Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

deandrawiraAvatar border
TS
deandrawira
AFA SAYANG BUNDA
"Bun, tolong mintain ke Allah, biar Afa gak ngerasain sakit lagi."

Kalimat Afa kemarin malam masih terngiang ditelinga. Dengan nafas tersengal, Afa masih berusaha menunjukan kekuatannya, sisa sisa kekuatan lebih tepatnya.

Tak ada kalimat yang bisa kuucapkan selain senyum dan sebuah anggukan diiringi air mata yang membasahi mukena, spontan tak bisa kutahan. Air mata yang entah jenis apa, kekuatan atau justru kepahitan.

Afa adalah putra keduaku, usianya baru genap 4 tahun, kemarin siang kami baru saja merayakannya. Afa lahir premature, usia 7 bulan lebih aku mengalami pendarahan, karena alasan itulah dokter terpaksa melakukan sc untuk menyelamatkan Afa.
Sejak dalam kandungan memang terasa sangat berbeda, tubuhku yang ringkih, dan sering sakit sakitan. Tapi itu semua bukan karena faktor kandungan kurasa, tapi lebih kepada masalah yang tengah kualami.

Bertepatan dengan usia kehamilan trimester pertama, rumah tanggaku goyah. Benarlah apa yang dikatakan pepatah, suami diuji saat kondisi punya segalanya. Sedang istri diuji saat suami tidak punya apa apa.

Kehidupan rumah tanggaku memang terbilang pesat secara ekonomi. Suami yang tadinya hanya guru honorer, sekarang sudah jadi motivator terkenal. Hanya dalam waktu 7 tahun dia sudah bisa membuktikan pada keluargaku, menjadi laki laki yang pantas dibanggakan.
Namun ternyata syetan tak pernah membiarkan manusia dalam keadaan sakinah begitu saja. Kesuksesannya melalaikan tujuan awal pernikahan, janji dihadapan bapak saat mengucapkan ikrar mitsaqan ghalidza sudah diabaikan. Hanya karena kehadiran seorang perempuan muda.
Ujian pernikahan di fase dekade pertama ini benar-benar mengguncang kehamilanku.

Aku yang tengah hamil muda itu dipertontonkan adegan mesra mereka saat selingkuh di kantor. Beriringan pula dengan notif bbm, email, dan sederet barang bukti lain yang menguatkan aku untuk minta pulang kerumah orang tua. Apalagi yang bisa kuharapkan dari suami yang tengah dimabuk asmara. Selain keperihan, aku tak ingin anakku terguncang walau mungkin dia sudah merasakan penderitaan ibunya.

Kejadian itu masih berlanjut sampai akhirnya aku melahirkan Afa. Kufikir dia akan berubah, biasanya kehadiran buah hati bisa merekatkan kembali ikatan suami istri.
Tapi, ternyata itu hanya fikiran dan khayalanku saja. Perbuatannya semakin menjadi, aku yang saat itu mengurus proses persalinan sendiri, sampai lahiran dan pulang membawa bayi itupun tanpa dia dampingi.
Oke, aku tetap sabar. Kuhanya berharap waktu akan berjalan lebih cepat seperti dalam sebuah adegan film,kemudian dia sadar lalu kembali pada kami. Tapi itu tidak juga terjadi.

Empat tahu berlalu setelah Afa lahir, fikiranku sudah tak fokus pada suami. Kehadiran Afa benar benar mengusir sakit hatiku.Sebagai ibu, aku hanya berfikir segala hal yang terbaik untuk kedua anakku. Sudah tak kuhiraukan lagi prilakunya, masa bodoh!

Hingga malam itu, kejadiannya bertepatan saat Afa ulang tahun yang ke empat. Suamiku tak datang ke acara tasyakuran kecil-kecilan yang sengaja kubuat agar keluarga ku melihat kami yang rukun kembali.
Padahal tidak sama sekali. Dia bahkan lebih memilih untuk liburan dengan perempuan itu.

"Bunda, ayah kemana? Kenapa ayah belum pulang? Afa mau kasih kue untuk ayah. " Tanya Afa saat acara pemotongan kue.

"Kuenya buat bunda aja ya?, atau untuk ka Nasywa?gimana? nanti kue ayah kita simpan dikulkas ya?." Jawabku, disusul senyum Afa yang sumringah tanda mengerti.

Alhamdulillah acara tasayakuran itu berjalan lancar, semua terlihat bahagia, begitupula Afa. Hari itu adalah hari terbahagia bagi kami. Aku melihat keriangan dan celotehnya yang membuat kami terbahak.
Tak kusangka itu adalah momen terakhir aku melihat anak ku tersenyum ceria.

Pukul 21.00 wib. Tubuh Afa demam tinggi, ku ukur mencapai 40-41derajat. Dia juga menjerit nangis kesakitan sambil memegang kepalanya. Segera kubawa Afa ke Rumah Sakit terdekat.
Sepanjang perjalanan kulafadzkan shalawat sambil memeluk tubuh anakku yang sudah mulai kejang. Panik dan takut, dua rasa yang bercampur. Saking bingungnya, aku bahkan lupa memakai sendal saat menaiki taxi.

UGD
Kulihat beberapa dokter jaga dengan sigap menangani Afa yang tak berhenti kejang, tubuhnya mulai membiru, matanya mendelik.
Aku yang sudah mulai tumbang melihat kondisi Afa rasanya ingin menjerit. Tetap kutahan lisan dengan mengucap kalimat istigfar, takbir, tahmid, dan shalawat.
Kehadiran Bapak dan Mama yang datang menyusul ke Rumah sakit malam itu membuat hatiku sedikit tenang.

1 jam kemudian

"Ibunda Afa!" teriak sang dokter.

"Ya dok, saya." Aku setengah berlari menghampiri kasur dimana Afa terbaring.

"Mari kita bicara sebentar diruangan saya." Ucap sang dokter.

"Maaf bu, harus saya sampaikan kondisi ananda saat ini, berikut penanganannya." Dokter itu mulai menjelaskan, walau dengan nada yang sedikit berat tapi beliau kulihat tetap tenang.

"Dari hasil MRI dan cek darah yang baru saja kami lakukan, Afa mengidap kanker otak stadium 3. Dan sekarang pembuluh darahnya sudah ada yang pecah. Dengan kondisi ini kami hanya berharap pada mukjizat saja." lanjut sang dokter.

Dalam sekajap hatiku hancur, namun fikiran warasku masih bertanya tentang penyebab, dan alasan kenapa sebegitu mendadak?
Dokter itu menjelaskan kembali skema kanker Afa yang memang agak spesial. Sebenarnya faktor stress berlebih yang kualami dimasa kehamilan Afa lah yang menjadi penyebab utama bagian otaknya terganggu.

Ya Allah, kesalahanku, kepedihanku janganlah Kau timpakan pada anak ku. Hanya itu yang bisa kubisikan dalam hati.

Setelah selesai berbincang dengan dokter, aku segera menghampiri Afa yang sudah berada di ICU dengan peralatan lengkap. Surat kesediaan operasi bedah otak yang akan dilakukan besok masih kugenggam ditangan.

Kulihat Afa tengah tertidur, mungkin efek obat yang dokter berikan. Setelah lelah menjerit kesakitan selama beberapa jam tadi. Kuurungkan untuk memegang tangannya.
Segera kuambil air wudhu, dan sujud selama mungkin. Menumpahkan segala rasa yang tak bisa lagi diungkapkan dengan kata kata.
Tak ada keinginan apapun saat itu selain kesembuhan Afa. Andai nyawa bisa ditukar rasanya ingin aku saja yang mengalaminya. Jangan Afa yang masih butuh keriangan bermain. Dalam kondisi seperti ini aku benar benar hilang kewarasan, jangankan keberadaan suami, rasanya kaki saja sudah tak menapak dibumi.

Pukul 02.00 dinihari, kudengar Afa terbangun memanggil, segera kutinggalkan sejadah, kemudian duduk disampingnya dengan posisi seperti menyusui.

"Afa mau apa sayang, mau minum nak?" Ucapku menghibur.

Kulihat dia menggeleng lemah, kemudian lirih terdengar suaranya ditelinga.

"Ayah mana bunda?." Ucapnya lagi dan lagi bertanya soal ayahnya.

Aku yang seolah baru tersadarkan. Lelaki yang bergelar ayah, yang harusnya ada disisi kami. Justru tak juga kulihat batang hidungnya.

"Nanti bunda telfon ayah, sekarang Afa tidur ya nak, besok kita main lagi. "Ucapku sambil mengecup kepalanya, perih sekali.

Tak lama kemudian matanya kembali terpejam. Sepetinya obat itu memberi efek kantuk yang amat sangat.
Kutinggalkan Afa perlahan, kembali berdiri diatas sejadah yang masih terhampar di pojok ruangan ICU ini. Rasanya aku memang sedang tak butuh siapa-siapa saat ini, hanya Engkau ya Rabb.
Sungguh hanya Engkau yang mampu merubah semua keadaan.
Bahagia seketika menjadi suasana mencekam. Tolong kembalikan keadaan kami, keadaan Afa.
Segala macam doa, nadzar, rayuan, pujian, kupanjatkan hanya untuk meminta kesembuhan Afa.

Pukul 04.15 WIB.
Afa kembali kejang, matanya mendelik, mulutnya menjerit kesakitan. Segera kuhampiri, memeluknya sedemikian rupa.
Dokter dan dua perawatpun datang memberi pertolongan.
Beberapa menit kemudian tubuh Afa melemah, matanya mulai turun, ada kalimat yang Afa bisikan ditelinga.

"Bunda, tolong mintain ke Allah, biar kepala Afa gak sakit lagi"

Mendengar permintaannya, dan kondisi tubuhnya yang sudah tak kuat melawan sakitnya.

Perlahan kupanjatkan doa dalam hati,
"Duhai Allah, jika kau ingin Afa kembali kesisiMu, ambilah aku ikhlas ya Rabb, asal Kau cabut rasa sakitnya".

Tepat saat adzan subuh setelah aku mengucapkan ikrar itu dalam hati, kulihat Afa tersenyum. Dia mengusap air mataku yang membanjiri wajahnya. Dengan tenang dia mengucap kalimat terakhirnya.

"Afa sayang bunda." Diiringi suara mesin pertanda nafas Afa sudah berhenti.

"Bunda juga sayang Afa, nak. Pulanglah dengan tenang, bunda ikhlas."

Kupeluk tubuhnya yang masih hangat, menguatkan diri dengan ayat ayatNya.

Yaa ayyatuha nafsul Muthmainnah.
Irji'i ilaa robbiki rodhiyatan mardhiyah.
Fadhkhulii fii ibadii.
Wad khulii jannati.

TPU karawaci
06.00 WIB
16 Agustus 2015AFA SAYANG BUNDA
Diubah oleh deandrawira 08-09-2020 23:42
Richy211Avatar border
indrag057Avatar border
fey0188Avatar border
fey0188 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
265
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.