Quote:
Pekerja menyelesaikan proyek Stasiun LRT Jabodebek dan long span ruas Kuningan-Dukuh Atas, Jakarta, Selasa, 16 Juni 2020. (Foto: Beritasatu Photo)
Jakarta, Beritasatu.com - PDI-P mengkritik rencana Pemprov DKI Jakarta yang akan mengubah rute light rail transit (LRT). Perubahan rute tersebut terungkap di dalam paparan Dinas Perhubungan tanggal 22 Oktober 2020.
Di dalam paparan Dinas Perhubungan, Anies mengurangi alokasi rute LRT yang akan dikelola oleh Pemprov DKI dari 100 kilometer menjadi 23,2 km, yaitu Kelapa Gading – JIS (Jakarta International Stadium) 8,2 km, Kelapa Gading – Velodrome 5,8 km, Velodrome – Klender 4,1 km, dan Klender – Pondok Bambu – Halim 5,2 km.
Pemprov DKI Jakarta akan menyerahkan rute Pulo Gebang – Joglo sepanjang 32,8 km kepada pihak swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha (KPDBU). Rute ini akan melalui Jalan Jenderal Basuki Rahmat, Kampung Melayu, Jalan Prof Dr Satrio, Pejompongan, Palmerah, Bundaran Senayan, Permata Hijau, dan berakhir di Joglo.
“Rute yang dibuat Gubernur DKI Jakarta tidak sesuai dengan Perpres No 55/2018 dan sangat merugikan Pemprov DKI. Di dalam perpres tersebut Pemprov DKI dapat rute LRT ke pusat-pusat aktivitas di tengah kota. Tapi, Pak Anies malah mengubah rute sehingga Pemprov DKI hanya dapat rute di pinggiran yang sepi penumpang, sedangkan swasta punya rute yang empuk ke tengah kota,” kata anggota DPRD DKI Fraksi PDI-P, Gilbert Simanjuntak di Jakarta, Sabtu (31/10).
Menurut Perpres No 55/2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek tahun 2018-2029, Pemprov DKI mendapatkan penugasan untuk membangun LRT dengan panjang sekitar 100 kilometer. Proyek itu terdiri dari Kelapa Gading-Velodrome (5,8 km), Velodrome-Dukuh Atas (9 km), Kemayoran - Kelapa Gading (21,6 km), Joglo - Tanah Abang (11 km), Puri Kembangan - Tanah Abang (9,3 km), Pesing - Kelapa Gading (20,7 km), Pesing - Bandara Soekarno-Hatta (18,5 km), Cempaka Putih - Ancol (10 km).
Anggota komisi B yang membidani urusan transportasi ini juga mempertanyakan besaran tarif jika pembangunan dan pengelolaan LRT diberikan kepada swasta.
“Jika swasta yang mengelola, berapa tarifnya? Harga tarif harus terjangkau oleh rakyat kecil. Harga keekonomian tarif LRT berkisar Rp 25.000 hingga Rp 30.000 per orang. Saya tebak, nanti pihak swasta akan minta subsidi tarif ke Pemprov DKI. Selain subsidi, Pemprov DKI kemungkinan nanti juga harus mengeluarkan anggaran untuk pembebasan lahan dan biaya konstruksi. Belum lagi, Pemprov DKI harus kehilangan potensi pendapatan karena konsesi TOD (Transit Oritented Development) diberikan ke swasta. Kalau begini caranya, Pemprov DKI rugi berkali-kali,” ujarnya.
Gilbert menegaskan, pihaknya menolak usulan rute baru ini. Pasalnya, program LRT harus berorientasi pada pelayanan publik, bukan untuk cari keuntungan.
“Kenapa harus kasih ke swasta? Apakah karena biaya? APBD di pemerintahan sebelumnya lebih kecil, tapi bisa membangun depo dan jalur LRT. Jadi, ini bukan karena APBD tidak cukup, namun sepertinya ada deal-deal lain yang kita tidak tahu,” ujar Gilbert.
Sumber
Kurang setuju sama PDIP, malah bagus kasih Swasta yang bangun. Beban Pemprov DKI berkurang, nantinya Pemprov bisa fokus kasih PSO/Subsidi biar tiketnya terjangkau dan belum lagi memikirkan integrasi dengan transportasi lainnya supaya mengurangi beban kemacetan dan menambah moda transportasi di DKI Jakarta