Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

andi.chandraAvatar border
TS
andi.chandra
MENTAL ANTI-KRITIK DI PERFILMAN INDONESIA


Razak Syarif, salah satu pegiat Cine Crib, mengungkapkan kekesalannya setelah ia mendapatkan pesan di Instagram dari salah satu rumah produksi film. Si pengirim pesan merasa keberatan karena kritik film yang dibuat Razak pada Desember lalu dinilai merugikan rumah produksinya. Razak bahkan diancam akan dilaporkan ke polisi.

Peristiwa ini menjadi contoh bagaimana ekosistem film Indonesia belum dewasa dan berkualitas secara keseluruhan. Indonesia sebenarnya memiliki beberapa sutradara yang tumbuh dengan kritik film, baik yang datang dari kritikus dalam negeri maupun kelas internasional. Mereka di antaranya Yosep Anggi, Joko Anwar, Upi, Faozan Rizal, Riri Riza, dan tentu saja Garin Nugroho.

Kritik film tidak hanya penting untuk para pembuat film saja, melainkan juga bagi penontonnya. Namun, kritik film seringkali diasumsikan sebagai sebuah hujatan dibandingkan pesan yang membangun. Maka tak heran, jika kritikus film kurang disenangi oleh pembuat film, khususnya oleh sutradara. “Lu komen aja, bisa bikin film gak?” kalimat ini adalah jurus terakhir dari pembuat film untuk melawan para kritikus film.

Jika ingin melihat ke masa lampau, perfilman Indonesia banyak memiliki kritikus film yang bernas. Bahkan kritik film telah menjadi sebuah pekerjaan profesional di era 60-an. Nama-nama seperti Misbach Yusa Biran, Usmar Ismail, Hamildy T. Djamil, Bus Bustami, Rasyid Abdul Latief, Lingga Wisnu, dan Purwana mengisi daftar para kritikus film Indonesia kala itu.

Di negara yang budaya kritiknya mengkhawatirkan ini, argumen akan mudah mental oleh sentimen.

Film merupakan pekerjaan seni yang kompleks. Karena itu menjadi kritikus film tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Memang banyak kritikus film kita yang tidak memiliki latar belakang film itu sendiri atau pernah membuat sebuah film. Pengetahuan luas soal sinema lah yang dibutuhkan untuk profesi ini. “Kritik film dilahirkan oleh perasaan dan didewasakan oleh pengetahuan,” kata Adrian Jonatan, editor cinemapoetica.com, dalam sebuah wawancara.

Di negara yang budaya kritiknya mengkhawatirkan ini, argumen akan mudah mental oleh sentimen. Di sini pula kritik film bak anak tiri yang tidak memiliki ruang yang lapang. Hanya ada gerakan-gerakan independen yang dengan sukarela membuat situs khusus tempat berkumpulnya para kritikus film untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, baik berbentuk tulisan maupun visual.

Berbeda dengan Amerika Serikat, dan negara Barat lainnya, yang memberikan ruang gerak luas kepada kritikus-kritikus film untuk menyampaikan gagasannya. Bahkan di negeri Paman Sam, ulasan dan kritikan film sangat mempengaruhi dan menjadi acuan perkembangan industri film. Ini adalah salah satu alasan baiknya pertumbuhan ekosistem perfilman di sana.

Memang ada beberapa media di Indonesia yang membuat ulasan film. Tetapi, hanya sekedar ulasan yang berisi jumlah penonton, berita pemutaran perdana, atau gimik-gimik lain yang ujung-ujungnya adalah strategi pemasaran saja. Tujuannya? Ya, apalagi kalau bukan bisnis dan bisnis lagi.

Ingat, mental anti-kritik adalah sifat kekanak-kanakan. Saya menganalogikannya seperti ini: seseorang sedang melakukan pedekate ke lawan jenisnya. Lalu, ketika ia menyatakan perasaannya, cintanya bertepuk sebelah tangan. Dengan kesal orang tersebut berkata, “Loh, gak bisa gitu dong. Gue udah berusaha selama ini”. Di dunia perfilman Indonesia, analogi ini bisa dipakai.

Beberapa rumah produksi, produser, hingga sutradara enggan menerima kenyataan bahwa ketika karyanya dilihat oleh banyak orang, maka publik bebas menginterpretasikan dan memberi kritik terhadap karya tersebut. Ketika seseorang datang ke bioskop untuk menonton film, maka ia telah menginvestasikan uang dan tenaga. Dan para penonton tersebut tentu punya hak untuk mengomentari apa yang telah ditontonnya. Di sini kita perlu membedakan komentar dari penonton awam dan kritikus film.

Biasanya, komentar-komentar yang datang dari penonton awam hanya sebatas “film ini bagus” atau “film tadi membosankan”. Sebuah kesan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Lain hal ketika komentar itu ditulis serius dan dibuat dengan pengetahuan sinema dan keilmuan lain yang dimiliki oleh penonton itu. Ini yang, setidaknya, dilakukan oleh para kritikus film.

Hadirnya kritik film adalah bukti nyata bahwa masih ada orang yang peduli dengan industri film Indonesia.

Kritik bagi pelaku perfilman dianggap bisa merusak bisnis dan penjualan tiket film mereka. Padahal, sebuah film yang mendapatkan kritik berarti pertanda baik untuk film itu sendiri. Hadirnya kritik film adalah bukti nyata bahwa masih ada orang yang peduli dengan industri film Indonesia. Bayangkan jika tidak ada kritik, maka perfilman Indonesia berjalan dengan arogan. Sehingga, para pembuat film tidak memiliki cermin untuk mengevaluasi diri.

Pada suatu masa, perfilman Indonesia pernah sangat Hollywoodsentris. Para sineasnya, baik yang membuat film panjang atau pendek sekali pun, mencoba untuk membuat film ala Hollywood. Hal itu terjadi bukan hasil dari membaca kritik film, tapi karena mendengar komentar orang banyak.

Padahal, kultur perfilman Indonesia berbeda jauh dengan Hollywood. Tradisi dan budaya kita saja tidak habis-habisnya untuk dibahas dan divisualkan. Jika melihat ke negara tetangga, ambil contoh Cina, Thailand dan Korea, film-film mereka sedang berada di level terbaik karena para sineasnya tidak melepaskan karakter bangsa mereka dalam film yang dibuatnya. Dan tentu saja, mereka menghargai kritik film.

Panggung kritik film di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari media daring. Namun, kritik yang ditulis lebih banyak berisikan sinopsis film, nama sutradara, dan deretan pemainnya saja. Tak ubahnya sebuah laporan belaka. Baik dan buruknya sebuah kritik tentu bisa diukur dari bagaimana pemahaman si penulis terhadap materi yang dihadirkan di hadapannya. Mulai dari bahasa, teknis, hingga estetika yang disajikan dalam film.

Karya seni, dalam hal ini film, tidak bisa diperlakukan seperti itu. Ia harus disampaikan ke khalayak ramai dan dibicarakan secara luas.

Di era serba digital ini, semua komentar dan ulasan untuk sebuah film bisa saja melesat bebas di media sosial manapun. Mengulang apa yang saya tulis di atas, ada kritik yang bisa dipertanggungjawabkan, ada pula yang sekedar menyampaikan kesan usai menonton. Memang, mengutip apa yang disampaikan Adrian dalam wawancaranya itu, seseorang tidak perlu menjadi koki untuk bisa merasakan nikmatnya sebuah makanan. Namun demikian, mengkritik sebuah film bukan pula ajang untuk adu keren dan gagah-gagahan semata.

Sebagai seseorang yang berkecimpung di perfilman, saya mengandaikan proses membuat sebuah film sama halnya dengan bercinta. Ada kasih dan sayang, interaksi dengan pasangan, hingga sentuhan-sentuhan yang ujung-ujungnya akan lahir jiwa baru. Tapi, saya juga tidak memungkiri kalau ada seniman film yang membuat sebuah karya seperti sedang beronani. Bekerja sendiri, melihat dan menikmati sendiri, kemudian menyimpannya agar tidak dikomentari oleh orang lain.

Karya seni, dalam hal ini film, tidak bisa diperlakukan seperti itu. Ia harus disampaikan ke khalayak ramai dan dibicarakan secara luas. Konsekuensinya? Kritik yang datang dari siapa saja yang melihatnya. Dan seniman tersebut harus bisa menyikapinya secara dewasa. Karena karya seni tanpa kritik, ibarat makan sayur tanpa garam. Mau makan sayur yang rasanya hambar? Kalau saya, jelas tidak.


https://konel.id/tutur/mental-anti-k...man-indonesia/
0
447
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923KThread83.2KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.