Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

andi.chandraAvatar border
TS
andi.chandra
CINTA YANG TERLARANG


Melihat Rhoma Irama dan Kaka Slank berada dalam satu panggung itu ibarat melihat baik dan buruk. Rhoma, nyaris kepala enam waktu itu, sudah merasakan dan melewati masa muda yang bergairah dan berapi-api. Kini dia lebih kalem. Mendalami agama. Kerap dirujuk untuk urusan moral. Pak Haji panggilannya. Sedangkan Kaka, terpaut jarak umur lebih tiga dekade dengan Rhoma, masih panas dan liar. Khas penyanyi rock n roll.

Penampilan mereka apik kala itu. Selain karena kolaborasi yang langka, Kaka dan Rhoma juga kerap ngobrol macam anak dan bapak di jeda antar lagu. Salah satu yang paling menarik terjadi waktu mereka mau memainkan lagu “Haram”, satu dari sekian lagu paling ikonik dalam sejarah dangdut Indonesia. Kaka, yang memang dikenal usil, mulai menggoda Rhoma.

“Pak Haji. Boleh tanya, gak?”
“Ya, silakan saja,” suara Rhoma berat, berwibawa.

“Kenapa sih yang haram-haram itu selalu enak?” Kaka merujuk pada lirik lagu itu, kenapa semua yang enak-enak itu yang dilarang/itulah perangkap setan. Sang Raja Dangdut mungkin tak menyangka dapat pertanyaan senakal itu. Walhasil, dia cuma bisa cengengesan. Apalagi setelah Kaka kembali menggodanya.

“Dulu Pak Haji mudanya nakal, gak?” Lagi-lagi, Rhoma mati kutu dan cuma bisa terkekeh.

Percakapan yang terjadi sekitar 13 tahun silam itu mendadak menyeruak di rongga ingatan. Di hadapan saya ada sepiring kecil makanan. Memang apa yang ada di hadapan saya bukanlah sesuatu yang haram, per se. Halal. Namun, terlarang bagi mereka yang punya tingkat kolesterol tinggi.

Menengok silsilah keluarga besar yang hobi menantang bahaya soal makanan, terutama dari garis ayah, saya patut khawatir. Saya mulai menelan ludah. Wangi makanan di depan muka ini mulai menyeruak ke lubang hidung.

Dari warnanya, juga genangan minyak yang mengambang genit, makanan ini pasti tak mengecewakan. Namun lagi-lagi, merujuk pada Pak Haji, yang enak ini kalau ndak haram, ya berbahaya bagi kesehatan. Malaikat di bahu kiri dengan tengil seperti bilang: sikat saja sudah, toh gak setiap hari kok.

Akhirnya saya manut. Malaikat tak pernah salah. Saya tuangkan kuah ke atas nasi yang didampingi tumpukan daun singkong rebus dan sambal hijau. Saya mencuci tangan. Lalu mengucap bismillah, seraya memanjatkan doa tambahan; semoga angka kolesterol saya ndak melonjak-lonjak amat.


Namun lagi-lagi, merujuk pada Pak Haji, yang enak ini kalau ndak haram, ya berbahaya bagi kesehatan.

Semua bermula dari artikel soal gulai gajebo di situs Kompas. Ternyata penulisnya adalah Sastri, kawan yang saya kenal sejak ikut lomba menulis di Detik tapi belum pernah ketemu hingga sekarang. Artikel itu dibagikan oleh seorang kawan lain sembari menyebut nama saya.

Gulai gajebo termasuk makanan Padang yang nasibnya kalah populer ketimbang rendang atau dendeng. Gajebo, dari penuturan sifu Bondan Winarno, adalah istilah Minang untuk menyebut sandung lamur, bagian paling empuk dari sapi, terletak di antara punuk hingga dekat ketiak.

Di ibu kota, salah satu penyaji gulai gajebo yang paling handal adalah Rumah Makan (RM) Sepakat yang berada di lantai dua sebuah ruko di seberang Blok M Square, Jakarta Selatan. Rumah makan ini tak besar. Kalau sedang jam makan siang mungkin hanya bisa menampung sekitar 30 orang. Namun, bisa dibilang ini adalah rumah makan Minang generasi pertama di Jakarta, sudah buka sejak 1969.

Dari awalnya janjian hanya empat orang, anggota sekte membengkak jadi 9 orang. Kami tak mau coba-coba. Membelah kemacetan Jakarta demi makanan, sudah pasti kami ingin yang terbaik. Semua dari kami memesan gulai gajebo serta beberapa lauk tambahan. Saya menambah seporsi gulai otak.

Gulai gajebo datang dalam porsi piring kecil. Kuah asam padehnya merah tua. Potongannya mungkin cuma selebar jejeran tiga jari. Kalau boleh dibagi secara persentase, tiga perempatnya bagian ginuk-ginuk dan sisanya daging yang sebenarnya adalah peran figuran.


Memang lemaknya tak meleleh, tapi empuk. Jancuk! dalam mulut daging kenyal itu seperti menari.

Menjelang makan, obrolan antara Kaka dan Rhoma mendadak datang lagi. Tadi pagi saya sudah makan delapan butir telur puyuh, satu tusuk sate usus, dan satu tusuk rempela ayam ditemani seporsi bubur ayam. Sekarang mau ditambah bagian sapi yang paling berlemak? Bayangan badan yang berat dan bahu yang kesemutan membayangi.

“Yaelah, kamu gak rock n roll, cuk. Sikat saja, gak setiap hari kok!”

Malaikat di sebelah kiri terdengar mengejek. Saya kalah. Saya menuang kuah merah meriah itu. Mencucup sedikit. Asam, segar. Tak berat karena menihilkan santan. Kata Sastri, kuahnya pakai air kelapa, mengingatkan saya pada dendeng batokok di RM Rinai Pambasuah Luko, Pasar Rumput, yang dagingnya direbus dulu dengan air kelapa. Asam kuah gajebo ini, menurut Bondan, datang dari asam kandis. Saya gigit dagingnya.

“Ya tuhan”

Memang lemaknya tak meleleh, tapi empuk. Jancuk! dalam mulut daging kenyal itu seperti menari. Benar kata Kaka, yang dilarang itu biasanya enak. Ini buktinya. Bagian lemak ini jauh lebih dahsyat ketimbang daging sapi bagian manapun. Bahkan kalau mau ditandingkan dengan daging sapi Kobe sekalipun. Kuahnya adalah kebahagiaan tersendiri. Apalagi kalau disiramkan ke nasi panas yang kemudian disikat bersama sambal hijau.

“Kalau ini aku pasti nambah,” kata seorang kawan yang ngomong dengan mulut penuh nasi. Kemudian, semua kawan yang ikut diperjamuan makan siang penuh dosa ini menambah porsi nasi. Saya tak tega mengirimkan gambar makanan ini, apalagi deskripsinya, ke istri saya, Rani, yang sedang berada di Amerika Serikat. Bisa-bisa dia minta ditalak kalau saya lancang mengirimkan foto gulai gajebo di masa seperti ini.

Sama seperti reaksi Rhoma ketika digoda Kaka, saya juga cuma bisa cengengesan setelah mengganyang satu porsi nasi beserta gulai otak dan gajebo dalam lima menit. Semua lemak itu saya banjur dengan jus timun, usaha –yang entah sia-sia atau tidak– untuk mengurangi kadar kolesterol dalam darah.

Saya tak bisa melakukan apa-apa lagi, selain cuma cengar-cengir. Sebab, saya sadar ini adalah bentuk cinta terlarang. Namanya juga cinta, apa pun dilakukan asal bisa ketemu. Sudah tahu risikonya tinggi, tetap saja ditanggung. Macam kami makan gulai gajebo ini lah.

Benar saja, beberapa menit setelah pulang, badan mulai linu. Bahu mulai macam kesemutan, pertanda kolesterol tinggi mulai menyerang. Beberapa menit sebelum artikel ini selesai ditulis, seorang kawan kirim pesan pendek. “Bajingan laskar kolesterol! Cuk mumet iki ndasku.”

Saya ketawa kecut. Cinta memang terkadang menyakitkan. Apalagi cinta terlarang macam ini.


https://konel.id/tutur/cinta-yang-terlarang/
37sanchiAvatar border
37sanchi memberi reputasi
-1
415
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923KThread83.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.