Gelap gulita ketika mata terpejam, seakan berwarna merah, sesaat melihat cahaya senja yang mulai tertidur lelap di air yang tak berujung. Awan-awan bercengkrama kepada Mentari senja dan berkata ‘Selamat tidur anak kecil...’ Kurasa begitu yang diucapkan film Teletabis sewaktu aku masih anak-anak.

Duduk di atas batu besar, memandang bulat-bulat panorama pantai, air, matahari, dan awan. Itu semua membuatku takjub akan ciptaan Tuhan yang maha kuasa.Yang senantiasa menciptakan perbedaan dan fungsi berbeda-beda dari setiap mahkluknya. Mahkluknya yang kami kira benda mati, yang hanya melengkapi seisi bumi ini saja. Apa yang mereka katakan, kami tidak tahu.

Tapi lihatlah didepan sana, sekeliling kita, dan apa yang mereka kabarkan. Penjamkanlah mata kalian dan rasakan angin yang berembus. Kemudian rintik hujan yang menyapa tubuhmu untuk bicara. Suara gelombang hingga menjadi tsunami, lalu getaran gunung-gunung yang menghempaskan bebatuan dan abu vulkanik. Apa itu semua tidak cukup menandakan bahwa mereka benar-benar hidup, dan selalu mengirimkan surat cinta kepada kita manusia. Manusia yang selalu merusak dimuka bumi ini.

Mereka selalu menjadi penonton dari setiap kerusakan-kerusakan si anak Adam yang menggerogoti seisi bumi dengan kota-kota besar dan pusat-pusat hiburan melalui pembangunan. Pembangunan yang merusak pohon-pohon besar, yang merusak hubungan manis antar kera-kera jadi tidak bisa begelantungan diatas dahan pohon, yang memaksa ular-ular memakan hasil kebu-kebun, dan juga memaksa buaya melakukan urbanisasi massal.

Mereka juga menjadi penonton dari kelakuan manusia yang menebarkan salam, senyum, dan sapa setiap saat. Melakukan tindakan nyata dari tolong-menolong. Baliho dan iklan-iklan sosialisasi lingkungan ada dimana-mana, tapi tindakan merusak selalu dipelopori oleh mereka yang pegang kuasa lebih besar. Mulai dari tangan penjual ayam goreng membuang bekas minyak padat ke aliran sungai, hingga perusahaan tekstil yang membuang limbah pekat di aliran sungai akibatnya ikan-ikan mati. Ikan-ikanpun berkata “Kami lebih baik mati dimakan oleh Predator daripada mati terbunuh seperti ini. Tidak berdaya, pasrah, dan hanya bisa menjadi kotoran sungai yang mengambang.”
   
“Oh Tuhan ... Ampuni kami yang penuh dengan dosa-dosa, maafkanlah kami atas kelakukan kami yang tidak ada habisnya merusak ciptaanmu yang lain. Sungguh kami benar-benar tidak tahu malu, datang kesini hanya sepasang lalu sekarang berpasang-pasangan, semua yang ada disini kami tinggali. Semua yang kami pikir hanya untuk diri kami sendiri dan kami begitu egois sebagai manusia yang paling sempurna dari ciptaanmu yang lain. Ampuni kami ya Tuhan ....”

Tanpa ku sadari hari ini telah menjelma menjadi malam, tiada cahaya apapun kecuali bulan dan bintang mengucapkan “Selamat datang di kegelapan, jangan takut anak muda. Biarkan kami menjadi cahayamu, penerang sekitarmu dan hatimu. Tataplah kami yang ada dilangit ini dan biarkan sinar kami menembus ke hatimu, yang didalamnya penuh dengan kegelapan.”

Aku terbaring menyendiri di bebatuan pada malam ini lalu kemudian nyamuk-nyamuk pantai mengelitik kulit-kulit kelingku. Menghisap darah merahku.

“Jangan takut anak muda, biarpun kami ini nyamuk yang menyebarkan banyak penyakit, tapi kami tahu darah-darah kotor mana yang perlu kami hisap.”

Tanpa sadar menikmati perubahan waktu, menikmati indahnya pergantian pemain alam, melihat beberapa interaksi beberapa penghuni yang selalu menyapa. Mataku terpejam lalu terbuka sesaat, kemudian terpejam lagi dan kantukpun tiba akibat terpaan angin, lalu aku tidur. Benar-benar pulas. Sungguh alam adalah tempat terindah dan tempat tidur yang paling nyaman yang pernah kucoba “Terima kasih Tuhan telah menjagaku.”