebut tidak langsung membuahkan hasil rasa panas masih cukup terasa, akupun berlari kearah odi, menaggalkan sepatu serta kaus kakinya, lalu mengenakan kaus kaki kecilnya di tanganku, sekarang panas tidak begitu terasa menyegat saat tangan ini kembali menyentuh besi itu, sekali lagi aku mencoba menyingkirkan puing-puing tersebut akan tetapi sia-sia tangan kecil ini tidak cukup kuat untuk menggesernya sedikitpun, berulang kali aku mencobanya, namun secentipun reruntuhan itu tidak bergerak, akhirnya air mataku pun pecah, sisi terlemahku muncul saat itu juga, tak mungkin lagi rasanya aku bersikap tegar, entah itu sebagai kaka, maupun sebagai seorang gadis yang terbiasa hidup mandiri tanpa hadirnya seorang ibu, takdir amat kejam saat ini, entah mengapa ia sekali lagi ingin merebut salah satu hal berharga dalam hidupku, pikiranku mulai berubah menjadi tidak karuan, kesal rasanya jika mengingat aku kembali tidak berdaya saat sang takdir memerintahkan maut untuk mengambil nyawa orang yang begitu aku cintai.

Meskipun aku tak tau serupa apa wujudnya, aku sangat yakin saat ini sosok bernama takdir itu tengah kembali tertawa, memandangi sesosok gadis lemah yang telah di gelantungi rasa keputus asaan di sekujur tubuhnya. aku masih berjuang dengan terus menarik puing yang menimbun raga papahku, namun masih kesia-siaan yang aku dapatkan, mulut ini terus berteriak meneriaki papah, berharap pria itu menyautiku, apakah maut sudah mengangkat nyawanya? Apa papah sudah tewas?.

Tangisan Odi kembali terdengar, bukannya menghampiri tubuh kecil itu agar bisa menenangkannya, aku malah lebih memilih untuk mengabaikannya. sempurna sudah diri ini menjadi sosok kaka yang buruk lantaran terus membiarkan tangis adiknya kian membesar.

Empat tahun yang lalu aku harus kehilangan sesosok ibu dan sekarang papahku juga? Sekilas kenangan tentang hari di mana ibu pergi untuk selamanya mulai berputar memenuhi benakku, tepat empat tahun yang lalu aku menagis histeris di depan jasad mamah yang telah terbujur kakukaku di atas ranjang sebuah rumah sakit. aku terus meminta mamah untuk membuka matanya, aku berteriak begitu keras berharap suaraku bisa mencapainya, akan tetapi mata itu tidak kunjung terbuka, waktu itu aku belum terlalu memahami arti dari sebuah kematian, sehingga aku hanya menganggapnya sedang tertidur, ayah menenangkanku, sambil berkata " Mamah harus pergi, dia menukar nyawanya dengan nyawa adikmu " satu nyawa saat itu baru terlahir kedunia bersamaan dengan itu ada satu nyawa juga yang di angkat kelangit dan keduanya merupakan sosok yang begitu aku sayangi, tawa atau tangis ? sudah tidak tau lagi rasanya mana yang harus diri ini terapkan saat itu, dan sekarang keadaan itu mungkin akan terulang kembali, keadaan di mana aku tidak berdaya sedikitpun, hanya mampu menangis sambil menyaksikan maut yang perlahan mulai menghampiri papahku. Menangis, mengapa hanya itu yang dapat aku lakukan? memangnya apa yang bisa di lakukan seorang gadis berumur sembilan tahun dalam keadaan seperti ini ?.

Aku masih terus mencoba menggeser puing-puing itu dengan sisa-sisa tenaga yang aku miliki, sekuat tenaga tangan ini berjuang , tapi sekuat tenaga itu juga harapanku di goyahkan, bagaimana tidak? sesentipun puing-puing itu tidak tergeser, dan seakan mempecundangi diriku yang sudah di ambang ke putus asaan.
aku harus melakukan sesuatu, benci rasanya jika harus seperti dulu lagi, tidak berdaya saat takdir tengah mempermainkan alur kehidupanku, entah bagaimana caranya kali ini aku tidak akan mau mengalah kepada keadaan, apa lagi sesuatu yang bernama takdir itu.

Reruntuhan itu masih tak bergerak, api juga semakin besar dan tidak lama lagi akan mengepung kami, jika tidak segera melakukan sesuatu kami semualah yang akan matang terpanggang. nafasku sudah terengah-engah dan rasa sakit di kaki yang tadinya aku hiraukan kini sudah menolak untuk di abaikan karena nyeri yang menjalar semakin menjadi. "ini kah sebuah akhir? " sebuah pemikiran tersirat dalam benakku, akan tetapi Aku menggelengkan kepala, dan menolak dengan tegas untuk mengiyakan kata "akhir" itu muncul dalam alur kehidupanku, aku masih mau hidup, masih banyak hal yang belum aku lihat di dunia ini, dan aku juga tidak mau melihaynya sendiri, papah dan Odi juga harus ikut menyertaiku, melihat sisi dunia yang belum pernah kami lihat sebelumnya, kami harus selamat.
Pada akhirnyaa Puing-puing itupun aku lepas, lalu sedikit menjauh dari tumpukan matrial kapal yang menggunung itu, kemudian mengambil posisi duduk di lantai dengan maksut beristirahat dan mengumpulkan tenaga, akupun termenung sambil memandangi reruntuhan itu, jelas sekali jika tenaga dan keyakinan saja tidak akan pernah bisa menggeser reruntuhan itu, ini bukan dunia dalam komik yang biasa aku baca, yang mana sering kali dengan hanya berteriak si tokoh utama akan menjadi sangat kuat dan keadaan seketika di buatnya berbalik,
Aku ingat kata-kata mamah, sering kali dia memintaku untuk memutar otak ketika keadaan tidak sesuai harapan, dan menerapkan proses berfikir out of the box atau apalah itu, yang pada intinya adalah berfikir secara tidak biasa, aku mencoba menerapkan kata-kata tersebut dan mulai memutar otak memikirkan apa yang bisa aku lakukan untuk menolong papah, jika aku bisa mengatasi panas hanya dengan kaus kaki, mungkin ada hal lain yang bisa aku manfaatkam untuk mengurangi beban dari reruntuhan tersebut.
Diubah oleh Rebek22 13-02-2021 06:26
bukhoriganAvatar border
buburdiaduckAvatar border
kalong88Avatar border
kalong88 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
3K
29
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.