Tahun 2016 yang lalu, tepat pada 17 Agustus aku telah berhasil menjadi anggota paskibra yang ke-sekian kali. Awalnya aku tak menyangka jikalau aku terpilih di antara mereka yang berperawakan tinggi. Kebanyakan orang memiliki persepsi bahwa postur tubuh yang pendek tak akan bisa menjadi anggota paskibra.

Sebelumnya, aku sempat mengikuti ekstrakurikuler Pelatihan Baris Berbaris (PBB). Selain itu, hampir setiap upacara aku selalu dijadikan petugas upacara; mulai dari pemimpin upacara, pembacaan undang-undang, peleton, pengibar bendera dan juga pembacaan janji pelajar Muhammadiyah.

Akhirnya, tiba saatnya aku diamanahi seorang guru untuk mengikuti seleksi paskibra. Banyak di antara mereka yang tinggi tak masuk dalam seleksi. Ada pula yang tidak kuat dengan hukuman, akhirnya keluar. Akan tetapi lain halnya denganku yang hanya memiliki tubuh pas-pasan. Aku masuk seleksi tanpa adanya hukuman sekalipun.

Namanya juga peserta pendek, aku di taruh di barisan paling belakang sama seperti peserta pendek lainnya. Sebetulnya batinku memberontak tatkala salah satu anggota TNI menempatkan barisanku di paling ujung. Itu artinya akulah peserta yang terpendek. Padahal aku lebih suka ditempatkan di barisan paling depan, tapi mau apalagi, masuk seleksi juga sudah syukur berkali-kali. Pengalaman seperti ini terjadi ketika aku masih menduduki bangku SMA Muhammadiyah 1 Pati.


Foto Catur bersama pelatih, diambil pada 2016 selepas upacara

Berlatih tak mengenal waktu dan tempat, membuatku harus peka terhadap sinar matahari. Sekitar dua pekan berlatih, wajahku layaknya pantat periuk. Hitam legam dan penuh kecapekan. Namun, hal itu telah menjadi pengalaman yang sangat berharga bagiku.

Di hari H, aku sudah siap dengan kemantapan jiwa dan raga. Walau pun hanya bertempat di paling belakang, aku bangga bisa berjalan bersama pasukan pengibar bendera. Satelit syutting yang sempat berjalan di atas kepalaku, membuat rasa semakin bangga bahwa aku bisa menjadi anggota paskibra walau tinggi badan tak lebih dari 150 cm.