hikayat0120Avatar border
TS
hikayat0120
MASIHKAH KAU BERSAMAKU (PART 5)



______


MASIHKAH KAU BERSAMAKU (Part 5)


Dari kejauhan aku hanya berharap, kekalahanku pada waktu yang terbuang, bisa memenangkan perdamaian.

Papa ... Aku sangat mencintai Mas teguh. Tapi, aku juga gak mau kehilangan Papa. Mengapa tidak melihat aku? Mengapa tidak mengerti dengan mengalahku atas keputusan, Papa? Mengapa, Pa?

Perawat masih mengambil tindakan terapi oksigen pada Papa. Jantung tua itu memang telah bermasalah setelah lima tahun terakhir ini. Itu semua sebab aku, anaknya yang bodoh.

Kondisi sudah lebih stabil. Papa juga sudah bisa bernapas lagi dengan teratur.

"Jangan membicarakan hal yang pelik dulu, ya mb. Pasien sepertinya belum cukup kuat." Perawat meminta kami menemui dokter yang menangani Papa.

Ruangan dokter tak jauh dari tempat Papa dirawat.

"Di usia seperti ini dengan banyaknya tekanan hidup memang bisa memicu penyakit KARDIOMEGALI. Mungkin cara satu-satunya mb harus mempertahankan suasana tetap tenang di rumah. Pola makan higienis juga istirahat dan olah raga teratur," ujar Dokter.

"Solusi yang lain, Dok? Karena Papa lumayan susah dibilangin orangnya."

"saya paham. Di usia seperti itu memang anak mudalah yang harus lebih sabar menghadapi. Ya ... bisa saja kita lakukan operasi. BY PASS atau TRANSPLATASI. Tapi, coba pikirkan kembali ... Pak Utoyo sendiri sudah berusia delapan puluh tujuh tahun juga penderita HIPERTENSI. Menurut saya ada baiknya dengan pengobatan tradisional saja. Karena indikasi alergi pada darahnya cukup tinggi."

Ya ... Pendapat Dokter ini memang ada benarnya. Sebenarnya aku sedikit kewalahan menghadapi Papa. Tapi, beliau orang tuaku. Tidak ada pilihan lain selain membalas segala jasanya dengan mengurus Papa di masa tua.

Aku dan Mas Teguh membuat kesepakatan agar Sierra di urus di rumahnya, selagi aku sibuk mengurus Papa. Ini demi kebaikan, agar tak lagi ada singgungan di antara mereka. Biarlah aku mengalah, yang akan datang menyambangi Sierra sesekali ke sana.

***

"Papa ...."

Papa menoleh.

"Siang ini Papa sudah bisa pulang ...." Aku menatap wajah Papa lekat-lekat. "Pa ... mulai sekarang Sierra di urus Mas Teguh, supaya Papa bisa istirahat dengan baik. Papa jangan khawatir ... aku masih akan bersama Papa." Kucoba sebaik mungkin bicara, meskipun semua serba salah.

Tidak mudah menyelesaikan persoalan yang sudah menyebabkan hati orang tua terluka. Seribu kali kucoba, sejuta kali juga mereka tak bisa menerima. Mungkin sebab usia menjadikan perbedaan cara pandang kita.

Aku lebih santai. Tapi, Papa melihat hidup ini terlalu rumit. Di samping itu sakitnya membuat ia bukan sosok yang mudah menerima.

Selesai merapikan barang-barang, kami pun pulang. Tanpa sepengetahuan Papa, Mas Teguh sudah membelikan sebuah kursi roda untuknya. Agar mudah untukku mengajak Papa refreshing ke luar rumah.

***

"Makan dihabiskan, ya Pa. Habis ini aku berangkat kerja. Nanti istirahat aku pulang nengok Papa."

"Kamu gak sarapan?"

"Kesiangan, Pa. Tapi aku dah bekel kok." Aku mencium tangan Papa. "Aku berangkat. Assalamualaikum!!"

"Waalaikum salam."

Bergegas kulangkahkan kaki keluar rumah. Di jarak sepuluh meter dari rumah menuju jalan raya, aku menjawab pesan Mas Teguh. Selama di dalam rumah, memang ponsel kumatikan agar Papa tidak merasa tertekan.

Mas Teguh memang sedang di jalan menungguku sehabis mengantar Sierra berangkat sekolah. Pagi bercerita tentang cerah. Hangat mentari seperti tertawa, begitupun hatiku yang berbunga.

Semua hal telah sesuai kesepakatan kami berdua. Aku dan Mas Teguh, meskipun sekat halus memisahkan kami, hati kami sungguh tak bisa saling membohongi.

Tampak pria manis yang sedang duduk di atas motor ... itulah dia. Sosok tempatku meletakkan seluruh isi hati. Ia bangun dari duduknya lalu menghampiriku.

Di jarak satu lengan, tangannya meraih leherku membawaku dalam kecupan pagi yang sangat mesra. Aku belum lupa merasakan hangat dan lembut sepasang bibir itu.

Angin pagi, sejuk menerpa. Terbangkan anak-anak rambut yang menguarkan aroma harum. Selaksa tetabuhan jantung luapkan rasa paling gempita.

Kupejamkan mataku, membiarkan hangat mengaliri setiap celah tubuhku. Yang membuat kutakluk.

Pria ini masih sosok yang mampu membiusku. Kubuka mata, lalu melihatnya persis di hadapanku. Menyentuh kedua bibirnya dengan jemariku.

"Aku masih merindukanmu. Masih sangat merindukanmu," ucapnya lirih.

Kujawab dengan kecupan paling hangat dari yang ia berikan. Seolah lepas seluruh senyapku. Merasakan lembut lumatan bibir Mas Teguh. Lidahnya menari dalam rongga mulutku, dan kami tenggelam. Sesaat aku lupa cahaya mentari telah mencambuk pagi.

"Yuk berangkat kerja sekarang!" ajaknya.

Aku mengiyakan. Mas Teguh kembali menciumku. "Jangan berpaling dariku," lirihnya di telingaku.

"Bukankah sudah kau miliki seluruh hidupku?"

Pria itu tersenyum lalu memelukku. "Terima kasih, karena telah menua bersamaku."

"Tapi ...."

"Apa?"

"Menikahlah bersamaku suatu saat nanti." Kulamar ia, dan aku tidak perduli dengan bahasa gengsi yang biasa diminati para wanita. Aku tidak ingin dia pergi.

"Ya .... Aku akan menikah denganmu, di saat yang tepat."



Bersambung ....
Hikaya0120.

____

Jangan lupa like, follow dan subscribe, Kakak😊🙏
0
216
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to HeartKASKUS Official
21.6KThread27.1KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.