- Beranda
- The Lounge
Mantan Pacar Merubah Diriku Menjadi Lebih Baik (Menjadi Dewasa)
...
TS
mahirbro
Mantan Pacar Merubah Diriku Menjadi Lebih Baik (Menjadi Dewasa)
Catatan Juang
Selamat datang di realitas
(hal. 42-44)
(hal. 42-44)
Masa-masa skripsi merupakan masa yang melelahkan, bolak-balik bertemu dosen pembimbing, revisi, stres, bosen, semangat, stres lagi, semangat lagi, hingga akhirnya lulus.
Sewaktu aku diwisuda, Ibu sampai menangis. Katanya, beliau terharu anak sulungnya sudah jadi sarjana. Ibu memang tidak pernah merasakan diwisuda. Hebatnya, perempuan tersebut berhasil membiayai anak-anaknya hingga selesai kuliah.
Dulu saat sudah menggenggam gelar sarjana Teknik informatika, muncul pertanyaan baru dari benakku: akan bekerja dimana?
Setelah melamar kesana kemari, aku diterima bekerja sebagai bagian dari tim marketing di sebuah perusahaan les. Hanya bertahan sebulan, aku pun keluar dan nekat melakukan hal yang paling kusukai: menulis.
Kuniatkan dalam hatiku bahwa aku akan hidup dari dan untuk menulis, meski hal tersebut sempat ayahku murka.
Setelah itu muncul banyak babak baru dalam hidupku. Dari mulai menjadi wartawan lepas, pengembara, pegiat kopi, penulis buku, hingga akhirnya aku menjadi diriku yang sekarang.
Contohnya, aku pernah bertugas menulis naskah film dokumenter tentang sejarah daerah timur, sementara sahabatku bertugas merekam gambar. Aku tetap ikut dia merekam ke sana-sini supaya bisa sinkronisasi video hasil besutannya dengan tulisanku.
"Terjun langsung" bukan berarti ngerecokin.
"Terjun langsung" berarti mempelajari secara langsung, berdasarkan data-data belaka. Hasilnya? Aku jadi menghargai proses, sekaligus belajar tentang hal-hal baru.Dan mengetahui hal-hal baru, tentu takkan membuat kita rugi.
Sayangnya, bahak orang mengeluh saat dimnta tolong menjadi A, karena merasa job desc-nya hanya B. Padahal, bukankah saat kita dipercaya melakukan lebih dari satu pekerjaan, itu tandanya kita dianggap mampu?
Bukankah itu menjadi nilai plus untuk diri kita sendiri? Siapa tahu, nilai plus ini memberi kita jenjang karier yang lebih cemerlang.
Banyak sekali pelajaran yang tidak pernah kudapatkan di kampus, malah kudapatkan ketika sudah terjun lanhsung di dunia nyata. Salah satunya adalah: bertahan hidup.
Karena pada akhirnya, apa pun disiplin ilmu yang kita pelajari, yang terpenting adalah bertahan hidup. Syukur-syukur kalau bertahan hidup sambil mempertahankan idealisme. Syukur-syukur lagi kalau bertahan hidup sambil meraih mimpi.
Sewaktu aku diwisuda, Ibu sampai menangis. Katanya, beliau terharu anak sulungnya sudah jadi sarjana. Ibu memang tidak pernah merasakan diwisuda. Hebatnya, perempuan tersebut berhasil membiayai anak-anaknya hingga selesai kuliah.
Dulu saat sudah menggenggam gelar sarjana Teknik informatika, muncul pertanyaan baru dari benakku: akan bekerja dimana?
Setelah melamar kesana kemari, aku diterima bekerja sebagai bagian dari tim marketing di sebuah perusahaan les. Hanya bertahan sebulan, aku pun keluar dan nekat melakukan hal yang paling kusukai: menulis.
Kuniatkan dalam hatiku bahwa aku akan hidup dari dan untuk menulis, meski hal tersebut sempat ayahku murka.
Setelah itu muncul banyak babak baru dalam hidupku. Dari mulai menjadi wartawan lepas, pengembara, pegiat kopi, penulis buku, hingga akhirnya aku menjadi diriku yang sekarang.
Quote:
Contohnya, aku pernah bertugas menulis naskah film dokumenter tentang sejarah daerah timur, sementara sahabatku bertugas merekam gambar. Aku tetap ikut dia merekam ke sana-sini supaya bisa sinkronisasi video hasil besutannya dengan tulisanku.
"Terjun langsung" bukan berarti ngerecokin.
"Terjun langsung" berarti mempelajari secara langsung, berdasarkan data-data belaka. Hasilnya? Aku jadi menghargai proses, sekaligus belajar tentang hal-hal baru.Dan mengetahui hal-hal baru, tentu takkan membuat kita rugi.
Sayangnya, bahak orang mengeluh saat dimnta tolong menjadi A, karena merasa job desc-nya hanya B. Padahal, bukankah saat kita dipercaya melakukan lebih dari satu pekerjaan, itu tandanya kita dianggap mampu?
Bukankah itu menjadi nilai plus untuk diri kita sendiri? Siapa tahu, nilai plus ini memberi kita jenjang karier yang lebih cemerlang.
Banyak sekali pelajaran yang tidak pernah kudapatkan di kampus, malah kudapatkan ketika sudah terjun lanhsung di dunia nyata. Salah satunya adalah: bertahan hidup.
Karena pada akhirnya, apa pun disiplin ilmu yang kita pelajari, yang terpenting adalah bertahan hidup. Syukur-syukur kalau bertahan hidup sambil mempertahankan idealisme. Syukur-syukur lagi kalau bertahan hidup sambil meraih mimpi.
Quote:
Hujan dan kenangan
(hal.69-71)
Baru saja akan kulangkahkan kaki keluar dari rumah, tetes demi tetes hujan jatuh dari langit. Sial! Langsung saja hatiku kesal. Padahal, aku sudah membuat janji dengan beberapa kawan untuk bertemu diuar.Kalau begini siapa yang harus kusalahkan? Sambil mendengus, aku tertunduk di garasi rumah dan mengutuk keadaan.
Sejak kapan kita menjadi pembenci hujan? Apakah sejak kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi? Ataukah sejak kota yang kita tempati mengenal banjir?
Betapa lucunya kita yang terlampau sering menyalahkan hujan atas terhambatnya kegiatan kita. Padahal, manusia punya hal canggih yang disebut dengan "payung" dan "jas hujan".
Dan soal banjir, apakah memang benar hujan yang salah? Ataukah karenan manusianya yang hobi sembarangan buang sampah?
Hujan makin deras menyambangi bumi. Kapan terkahir lali kita bersendu guaru di bawah hujan? Kapan terakhir kali kita tertawa riang tanpa peduli bagaimana rupa dan kesehatan kita setelah basah kuyup?
Kapan terakhir kali kita duduk diam dan mengulang kenangan yang menyelinap dari baik hujan? Kapan terakhir kali kita menyampaikan kerinduan pada rinainya?
Hujan tidak pernah turun dengan maksud yang buruk. Waktu dan keadaanlah yang membuatnya terasa buruk. Bukankah cinta begitu?
Hujan tiba di bulirnya yang terakhir. Aku melangkah pergi. Kulihat kolom chat, ternyata kawan-kawan yang lain pun terjebak dalam perjalanan.
Rasa kesal menguap bersama genangan air yang terbawa mentari. Jadi, kami semua sama-sama terlambat. Aku tertawa sendiri.
Kadang sesuatu yang terbaik datang tidak tepat waktu, setelah kita puas bercengkrama dengan rasa kesal dan rasa sesal terlebih dahulu. Bukankah cinta begitu?
Sejak kapan kita menjadi pembenci hujan? Apakah sejak kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi? Ataukah sejak kota yang kita tempati mengenal banjir?
Betapa lucunya kita yang terlampau sering menyalahkan hujan atas terhambatnya kegiatan kita. Padahal, manusia punya hal canggih yang disebut dengan "payung" dan "jas hujan".
Dan soal banjir, apakah memang benar hujan yang salah? Ataukah karenan manusianya yang hobi sembarangan buang sampah?
Hujan makin deras menyambangi bumi. Kapan terkahir lali kita bersendu guaru di bawah hujan? Kapan terakhir kali kita tertawa riang tanpa peduli bagaimana rupa dan kesehatan kita setelah basah kuyup?
Kapan terakhir kali kita duduk diam dan mengulang kenangan yang menyelinap dari baik hujan? Kapan terakhir kali kita menyampaikan kerinduan pada rinainya?
Hujan tidak pernah turun dengan maksud yang buruk. Waktu dan keadaanlah yang membuatnya terasa buruk. Bukankah cinta begitu?
Hujan tiba di bulirnya yang terakhir. Aku melangkah pergi. Kulihat kolom chat, ternyata kawan-kawan yang lain pun terjebak dalam perjalanan.
Rasa kesal menguap bersama genangan air yang terbawa mentari. Jadi, kami semua sama-sama terlambat. Aku tertawa sendiri.
Kadang sesuatu yang terbaik datang tidak tepat waktu, setelah kita puas bercengkrama dengan rasa kesal dan rasa sesal terlebih dahulu. Bukankah cinta begitu?
masukkan ke dalam kardus
(hal. 38-40)
Karena harus mencaei dokumen lama, aku terpaksa bergelut dengam debu di gudang. Kardus-kardus bertumpuk, menimpa map dokumen yang ingin kuambil. Pandanganku tiba-tiba terkunci pada satu buah kardua berwarna hijau muda.
Kutarik kardus tersebut, lalu kubersihkan debu yang menyelimutinya. Sambil tertunduk, kubuka kardus itu. Tampak benda-benda pemberian mantan pacarku tertera rapi di dalamnya, dari mulai foto, mix-tapr, sampai buku harian tempat kami menuangkan keluh kesah. Kukeluarkan satu per satu.
Lucu, rasa sakitnya sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya sebuah rasa yang aneh di dada: mengetahui bahwa seseora v yang dulu kita agung-agungkan, seketika saja menyakiti kita dan memaksa kita melangkah sendirian.
Perlu kuakui, hal tersebut pernah membuatku sebgitu galaunya, sampai-sampai menciptakan lusinan puisi yang menyatakan bahwa tanpa dia, aku takkan tahu caranya melangkah. Padahal, hari ini aku bisa melangkah lagi tanpa dia.
Tentu saja ada proses yang kualami hingga aku bisa berdamai dengan masa lalu. Salah satu prosesnya adalah saat aku kebingungan harua melakukan apa pada benda-benda peninggalan si mantan yang masih tertera di kamarku.
Hendak memulangkan, tapi semua akun media sosialku di-blok. Jadi sulit menghubungi. Lagipula, kekanakn sekali mengembalikan barang-barang yang padahal tidak ia minta.
Akhirnya, kumasukkan kembali benda-benda yang berhubungan dengan si mantan ke dalam kardus. Lalu, kusimpan di gudang, bersama dengan benda-benda tak terpakai lainnya. Lho, kenapa tidak dibuang saja sekalian?
Begini, dengan membuang benda pemberian apa pun dari si mantan karena takut mengingat kembali masa lalu, kita tidak sedang mengikhlaskan, kita cuma sedang melupakan.Dua hal tersebut memang mirip, tapi sebetulnya berbeda.
Kita harua siao dengan semua itu. Karena, dengan caranya yang misterius pula, hidup akan menyembuhkan luka dalam hati kita.
Kelak, saat hatimu sudah sembuh, buka lagi kardua tersebut. Lihat kembali benda-benda peninggalan si mantan.
Akan ada masanya dirimu memandang benda-benda tersebut sebagai objek yang biasa saja; bahkan bisa membuatmu tersenyum lega, mensyukuri posisimu saat ini sudah tidak lagi bersama dia.
Kutarik kardus tersebut, lalu kubersihkan debu yang menyelimutinya. Sambil tertunduk, kubuka kardus itu. Tampak benda-benda pemberian mantan pacarku tertera rapi di dalamnya, dari mulai foto, mix-tapr, sampai buku harian tempat kami menuangkan keluh kesah. Kukeluarkan satu per satu.
Lucu, rasa sakitnya sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya sebuah rasa yang aneh di dada: mengetahui bahwa seseora v yang dulu kita agung-agungkan, seketika saja menyakiti kita dan memaksa kita melangkah sendirian.
Perlu kuakui, hal tersebut pernah membuatku sebgitu galaunya, sampai-sampai menciptakan lusinan puisi yang menyatakan bahwa tanpa dia, aku takkan tahu caranya melangkah. Padahal, hari ini aku bisa melangkah lagi tanpa dia.
Tentu saja ada proses yang kualami hingga aku bisa berdamai dengan masa lalu. Salah satu prosesnya adalah saat aku kebingungan harua melakukan apa pada benda-benda peninggalan si mantan yang masih tertera di kamarku.
Hendak memulangkan, tapi semua akun media sosialku di-blok. Jadi sulit menghubungi. Lagipula, kekanakn sekali mengembalikan barang-barang yang padahal tidak ia minta.
Akhirnya, kumasukkan kembali benda-benda yang berhubungan dengan si mantan ke dalam kardus. Lalu, kusimpan di gudang, bersama dengan benda-benda tak terpakai lainnya. Lho, kenapa tidak dibuang saja sekalian?
Begini, dengan membuang benda pemberian apa pun dari si mantan karena takut mengingat kembali masa lalu, kita tidak sedang mengikhlaskan, kita cuma sedang melupakan.Dua hal tersebut memang mirip, tapi sebetulnya berbeda.
Quote:
Kita harua siao dengan semua itu. Karena, dengan caranya yang misterius pula, hidup akan menyembuhkan luka dalam hati kita.
Kelak, saat hatimu sudah sembuh, buka lagi kardua tersebut. Lihat kembali benda-benda peninggalan si mantan.
Akan ada masanya dirimu memandang benda-benda tersebut sebagai objek yang biasa saja; bahkan bisa membuatmu tersenyum lega, mensyukuri posisimu saat ini sudah tidak lagi bersama dia.
Quote:
entitas
(hal. 276-278)
Meski hampir tertinggal pesawat, namun kami berhasil lepas landas. Dua jam lagi, kami seharusnya tiba. Namun, bencana memang selalu di luar rencana. Selama empat puluh menit, pesawat yang kami tumpangi terjebak dalam badai.
Hujan badai membuat pilot tidak berani mengambil resiko untuk tinggal landas. Sungguh, itu menjadi empat puluh menit yang terlama dalam hidupku.
Petir dan guncangan terus menemani para penumpang. Doa demi doa terpanjatkan.
Pilot memutuskan untuk transit sejenak, mengisi bahan bakar, lalu kembali melesat ke angkasa kala cuaca sudah sedikit bersahabat. Di luar dugaan, hujan masih saja deras dan awan rendah tetap menghalau pandangan.
Pesawat lagai-lagi kesulitan mendarat. Kami harus berputar-putar di angkasa selama satu jam. Petir terus bersahutan membakar langit yang sedang gulita.
Tanpa bisa menyalakan ponsel, tanpa bisa memberi kabar siapa pun, aku tiba pada sebuah rasa takut yang paling mencekam: bagaimana jika ini akhir hidupku?
Tapi, apa itu hidup?
Apakah tokok-tokoh dalam game yang kau mainkan sadar bahwa mereka hanyalah tokoh game? Misalkan, mereka ternyata diprogram untuk berpikir, apakah mereka akan tahu bahwa hidup mereka telah diatur oleh kita?
Lantas, bagaimana dengan hidup kita, manusia? Bagaimana jika semua ini hanya simulasi? Bagaimana jika kita hanyalah tokoh yang sudah diprogram untuk melakukan ini-itu, dan kita tidak pernah menyadarinya?
Kita merasa terlalu pandai, hingga menganggap apa-apa yang masih sebatas teori adalah kenyataan mutlak. Lantas, kita memaksakan apa yang kita percaya pada orang-orang yang tidak percaya. Kita lupa bertanya tentang apakah kenyataan benar-benar nyata.
Bukankah kita seringkali merasa ada banyak sekali ranhkaian kebetulan yang seolah memang ditunjukan untuk kita?
Mungkin saja sebetulnya kita sendiri yang membuat plot cerita ini, lalu setelah kita mati, kita akan terbangun dalam sebuah realitas yang lebih beasr, dengan seseorang yang manjabat tangan kita seraya berkata, "Akhir kamu bangun juga."
Menabjubkan sekaligus menakutkan, bukan? Ketika kita melihat jam tangan, kita cuma melihat jarum jam yang berdetik. Tapi, kita tidak tahu bagaimana mekanisme jam tangan tersebut bekerja.
Seperti hidup ini, kita hanya melihat apa yang bisa kita lihat dengan mata kita, namun tidak pernah tahu rahasia dan keajaiban apa yang tersimpan di baliknya.
Garis batas anatara kehidupan dengan kematian sangat tipis. Begitu tipisnya hingga siapa saja yang hari ini sedang bersenda gurau, bisa menjadi yang berpulang esik hari.
Dan sungguh mengerikan jika kita pergi tanpa pernah sempat mengutarakan perasaan pada orang-orang yang kita sayangi.
Pesawat akhirnya menepi setelah terlambat lebih dari emapt jam. Berapa penumpang bertepuk tangan tatkala situasi dramatis berahir, sementara yang lainnya menghela napas lega.
Konsep awal dan akhir tidak pernah pasti. Yang mampu kita pahami adalah: hidup merukapan perjalanan yang tidak pernah kita kehendaki untuk dimulai, dan tidak pernah kita ketahui kapan dan di mana akan berakhir.
Di luar dari itu, mungkin sebaiknya tak perlu kita jadikan ajang perdebatan, dan cukup kita syukuri: kita masih diberi napas untuk melakukan hal-hal baru, terlepas dari siapa dan apa diri kita.
Hujan badai membuat pilot tidak berani mengambil resiko untuk tinggal landas. Sungguh, itu menjadi empat puluh menit yang terlama dalam hidupku.
Petir dan guncangan terus menemani para penumpang. Doa demi doa terpanjatkan.
Pilot memutuskan untuk transit sejenak, mengisi bahan bakar, lalu kembali melesat ke angkasa kala cuaca sudah sedikit bersahabat. Di luar dugaan, hujan masih saja deras dan awan rendah tetap menghalau pandangan.
Pesawat lagai-lagi kesulitan mendarat. Kami harus berputar-putar di angkasa selama satu jam. Petir terus bersahutan membakar langit yang sedang gulita.
Tanpa bisa menyalakan ponsel, tanpa bisa memberi kabar siapa pun, aku tiba pada sebuah rasa takut yang paling mencekam: bagaimana jika ini akhir hidupku?
Tapi, apa itu hidup?
Apakah tokok-tokoh dalam game yang kau mainkan sadar bahwa mereka hanyalah tokoh game? Misalkan, mereka ternyata diprogram untuk berpikir, apakah mereka akan tahu bahwa hidup mereka telah diatur oleh kita?
Lantas, bagaimana dengan hidup kita, manusia? Bagaimana jika semua ini hanya simulasi? Bagaimana jika kita hanyalah tokoh yang sudah diprogram untuk melakukan ini-itu, dan kita tidak pernah menyadarinya?
Kita merasa terlalu pandai, hingga menganggap apa-apa yang masih sebatas teori adalah kenyataan mutlak. Lantas, kita memaksakan apa yang kita percaya pada orang-orang yang tidak percaya. Kita lupa bertanya tentang apakah kenyataan benar-benar nyata.
Bukankah kita seringkali merasa ada banyak sekali ranhkaian kebetulan yang seolah memang ditunjukan untuk kita?
Mungkin saja sebetulnya kita sendiri yang membuat plot cerita ini, lalu setelah kita mati, kita akan terbangun dalam sebuah realitas yang lebih beasr, dengan seseorang yang manjabat tangan kita seraya berkata, "Akhir kamu bangun juga."
Menabjubkan sekaligus menakutkan, bukan? Ketika kita melihat jam tangan, kita cuma melihat jarum jam yang berdetik. Tapi, kita tidak tahu bagaimana mekanisme jam tangan tersebut bekerja.
Seperti hidup ini, kita hanya melihat apa yang bisa kita lihat dengan mata kita, namun tidak pernah tahu rahasia dan keajaiban apa yang tersimpan di baliknya.
Garis batas anatara kehidupan dengan kematian sangat tipis. Begitu tipisnya hingga siapa saja yang hari ini sedang bersenda gurau, bisa menjadi yang berpulang esik hari.
Dan sungguh mengerikan jika kita pergi tanpa pernah sempat mengutarakan perasaan pada orang-orang yang kita sayangi.
Pesawat akhirnya menepi setelah terlambat lebih dari emapt jam. Berapa penumpang bertepuk tangan tatkala situasi dramatis berahir, sementara yang lainnya menghela napas lega.
Konsep awal dan akhir tidak pernah pasti. Yang mampu kita pahami adalah: hidup merukapan perjalanan yang tidak pernah kita kehendaki untuk dimulai, dan tidak pernah kita ketahui kapan dan di mana akan berakhir.
Di luar dari itu, mungkin sebaiknya tak perlu kita jadikan ajang perdebatan, dan cukup kita syukuri: kita masih diberi napas untuk melakukan hal-hal baru, terlepas dari siapa dan apa diri kita.
Penulis Buku: Fiersa Bersari
Referensi: Buku Catatan Juang
Sumber foto: Google images
Trima kasih
Dan,Salam.BRO
Referensi: Buku Catatan Juang
Sumber foto: Google images
Trima kasih
Dan,Salam.BRO
0
764
0
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
925.2KThread•91KAnggota
Komentar yang asik ya