Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

andi.chandraAvatar border
TS
andi.chandra
CATATAN SEORANG RELAWAN


7 April 2020 siang. Telepon genggam saya berdering. Peneleponnya Yunaldi, Kepala Markas Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Padang. Ia meminta saya dan beberapa relawan lain untuk datang ke Jalan Permindo di kawasan Pasar Raya Kota Padang yang padat. Di sana, kata Yunaldi, ada seseorang yang tergeletak di trotoar dan butuh bantuan.

Saya ragu untuk bergerak ke lokasi, begitu juga dengan teman-teman relawan lainnya. Sebab, di masa-masa awal wabah pandemi yang mengkhawatirkan ini kami tidak memiliki Alat Pelindung Diri (APD) yang lengkap. Lima menit kemudian, Da Kamar –panggilan kami untuk Yunaldi—menelepon lagi. Kali ini nadanya lebih menekan. Kepala Markas ini meminta saya segera datang ke lokasi, tanpa alasan. Telepon saya tutup. Saya kian ragu. Saya dan teman-teman relawan yang sedang berada di markas PMI, saling berpandangan. Telepon berdering lagi kemudian. Saya berangkat!

Mantel plastik seharga lima ribu rupiah, helm proyek, masker babi (biasanya relawan menyebutnya begini), sepatu bot, dan sarung tangan karet yang memang tidak diperuntukkan untuk medis, adalah APD yang saya dan kawan-kawan lain kenakan. Dibekali botol semprot yang berisi disinfektan buatan sendiri; campuran air dan Bayclin, ditambah alkohol 70 persen. Apa boleh buat, APD standar penanganan Covid yang seharusnya dikenakan belum kami [PMI Kota Padang] miliki saat itu. Wabah datang dan menjalar lebih cepat dari yang diperkirakan akal sehat.




Tiba di Permindo, orang-orang sudah ramai. Saya dan lima relawan lainnya merangsek ke tengah kerumunan, mendekat ke sosok yang tergeletak itu. Sosok itu perempuan berusia paruh baya. Afis, teman saya, menggoyang-goyang pelan tubuh perempuan itu. Ia merespon, badannya bergerak, namun matanya tertutup. Lalu, ia diam lagi. Tak lama, perempuan itu kembali menggerakkan tubuhnya. Seketika, orang-orang yang berkumpul melingkari perempuan itu menghindar, buncah macam lebah yang diganggu sarangnya. Saya menahan tawa, sementara teman saya sibuk menyemprotkan disinfektan memutari posisi perempuan itu. Beberapa “penonton” yang tadi menghindar, kembali menyesak dan sibuk merekam. Mungkin mereka “Vlogger Covid”, saya mana tahu.

Satu jam kemudian, petugas Puskesmas terdekat yang telah diberi tahu datang, lengkap dengan APD standar penanganan Covid-19; berbaju hazmat, sarung tangan lateks untuk medis, kacamata pengaman, dan masker medis. Namun, kedatangan yang lamban adalah urusan lain. Dan janggalnya, perempuan itu baru diangkat ke atas ambulans satu jam setelah kedatangan petugas Puskesmas. Setibanya di lokasi, petugas Puskesmas sibuk bertanya ini-itu kepada kami, seolah-olah gagap untuk langsung memeriksa perempuan paruh baya itu. Dan ini berlangsung selama satu jam. Artinya, dua jam sudah perempuan itu tergeletak tanpa penanganan medis dari Puskesmas terdekat yang jaraknya tak sampai satu kilometer.

Sudah, lupakan, itu tak penting lagi. “Lebah-lebah” yang tadi buncah, kini kembali berkerumun dan mulai hiruk-pikuk lagi. “Ondeh, covid! Covid! Pasti kena covid!”

Tidak sampai sepuluh menit, perempuan itu segera dibaringkan di ruang UGD RSUP Dr. M. Djamil Padang yang berjarak dua kilometer dari Permindo. Diagnosa dokter menyatakan bahwa ia mengalami sakit maag akut. Kronologinya, saat perempuan paruh baya tersebut berada dalam angkot jurusan Pasar Raya–Lubuk Buaya, maag-nya kambuh, dan dia tampak kesakitan. Melihat gelagat aneh itu, apalagi pada masa wabah ini, sopir angkot menyuruhnya turun. Di Permindo ia diturunkan. Kemudian, ia duduk beberapa saat di trotoar, lalu jatuh pingsan.

Beberapa hari setelah kejadian di Permindo, sebuah video beredar. Seorang teman mengirimkan saya rekaman yang viral itu lewat WhatsApp. Di dalam video tersebut, seorang ibu dari dalam mobil pribadi berteriak “Astagfirullah! Covid, gaes” sambil merekam ke arah pasien maag akut yang kami tangani itu.




Turun ke lapangan tanpa protokol kesehatan yang memadai bagi relawan adalah hal yang jauh mengkhawatirkan. Walau itu di bulan pertama saja. Saya dan Bamisril, salah satu relawan, berinisiatif mencari referensi tentang apa-apa saja yang mesti dilakukan pada masa pandemi seperti ini. Kami mengulik internet, juga bertanya ke dokter dan perawat yang kami kenal. Kemudian, sebuah aturan kerja kami buat.

Sepulang bekerja di lapangan, semua relawan wajib mengantri di depan markas untuk disemprot disinfektan. Pakaian dan peralatan dikumpulkan untuk dicuci. Lalu, satu per satu wajib mandi. Setelahnya, baru boleh beristirahat. Aturan ini juga kami bawa ke rumah masing-masing. Tentu kami tak ingin istri dan keluarga khawatir. Di rumah, saya meminta istri saya menaruh ember kosong di teras. Pakaian yang saya kenakan, dan apa pun yang saya bawa dari luar, dimasukkan ke dalam ember itu untuk segera dicuci. Kemudian saya mandi, lagi. Begitu yang saya lakukan setiap hari sejak wabah ini. Repot sedikit tak apalah, yang penting keluarga di rumah tetap aman.

Usai pengalaman di Permindo itu, saya kemudian menjadi bagian dari Tim Reaksi Cepat Gugus Tugas Covid-19 Kota Padang. Tugas tim ini tak banyak. Salah satunya adalah melakukan penyemprotan. Saya ingat ketika pertama kali melakukan penyemprotan disinfektan di Pasar Raya Padang, kami dicemooh. “Kenapa menyemprot-nyemprot? Kan belum seratus orang yang kena,” seorang bapak protes. Dua hari setelah itu, angka kasus positif Covid-19 di Kota Padang menanjak hingga lebih 100 orang. Dan Pasar Raya menjadi salah satu lokasi yang rentan penyebaran Covid-19.

Di tempat yang berbeda, masih di Pasar Raya, orang-orang begitu emosional menerima kami. Ada yang menyepak kursi, ada yang membanting pintu kedai begitu mengetahui kami akan menyemprot tempat mereka berdagang. Ada juga yang dengan sukarela memberi kami nasi bungkus. Dapat nasi bungkus dari warga amat senang rasanya.

Adakalanya pula kami dicemooh dengan lebih serius, mengatakan bahwa kami bekerja hanya karena dibayar. Tak cuma ke telinga kami, ujaran ini juga disebar sampai ke media sosial dan membuat teman-teman saya sesama relawan menjadi runtuh mentalnya, kendur semangatnya. Tapi, di Padang ini, kata teman saya, sikap skeptis dan suka mencemooh telah menjadi bagian dari sifat kultural masyarakatnya. Orang Padang kadang suka protes pada apa pun, di situasi bagaimanapun. Begitu yang saya tahu. Dan saya acuh saja.

Dua bulan pasca bekerja di lapangan, saya dan beberapa relawan lainnya mengikuti pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) atau lazim disebut tes swab. Perasaan saya tak keruan, takut dan penasaran. Rupanya saya tak sendirian. Teman-teman saya pun demikian. Ketakutan itu berlanjut.

Bagaimana jika saya dinyatakan positif terpapar Covid-19 setelah hasil tes keluar? Jika iya, apa respon istri dan keluarga saya? Bagaimana nanti pandangan para tetangga terhadap saya dan keluarga saya? Mengingat berbagai video reaksi penolakan warga terhadap orang yang terpapar virus ini yang banyak beredar di media sosial. Dan ada banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang mengikuti. Beruntung, kami semua aman, tidak terpapar virus yang telah menulari lebih dari 125 ribu penduduk Indonesia.






Orang-orang mulai adu pendapat soal virus ini hanya hoaks yang dibuat-buat untuk mengacaukan tatanan masyarakat saja. Itu yang saya dengar sejak ditemukannya kasus positif Covid-19 pertama. Padahal, wabah ini sungguh-sungguh bikin saya takut. Terlebih ketika saya ditugaskan mengantarkan jenazah pasien Covid-19 ke pekuburan, yang rata-rata dikubur pada malam hari.

Di rumah sakit, pasien yang meninggal karena terpapar Covid-19 akan segera dikafani, lalu disemprot disinfektan. Setelah itu, dibungkus plastik dan kembali disemprot disinfektan. Jenazah yang telah dibungkus plastik lalu dimasukkan ke dalam peti khusus; kedap air, tanpa celah udara. Untuk ketiga kalinya, disinfektan disemprotkan ke peti jenazah itu. Lantas,peti dibungkus plastik, dan disemprot disinfektan, lagi.

Kata dokter Andani Eka Putra, Kepala Laboratorium Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Universitas Andalas, proses yang berlapis itu semata-mata dilakukan untuk meminimalisir penyebaran virus yang telah membunuh 700 ribu penduduk bumi. Ini sebabnya keluarga dari pasien yang meninggal tidak diizinkan untuk mendekat ke jenazah, termasuk di lokasi pemakaman.

Satu kali, seorang perempuan hadir di pemakaman bapaknya. Perempuan itu berdiri sekitar dua puluh lima meter dari tempat kami bekerja. Begitu kami keluar dari mobil ambulans, lewat panggilan video WhatsApp, perempuan muda yang tengah hamil itu menghubungi keluarganya di rumah. Kemudian, ia mengarahkan kamera ponselnya untuk memperlihatkan prosesi pemakaman yang sedang kami lakukan: mengeluarkan peti berisi jenazah dari ambulans, menurunkannya dengan tali ke liang kubur yang telah disemprot disinfektan.

Sesekali ia sesenggukan, terisak sambil memanggil-manggil ayahnya. “Ayah, itu Ayah, dek. Itu Ayah,” kata perempuan itu pada adiknya.

Ini adalah pemakaman virtual pertama yang saya lihat. Pemakaman seorang ayah yang disiarkan oleh anak perempuannya, ditonton oleh anaknya yang lain dan para kerabatnya dari rumah. Tanpa peluk cium penghabisan, tanpa tabur bunga. Barangkali, hanya doa yang bisa dilafalkan. Pemakaman ini membuat saya sedih. Jenazah terakhir korban Covid-19 yang turut saya antarkan ke pemakaman adalah seorang bayi berusia tujuh bulan, tanpa diantar oleh orang tuanya. Kedua orang tua bayi tersebut juga terpapar wabah Covid-19.




Dalam penanganan Covid-19 di Kota Padang, tidak hanya relawan PMI saja yang bekerja, tentunya. Dan, pekerjaan ini menelan banyak korban. Mulai dari terinfeksi wabah, hingga dijangkiti ketakutan yang berlebihan, mungkin paranoid. Teman saya, Okta Delvi, bahkan tidak pulang ke rumah selama tiga bulan. Padahal, rumahnya hanya berjarak enam kilometer dari markas kami. Benar-benar kepulangan yang lamban; butuh tiga bulan untuk jarak enam kilometer. Tapi, semua itu dilakukan untuk menyelamatkan nyawa orang lain yang tidak harus saya tuliskan dalam catatan ini. Seperti kata Henry Dunant, Bapak Palang Merah Internasional, siamo tutti fratelli, semua kita bersaudara. Ya, kita semua bersaudara dalam kemanusiaan.

Sampai tulisan ini selesai, saya dan teman-teman masih bekerja sebagai relawan.


https://konel.id/tutur/catatan-seorang-relawan/
ambarjulaehaAvatar border
ambarjulaeha memberi reputasi
-1
298
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Citizen Journalism
Citizen JournalismKASKUS Official
12.6KThread3.9KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.