Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

MnsukraAvatar border
TS
Mnsukra
Telaga Kelam


Ilustrasi Gambar : id.wikipedia.org


Kesunyiaan tak pernah berkutik untuk membungkam keramaian di tengah pasar jual beli. Berbagai promosi jualan hingga menarik pelanggan dari arah mana saja. Tiada berhenti kenaikan harga sembako yang terus melonjak hingga ke harga yang paling menguras isi kantong para ibu rumah tangga. Teriak-teriakan pedagang membuat telingaku gusar mendengarnya. Apa yang kucari belum terlihat disekitaranku. Jalanan pasar menyentuh sandal jepitku, membuatku menjaga kestabilan dalam menopang tubuhku, supaya tidak jatuh tergelincir.

“Timun-timun”
“Murah-murah”
“Ikan Tenggiri, Ikan Krisi, Ikan Tuna”
“Cabe kecil, cabe besar, semua murah-murah. Lima ribu saja ayo diburu”

Lantang suara mereka, para pedagang yang sedari subuh hingga pagi jam delapan ini masih melayani para pembeli. Kebetulan uang seratus ribu hanya bersembunyi dikantong celana jeansku, uang yang kuterima dari Ibu. Digunakan untuk mendatangkan telur, cabe, ikan, dan beras agar tersedia di dapur rumah. Bahan makanan untuk dimasak masakan kesukaan kami sekeluarga, kecuali Ibu. Mengingat ibu yang terbaring lemas karena stroke yang dialaminya minggu lalu.

Ibu, Aku, dan Adikku perempuan, tinggal dalam satu rumah kecil berdekatan dengan pinggiran telaga. Sedang Ayahku, sudah lama meninggal. Tenggelam di tengah telaga, hilang dalam satu minggu. Desas-desus penghuni gaib jadi tersangka menurut cerita warga. Aku tak percaya. Selama aku tinggal dan menetap di rumah pinggir telaga belum ada mahkluk gaib apapun yang ku temui. Tapi sudahlah, teringat Ayah akan membuat batinku tambah sedih lagi.

“Telur dek?” Ucap pria tinggi  didepanku. Aku terkejut dan sedikit linglung. Namun, syukurlah suara bass pria itu membuat kesadaranku kembali.

“Ooh,...Iya pak,” jawabku seketika.

“Beli berapa dek?” Lama ku balas jawabannya sambil melihat-lihat telur yang tersedia.

“Satu butirnya berapa pak?” Tanyaku padanya.

“Ooh, kalo ini seribu, yang ini seribu lima ratus.”

“Hmm...Kalo begitu yang ini aja pak, sepuluh butir,” jawabku sambil menujuk telur yang harganya seribu rupiah.

Seusai transaksi kepada penjual telur kebetulan ada cabe disebelahnya.  Tanpa pikir panjang aku membelinya, lima ons sudah cukup sepertinya. Tersisa delapan puluh lima ribu dikantong. Meninggalkan tempat itu aku beranjak menuju tempat penjual ikan. Kira-kira nama ikan tamban jadi favorit masakan kami sekeluarga. Beli sebanyak dua kilogram lalu yang tersisa hanya beras yang belum terbeli.

Hatiku gusar, ini apakah masih cukup uangnya atau tidak. Tanpa pikir panjang berusaha meyakinkan diri sendiri, aku bergegas menuju toko yang menjual beras. Desak-desakan menunggu antrian dari para pembeli membuatku sedikit tidak nyaman. Lama dilayani.

“Apa dek?” Seorang anak muda yang kebetulan sama tingginya denganku menanyakan hal itu.

“Satu kilo beras berapa ya?”

Dengan banyak pilihan dihadapanku, aku memilih beras yang agak murah. Membeli beras yang lima kilogram.

“Yang itu aja bang.” Tanpa menanyakan apapun pria muda itu langsung menyiapkan karung kosong dan mengisi hingga sesuai dengan angka lima kilogram. “Berapa jadinya?” Pria itu menyelesaikan dan mengikatkan talli ke karung yang telah disiapkannya untuk diberikan kepadaku. Menyodorkan semua uang yang tersisa kepadanya. “Coba hitung dulu. Apakah sudah pas?” Ternyata ketakutanku menjadi kenyataan, uang yang kuberikan padanya kurang.

“Kurang dek uang nya?”

“Ooh, kalo gitu saya beli empat kilo aja bang?” Dengan perasaan yang malu aku berusaha menenangkan diriku.

“Cukup kalo itu.” Kemudian pria itu membuka ikatan karung, lalu mengurangi jumlah timbangan yang ada sehingga sesuai. Menyerahkan beras kepadaku, tak kusangka masih ada kembaliannya seribu rupiah. Beruntung situasi seperti ini bisa kuatasi.

***


Semua belanjaan pagi ini lumayan berat berada di tanganku. Membawanya menuju kerumah sambil menahan beban yang ujung-ujungnya akan menyelam ke usus kami. Ibu dan Adikku menunggu dirumah. Kehangatan matahari pagi ini kan terbagi di keluarga yang tinggal di telaga . Berjalan kaki, kadang berlari kecil-kecil, mencoba mempercepat langkah kaki agar sesegera mungkin kembali. 

“Kriiik-kriiik,” suara bunyi perutku yang membayangkan ikan tamban pedas ada di depan meja. Balutan rempah-rempah dengan kuah tumis pasti akan menjadi energi penyemangat. Semangat yang membimbingku untuk tetap tegar menjadi pengganti Ayah. Pun Ibuku yang terbaring kaku di tempat tidurnya. “Cepatlah sembuh Ibuku, jangan dulu tinggalkan aku dan adikku sendirian tanpa kasih sayang ibu,” batinku berucap.

Sesekali aku meneteskan sedikit airmata kecil, jujur mataku tak sanggup menahan tangis hatiku yang tersayat pisau masalah. Aku juga iri melihat mereka dengan keluarga yang masih utuh, berjalan bebas, liburan di hari minggu, dan kasih sayang orang tua mereka. Teman-temanku disekolah sangat menyayangkan keputusanku, putus sekolah adalah yang terbaik bagiku. Mengingat Ibu dalam kesendiran di hari kerja dengan sakit yang kian parah.
“Assalamualaikum...,” berdiri didepan pintu rumah, lalu kemudian masuk.

“Waalaikumsalam...,” adikku masih terjaga dengan PR matematikanya. Ia duduk diruang tengah, sibuk belajar daripada bermain keluar rumah. Banyak perubahan yang terjadi pada Adikku itu. Semenjak Ayah meninggal, ia jadi lebih jarang untuk sekedar keluar rumah, kecuali hal-hal yang mendesak dan penting. Menempati kelas delapan di SMP 3 jarak dua kilometer, ia berkelana menuju sekolah dan teman-teman akrabnya. Aku salut sekali padanya, membaca buku, menulis cerita dan terlebih dia tak pernah meminta uang jajan kepadaku. Entah darimana ia mendapatkan uang, aku tak tahu.

“Dek, Ibu udah minum obat belum?”

“Udah bang, barusan.”

“Oooh...,” sambil meletakkan barang-barang belanjaan di dapur, kemudian beranjak menuju ke kamar Ibu. Kubuka tabir, melangkah tiga langkah dan kemudian duduk dihadapan Ibu. Kutatap matanya dan kupegang tangan yang bekerut. Kasar dan garis-garis pecah yang kurasa.

“Ibu...tadi abang sudah pergi ke pasar membeli segala bahan masakan yang kita butuhkan. Stok yang abang beli cukup kok bu buat kita beberapa hari. Pokoknya Ibu jangan khawatir, jangan terlalu mencemaskan Aku dan Adik. Ibu jangan pikir apapun selain kesahatan Ibu. Istirahat dan selalu minum obat. Doa untuk kesehatan Ibu selalu kami panjatkan.” Ibu hanya bisa menggangguk dan menggerakkan matanya. Ia tak mampu lagi untuk bicara secara normal. Hanya kata-kata sedikit yang bisa kumengerti terucap dari mulut ranumnya, kering kelihatannya, tapi ialah Ibuku yang menggunakan bibirnya untuk mencium pipiku pertama kali.

Kudekatkan wajahku ketangannya, lalu meciumnya. Kemudian aku berkata padanya “Ibu aku pamit dulu, Ibu istirahat saja disini ya...nanti aku bawakan bubur untuk ibu.” Perkataanku membuat mata Ibuku berkaca-kaca. Aku tak begitu kuat menatapnya, ia yang begitu kaku tak berdaya. Aku mematung seketika dengan hati yang luka, menguatkan diri dan terus meyakinkan Ibu bahwa semua bisa ku atasi. 
Aku pun keluar dari kamar Ibu. Membiarkan Ibu berbaring nyaman dikasur empuknya. Pergi ke dapur dan mempersiapkan makanan lezat yang akan kubuatkan nanti setelah Ibu selesai makan. Tamban tumis pedas menu makan aku dan Adik. Seolah kami butuh sesuatu yang membakar lidah agar mengirimkan pesan semangat api membara pada otak kami berdua. Supaya menjadi anak yang cerdas dan bermoral.

Ibu hanya bisa melumatkan bubur sebagai nutrisinya, bubur beras putih yang sudah dihangatkan oleh Adik sesaat sebelum aku datang. Kuraih mangkok untuk menangkap bubur dengan penyedok nasi dekat dengan panci. Mengambil sendok lalu menghampiri Ibu untuk menyuapinya makan. “Ibu...kita makan dulu ya. Ibu makannya yang banyak biar cepat sembuh. Kalo Ibu bosan atau apapun...Abang akan selalu menemani Ibu.” Kusuapi ibuku dengan satu sendok makan bubur putih. “Aaaam...,” intruksi untuk ibu agar bisa membuka mulutnya, terlihat ia begitu semangat untuk mengunyah setiap sendok bubur yang berada tepat di depan mulutnya. Senyum di wajah dan hatinya tergambar jelas dengan suasana kedamaian. Pintu jendela sedikit terbuka membiarkan sinar matahari menyilaukan setengah dari wajahku.

Isi bubur dari mangkok yang kupegang tinggal bebara sendok lagi. Ibu pun sudah begitu sangat kenyang. Bukan ibuku yang tak menghabiskan makanannya. Sebagai saksi anak tertua dari keluarga ini, Ibu tak pernah meninggalkan satu butir nasi pun ada dipiring makananya, apabila saat ia sedang makan. Piringnya bersih, mengkilap dengan sedikit noda makanan ketika itu. Ibu selalu mengajari dan mencontohkan untuk tak membuang-buang makanan sekecil apapun itu. Dan lihat Ibu berhasil menghabiskan satu sendok bubur terakhirnya.

Kunyahan demi kunyahan, berusaha ibu habiskan dan tertelan. Kutolehkan mukaku ke jendela, luas telaga didepan mukaku. Terasa angin memasuki kamar ibuku. Tanpa kusadari waktu sudah sejauh ini dengan kekecewaan yang kian mencekik hati. Ibu terdiam dan terus berdiam. Tanpa ada lagi kunyahan dimulutnya. Air putih yang coba ku berikan kepada Ibuku membuat kucemas. Kupegang kepalanya dan berusaha untuk membuka mulutnya, tapi tiada respon apapun selain denyut nadi yang berhenti. Ibuku meninggal dan benar-benar meninggal. Tak ada satu helai suarapun dari mulutku. Ibu yang terkulai kaku menjadikanku lebih kaku darinya. Air mataku seolah tertahan dan perlahan-lahan keluar tanpa salam.
Ayah dan ibuku telah meninggal, disaksikan oleh telaga ini. Telaga yang merenggut kebahagian keluarga. Menyisakan luka yang kelam dan kian mendalam. Saksi kematian dari dua orang berarti dalam hidupku.   


Terimakasih telah membaca cerita ini semoga kalian terhibur. Jangan lupa untuk rate+cendol+komen. See You!


bukhoriganAvatar border
patma62Avatar border
pepenionAvatar border
pepenion dan 2 lainnya memberi reputasi
3
456
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.