Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

goresanpena90Avatar border
TS
goresanpena90
Cinta Wonder Woman
CINTA WONDER WOMAN

Bag. 1

"Daeng Rusdi? Dia kerja disini juga?"

Segera aku ambil langkah seribu,
bersembunyi dibalik gedung gudang penyimpanan barang tak terpakai.
Aku yang baru saja diterima sebagai staff baru akan memasuki gedung ini.
Tapi melihatnya sedekat ini
sungguh tak menyangka akan bertemu dengannya disini.
Dia baru saja menuju parkiran,
mungkin akan keluar sebentar.
Mengingat jam pulang belum waktunya. Kusandarkan diri dibalik tembok,
terdengar dag dig dug jantungku begitu keras serta desir darahku seperti tak bisa menahan gejolak yang aku rasakan.

"Rahmi? Ndi' Rahmi?"
(Rahmi? Adik Rahmi?"

Seketika jantungku hampir saja keluar dari tempatnya, aku begitu mengenali suara itu meski sudah lima tahun lamanya tak pernah lagi kudengar kabar tentangnya.
Tanpa menoleh segera kupercepat langkahku dengan sedikit berlari menuju kantin,
berharap ia tak bisa mengejar dan mendapatiku.

"Ya Allah, tolonglah hambamu ini,
semoga saja daeng Rusdi tidak mengetahui aku disini."

Desisku dalam hati. Sambil melihat disekeliling kalau saja aku dapat melihat sosoknya, siap-siap saja aku akan bersembunyi dibawa meja tempatku merapatkan pantat yang sedari tadi tak tenang dengan situasi ini.
Tak peduli para karyawan yang sedang makan siang dikantin melihatku dengan keheranan dengan sedikit alis terangkat sebelah.
Yang penting untuk saat ini aku tidak bertatap muka dengan pria yang pernah mengisi relung hatiku.
Sebenarnya aku tak tahu apakah masih ditempati olehnya hingga saat ini, kenapa aku begitu gugup bertemu dengannya? Mungkinkah aku masih ... ?
Kupukul-pukul kepalaku dengan map yang kupegang, berharap ingatan masa silam segera menghilang.

"Kerja disiniki' ndi'?"

(adik kerja disini?)

Ampuuun ya Robbi, suara itu? Kenapa tiba-tiba dia ada disini lagi? Apa dia memang mencariku sedari tadi?
Tak kuhiraukan sosok yang berdiri didepan setelah meja tempatku duduk, tiba-tiba saja aku seketika menghilang kebawah meja dan hanya melihat sepasang sepatu serta celana kain biru navy didepanku.
Tak kuhiraukan kepalaku yang membentur kursi serta jilbab segitiga yang kukenakan tersangkut disisi kursi karna paku sedikit menyembul.
Perlahan kuraba jilbabku hendak menariknya dari sisi paku.
Tapi kurasa tangan kekar itu kurasakan menyentuh jemariku.
Aku seperti anak kecil yang sedang bermain petak umpet.
Kenapa aku tidak bisa bersikap biasa saja? Begitu mudahnya aku ditebak olehnya. Aku yakin ia pasti memikirkan hal aneh tentangku.

"Apa kita ambil disitu ndi'? Keluarki. Nda maluki naliat banyak orang? Sepertiki saja anak kecil. Sinimiki duduk, ada yang mau kucerita sama kita."
(Adik bikin apa disitu? Ayo keluar. Apa tidak malu dilihat banyak orang? Seperti anak kecil saja. Mari duduk, ada hal yang ingin aku sampaikan)

Dia menarik tanganku agar aku keluar dari persembunyianku, pelan kepalaku menyembul dari bawah meja, tak berani ku tatap wajahnya, sentuhan tangannya melemahkan segala ototku. Tak kuat rasanya diri ini berada dekat dengannya. Tapi kenapa? Seketika semuanya terasa gelap ...

"Sadarki ndi', nda tegaka liatki begini."

(Sadarlah dik, aku tidak melihat kamu seperti ini)

Terasa pipiku ditepuk-tepuk, samar kudengar lagi suara itu, terasa perih hidungku. Seperti minyak angin dioleskan. Aku merasa seperti disebuah pembaringan, tapi dimana? Ruang kesehatan? Klinik? Aku belum berani membuka mata, tak mau melihatnya saat membuka mata. Aku teringat saat aku mulai tak ingat apa-apa. Ampun, aku pingsan. Lantas aku disini diangkat siapa? Diakah?

"Tidaaakkkk!"

Seketika aku terbangun. Kurasa mukaku ini sudah kemerahan menahan malu. Ah aku bodoh! Bodoh sekali! Kenapa aku tidak bisa menahan diri?

"Tolong daeng, pergimiki. Bisaja sendiri. Hanya kagetka saja bertemu sama kita disini, tidak pernah kufikir sebelumnya. Minta maafka."

(Aku mohon kak, silahkan pergi. Aku bisa sendiri. Hanya saja aku kaget bertemu kakak disini dan tidak pernah terfikir sebelumnya. Aku minta maaf.)

"Tidak ndi', setelah semuanya apa yang terjadi sa merasa perlu untuk menjelaskan sesuatu sama kita. Dan ini kutanggung selama lima tahun Perasaan itu selalu mengganjal dihati, lima tahun kucariki tapi tidak pernah kudapat dimana keberadaanta. Justru saya yang harus minta maaf ndi'."

(Tidak dik, setelah semua kejadian ini, aku perlu menjelaskan sesuatu pada kamu. hal ini kutanggung selama lima tahun, dannperasaan ini selalu mengganjal dihatiku. Lima tahun aku mencarimu dik tapi tidak lernah aku temukan dimana keberadaanmu. Justru aku yang harus minta maaf padamu dik)

Sambil tertuduk kulihat wajah sendunya mulai menitikkan bulir-bulir bening.
Aku memang perlu meminta penjelasan darinya, setelah kata terakhirnya memutuskan hubungan kami lalu pergi tanpa jejak.
Tapi aku merasa itu sudah tidak perlu.
Dia telah beristri. Kabar itu aku dengar dari seorang teman dekatnya setelah dua bulan perpisahan kami.

Kepingan hatiku berserakan ntah kemana. Sandaranku, penopangku, pelindungku dari kejamnya lingkungan serta keluargaku.
Tak lagi bersamaku. Setelah kepergiannya, aku seperti anak ayam kehilangan induk.
Aku sadari itu, orangtuanya tak akan pernah merestui hubungan kami, aku yang seorang "anak sial" tidak pernah diharapkan oleh siapapun. Bahkan orangtuaku sendiri. Sejak kecil hanya "anak sial" yang melekat pada diriku. Aku anak sial, paling tidak itu yang selalu aku dengar kala mereka memanggilku. Aku anak ketiga dari lima bersaudara. Kak Rahman, kak Lina, Rahmi (aku), dek Sulman, dan dek Ika. Usia sekolah SD sampai kejenjang SMP tidak pernah sekalipun aku dibekali sarapan ataupun uang jajan. Sementara adik dan kakakku selalu diperlakukan istimewa oleh orangtuaku, apalagi ayahku.
Bersyukur ada tetangga yang mau kue-kuenya aku jajakan disekolah. Dari hasil itulah aku mendapat beberapa rupiah utuk mengganjal perutku.
Tidak salah lagi, aku langganan sakit perut karna maag, dirumahpun aku kadang tidak diberikan makanan sekalipun. Jika dikasi maka itu adalah sisa makanan dari saudaraku yang kekenyangan, daripada terbuang terkadang aku sembunyi mengambilnya dengan daun pisang dan membawanya dibelakang rumah lalu memakannya sambil menitikkan air mata.
Disana aku terbiasa tertidur diatas balai bambu reot. Hanya yang terfikir olehku, kenapa aku diperlakukan seperti ini? Apa salah dan dosaku ya Allah?

Kini, Daeng Rusdi satu-satunya harapanku pun sudah tidak bersamaku.

Next?
bukhoriganAvatar border
evywahyuniAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
379
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.