Shajar
TS
Shajar
(CERPEN) OLIVIA
 
Detak waktu telah menunjukkan pukul enam sore. Langit mulai terlihat gelap, suasana yang selalu terjadi berulang kali ketika matahari menurunkan diri dan membiarkan bulan mengambil tempat menggantikan tugas menerangi bumi.

Di kamarnya, Olivia tersenyum memandang satu pesan teks yang masuk di ponselnya. Mata gadis berumur dua puluh empat tahun itu begitu menikmati tiap kata yang tersusun di sana, satu kalimat yang membuatnya menciptakan berbagai khayalan indah dan melemparkan diri ke masa di mana ia begitu bahagia.

Satu kalimat yang telah membuat taman hatinya penuh dengan bunga dan satu kalimat itu terkirim dari seseorang yang sudah hampir setahun ia rindukan.

Kuharap kita bisa bertemu lagi di tempat biasa.

“Kau akan menemuinya?” Ny. Brown bertanya saat anak gadisnya dengan wajah sumringah melapor setelah mendapat pesan yang menurutnya menggembirakan.

Ya, setelah hampir setahun putus dari seorang laki-laki yang dicintai, perasaan Olivia tetap tidak berubah. Rasa itu sengaja ia simpan dengan harapan kalau takdir masih memberinya kesempatan untuk kembali merajut cinta dengan orang yang sama.

“Bu, kami lama tak bertemu,” jawabnya dengan nada riang sambil menatap Sang Mama yang duduk di seberang meja makan.

Sesaat Ny. Brown tersenyum, ia tahu ada kerinduan besar di hati puterinya. “Seharusnya tidak perlu lagi ada pertemuan? Kalian sudah putus, saat ini dia tak lebih dari sekedar masa lalu.”

Olivia terdiam, teringat akan curahan hatinya pada wanita itu ketika baru merasakan betapa sakit kata putus mengeksekusi mati hubungan cintanya. Beribu kepiluan diselingi air mata tak mampu berhenti tiap kali mengenang bagaimana laki-laki itu dengan tenang memenggal tali perasaan yang sudah terpelihara selama enam bulan. Ya, gadis itu tidak akan melupakan semua momen menyakitkan yang sudah dilalui.

“Maaf, Bu. Aku masih menyayanginya.” Olivia menundukkan kepala. Merasa tidak enak.

“Tidak ada larangan bertemu dengan laki-laki itu, tapi untuk apa?” Kerutan di dahi Ny. Brown tampak jelas meminta jawaban.

“Um, aku hanya berharap hubungan kami bisa seperti dulu lagi.” Olivia terlihat menginginkan sesuatu yang jelas-jelas sudah tak mungkin terjadi dan Ny. Brown tahu itu, tapi ia berusaha memaklumi rasa cinta puterinya masih tumbuh subur dengan nama Tony ditiap kelopak bunga hatinya.

“Jangan berharap, Sayang. Bisa jadi permintaannya untuk bertemu denganmu bukan untuk kembali menjalani hubungan seperti dulu.” Sepasang mata lembut Ny. Brown berusaha menyadarkan gadis muda itu, lalu meneruskan kalimat, “harapan adalah semangat agar manusia tetap hidup, tapi kau jangan terus hidup di masa lalu,” ucapnya lalu berdiri lalu mendatangi Olivia dan mencium dahi anak bungsunya.

Olivia mengerti, wanita itu ingin agar ia tidak lagi memandang ke belakang. Hati Ibu mana yang tahan jika terus menerus melihat anak gadisnya merindukan masa lalu dari seorang laki-laki yang sudah memutuskan hubungan, tapi tentu saja gejolak cinta akan selalu menang dari pada nasehat bijak seorang Ibu.

Setelah pembicaraan selesai, Olivia melangkah lesu menuju kamar. Perasaannya tidak enak, karena seolah meminta pengertian dari Ibunya tentang pertemuan dengan Tony.

Saat melintas di depan sebuah kamar, langkahnya terhenti. Lama ia menatap ruangan itu, lalu pelan membuka pintu. Ingatannya kembali kebeberapa bulan yang lalu bersama seorang perempuan yang dua tahun lebih tua darinya. Kamar itu milik Eva, kakaknya, tapi di sanalah Olivia selalu menghabiskan waktu.

***

“Dia ingin bertemu denganku besok.” Eva memperlihatkan satu pesan yang terkirim di ponselnya. Olivia yang duduk bersila sambil memegang majalah, lalu memiringkan badan dan memerhatikan layar ponsel yang ingin ditunjukkan kakak perempuannya.

“Ternyata kau masih mencintainya.” Olivia menggumam dengan pandangan kembali pada majalah di tangan.

“Ya, karena hanya dialah laki-laki yang bisa membuatku merasa nyaman,” ujar Eva sambil menatap layar ponsel.

Olivia hanya diam. Matanya terlihat memandangi isi majalah, tapi pikiran gadis itu tidak fokus pada apa yang terpampang di sana. Hubungan Eva dengan seseorang bernama Samuel membuat Olivia khawatir. Ia tahu kakaknya begitu mencintai laki-laki itu, tapi Samuel telah dijodohkan dengan anak perempuan dari rekan bisnis Ayahnya.

“Kalian sudah putus, kan?” tanya Olivia sambil melirik Eva.

“Tadinya kukira begitu, tapi kemarin malam Samuel bilang akan memperjuangkan hubungan kami. Sepertinya besok dia ingin memberitahu kalau perjodohan itu sudah dibatalkan.” 

“Kau yakin sekali.” Kali ini lirikan itu bertambah dengan kerutan di dahi Olivia.

“Karena hanya itu yang bisa kulakukan.” Eva menghela napas dengan senyum keyakinan.


***

Langit terlihat cerah, angin semilir menambah kesejukan di waktu sore. Sinar matahari menembus di antara sela-sela dedaunan, terlihat bayang-bayang bangunan dan pohon-pohon memanjang di jalan. Olivia menikmati musik di kamarnya ketika Eva masuk dan menghambur ke atas ranjang dengan wajah basah, karena air mata. Melihat adegan itu, ia langsung bangun dan melepas headset yang melekat di telinga.

“Eva, ada apa?” tanyanya cemas.

E

va hanya diam dan langsung memeluk Olivia. Kejadian selanjutnya tak ada kata satu pun yang keluar dari mulut perempuan itu, hanya sebuah undangan berwarna merah yang ia raih dari dalam tas kemudian diletakkan di depan adik bungsunya.

Di atas kertas undangan, tampak jelas nama Samuel terukir indah bersama perempuan lain. Olivia pun meyakini kalau pertemuan kakaknya dengan Samuel hari itu adalah pertemuan terakhir.

Beberapa hari kemudian tidak ada yang berubah, keduanya tetap menghabiskan waktu bersama di kamar. Olivia yakin setelah guncangan besar yang menghantam hati Eva karena ditinggal menikah. Kakaknya tetap tegar.

Malam itu dalam lelap menguntai tidur, tiba-tiba Olivia merasakan seseorang mengusap-usap rambutnya, ketika membuka mata dengan setengah kesadaran, ia mendapati Eva duduk di pinggir ranjang. Suara yang hampir keluar dari tenggorokan buru-buru tertahan, karena Eva memintanya untuk tidak berkata apa-apa.

“Sssttt, jangan bicara apa pun,” ucapnya dengan suara pelan sambil terus mengusap kepala adiknya. “Maafkan aku, Oliv, karena tidak bisa menjadi kakak yang baik, tapi terima kasih telah menjadi adik yang baik untukku. Kau harus menjadi perempuan yang tegar, seberat apa pun cobaan menerjang hatimu, jangan menyerah, banggalah menjadi dirimu sendiri dan ingatlah satu hal, kalau aku menyayangimu.”

Dan keesokan hari, ketika udara pagi mulai terasa, begitu pula dengan dingin embun yang masih tercium. Olivia menemukan Kakaknya sudah tergantung di kamar. Di atas ranjang, selembar kertas berisi permintaan maaf mewakili tubuh kaku itu. Eva tidak bisa melupakan rasa cintanya pada Samuel, ia menyerah pada masa lalu, tapi sayangnya perempuan itu melakukannya dengan cara yang salah.

***

Pertemuan dengan Tony mengalami sedikit perubahan, Olivia tidak akan menemui laki-laki itu di tempat biasa melainkan di rumah Lily, seorang teman yang dulu pernah berperan penting atas hubungan mereka. Awalnya Olivia merasa aneh, mengapa Tony tidak datang saja ke rumah dan menjelaskan maksud hati, tapi rasa itu tak lagi terpikirkan. Rindu yang menggebu telah mengesampingkan berbagai pertanyaan.

Ketika berdiri di depan pintu rumah yang terbuka, Olivia menyapa dua orang yang duduk di ruang tamu.

“Permisi!” Senyumnya tersungging mekar seperti bunga Sakura di musim semi. Matanya lurus menatap seorang laki-laki di sana.

“Hai, Oliv, ayo masuklah” Lily berdiri dan telah siap menyambut dengan es jeruk dan setoples kue kacang.

Lama suasana ruangan itu terisi dengan kesenyapan. Lily yang merasa tahu diri sudah mengambil sikap menghindar sejak tadi, ia lebih memilih untuk berada di ruang tengah menghabiskan acara nonton drama yang sudah memasuki pertengahan episode.

“Lama tak bertemu.” Tony membuka pertemuan itu dengan canggung.

“Iya, hampir setahun.” Dan Olivia menjawab dengan maksud menegaskan waktu.

“Kau sudah punya kekasih?” Laki-laki itu bertanya dengan tatapan serius. Matanya seakan menarik hati gadis itu untuk terjun bebas, kembali ke dalam samudera cinta yang telah lama hilang.

“Aku rasa kau sudah tahu,” jawab Olivia dengan wajah tersipu, karena yakin pertanyaan itu tak memerlukan penjelasan.

Sesaat, Tony mengukirkan senyum. “Maaf, kita harus bertemu di sini. Aku tidak yakin kalau harus datang ke rumahmu dan bertemu dengan Ibumu. Setelah hubungan kita berakhir, pasti beliau sangat kecewa padaku. ”

“Tidak apa-apa, Ibuku mengerti tentang keputusan yang harus kau ambil.” Olivia membalas senyum itu.

“Aku juga ingin minta maaf, karena dulu sudah mengakhiri hubungan kita.” Tony menarik napas panjang lalu menyambung kalimat, “aku merasa begitu jahat telah menyakitimu.” Ketulusan sangat tampak di mata laki-laki itu. Ia seperti sudah melakukan pengakuan dosa yang telah lama tersimpan.

“Semua sudah berlalu dan aku memaafkanmu. Kita tidak bisa memaksakan hati seseorang untuk selalu bersama, kan?” Kata maafa itu seperti memberi tanda cahaya melingkar di atas kepala Olivia. Ia seolah malaikat pengampun yang merelakan si pendosa memasuki surga.

Apa pun yang terjadi pada hubungan mereka di masa lalu memang bukan hal yang harus kembali ditelusuri. Olivia tahu, saat itu laki-laki yang ia cintai sudah tak lagi memimiliki perasaan terhadapnya dan ia memang harus pasrah menerima keadaan yang berakibat akar cinta di hatinya tercabut dengan kejam.

“Jadi apa yang kau lakukan sekarang?” Tony mempertanyakan waktu yang hampir setahun di jalani gadis itu dalam kesendirian.

“Tidak ada. Hanya saja pikiranku kadang selalu kembali pada kenangan-kenangan indah bersama seseorang.” Olivia memberikan sinyal kalau dirinya masih mengharapkan cinta laki-laki itu. “Bagaimana denganmu?” tanyanya kemudian.

Tony tertunduk dan tersenyum seiring dengan tarikan napas, matanya berubah sendu. “Aku bertemu seseorang. Dia sangat istimewa.”

Upss. Wajah Olivia drastis berubah kelabu. Bunyi loceng riang di kepalanya langsung terdiam mendengar kalimat ‘dia sangat istimewa’. Siapa gadis itu? Hatinya menggumam penasaran.

“Namanya, Diana. Kami bertemu tak sengaja di toko buku dan oh ya ….” Tangan Tony lalu sibuk mencari sesuatu di balik jaket kulitnya, “ini undangan untukmu, minggu depan aku akan menikah.”

Kertas itu tebal dengan warna pastel yang indah. Bentuknya terbungkus rapi dalam plastik. Pelan dan ragu jari-jari Olivia menggapai benda itu. Membuka dan melihat isinya dengan perlahan. Sangat jelas di sana nama Tony tercetak mendampingi nama seeorang gadis yang tadi ia sebutkan.

Tekanan di kepala Olivia begitu berat, dadanya terasa sesak. Ia memaksa agar air mata tak jatuh, karena akan tampak memalukan hanya karena mengetahui kalau laki-laki yang masih dicintainya akan segera menikah.

Gadis itu merasa bodoh. Mengharapkan masa lalu yang sudah jelas meninggalkannya, mengira jangka waktu yang terjadi selama hampir setahun tidak akan membuat Tony mencari pengganti. Padahal, ketika seseorang telah memutuskan tali cinta, itu berarti akan ada cinta lain yang ia temukan.

***

Olivia mendatangi Ibunya di dapur, lalu duduk di salah satu kursi yang sengaja disediakan di sana saat sedang menunggu masakan matang.

“Bagaimana pertemuannya? Apa yang terjadi?” tanya Ny. Brown terlihat mematikan kompor, kemudian mendatangi puteri bungsunya sambil meletakkan sepiring kue kering di atas meja.

Tidak ada kalimat yang keluar dari mulut gadis itu, matanya hanya menatap kue kering yang tampak lezat namun tak membangkitkan seleranya untuk makan. Beberapa menit terdiam, ia lalu memberikan sebuah undangan pada Ibunya dan berlalu menuju kamar.

Ny. Brown seperti kembali kebeberapa bulan lalu, kejadian di mana puteri sulungnya mengalami hal yang sama. Hatinya mulai dihantui dengan berbagai kecemasan.

Menuju petang, wanita itu menunggu dengan rasa takut yang diam-diam memenuhi pikiran. Saat Olivia tidak keluar untuk makan malam, tubuh Ny. Brown langsung melesat menuju kamar puterinya.

Membuka pintu dengan cepat dan mendapati lantai penuh dengan balon warna-warni, begitu pula langit-langit kamar yang terlihat meriah dengan balon-balon gas diikat menggunakan tali pita agar mudah ditarik ke bawah.

Di atas ranjang, tampak Olivia terbaring dan ketakutan kembali menerjang wanita itu. Jika puteri sulungnya mengakhiri hidup dengan tali gantungan, semoga saja bukan racun yang menjadi senjata maut pilihan puteri bungsunya.

“Olivia, Sayang. Kau belum menemani Ibu makan malam,” ucapnya sambil membelai rambut gadis itu dengan debar jantung tak karuan. Tegang menunggu anaknya menyambut panggilan.

“Ibu ….” Olivia membuka mata dan melihat Ibunya tersenyum sambil menangis.

“Oh, Sayang, Ibu takut sekali.” Wanita itu lalu ikut berbaring di atas ranjang sambil memeluk puterinya.

“Maaf, Bu, aku hanya lelah setelah meniup semua balon”

Ny. Brown mengangguk dan mencium kepala anak gadisnya. Walau air mata masih terus mengalir, tapi hatinya tenang tragedi itu tak terjadi lagi.

“Sayang, balonnya banyak sekali. Ibu yakin ini bukan hari ulang tahunmu.”

“Ibu, aku tidak ingin mengingat Tony lagi,” ucapnya sambil menarik napas.

Mendengar jawaban itu, Ny. Brown mengerti perasaan puterinya dan lega, gadis itu akhirnya menyerah pada masa lalu dan cukup cerdas melampiaskan rasa sedihnya. Bahkan Ny. Brown yakin Olivia berhasil memborong berbagai macam balon di toko kelontongan.

Sambil memeluk Ibunya, Olivia memejamkan mata menikmati rengkuhan tangan wanita itu menempel pada tubuhnya, dan menggumam, “Semua akan baik-baik saja, Bu, percayalah padaku,”

 

SELESAI

 
 
AdiAbimanyu.pasanton2019827brina313
brina313 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
2K
14
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.7KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.