Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

robbolaAvatar border
TS
robbola
ritual pemanggil arwah

Aku menangis di atas pusara Mas Randi. Suami yang begitu dicintai beberapa tahun ini. Kematiannya yang mendadak menyisakan luka yang teramat dalam, sampai tak ada keikhlasan sama sekali dalam menerima takdir yang sudah digariskan Illahi.

Bukan ... bukan ingin melawan kuasa-Nya. Namun, kematian yang terasa janggal menyisakan pertanyaan dalam benak. Belum lagi perut ini kelak semakin membesar karena sedang mengandung buah cinta kami. Aku kembali menangis kala mengingat hal itu. Jemari mengusap tanah merah yang basah dengan taburan bunga berwarna-warni.

"Sudah, Nak. Kasihan suamimu, biarkan dia tenang di alam sana," ucap Ibu merangkul bahuku dari belakang. Tangis ini semakin histeris, tubuh tergeletak memeluk gundukan tanah tempat peristirahatan terakhir Mas Randi. Suara-suara para pelayat bergemuruh, memberi nasihat dan dukungan. Tak sedikit pula yang mencemooh jika sikapku terlalu berlebihan.

Ibu membantu mengangkat tubuh ini. aku menoleh dan menatap mata bening itu. Ya, aku tidak boleh egois. Ibu dan Bapak tidak boleh menanggung malu atas sikapku. Dengan berat hati kata selamat tinggal terucap untuk dia yang sudah terbaring kaku di dalam sana.

'Selama tinggal, Mas. Aku akan membuat kita bertemu kembali,' batinku meracau tak jelas. Melangkah meninggalkan pemakaman ini.

***

Pukul 12 malam. Hari ini adalah malam Jumat, tepat 40 hari kepergian suamiku. Jujur saja, setiap malam diri ini masih menangis meratapi kepergiannya yang begitu cepat. Gemercik hujan terdengar berjatuhan ke atap langit-langit kamar. Aku merenung, merasa ini waktu yang tepat melakukan ritual yang dijabarkan oleh Nyai Karsih.

Nyai Karsih, paranormal yang aku datangi dengan sengaja beberapa hari yang lalu. Aku bertanya bagaimana caranya supaya arwah Mas Randi datang ke rumah. Ini memang gila, tapi rasa rindu terhadapnya menjadikan diri ini sebagai sosok yang tidak waras. Dia pun bilang, jika Mas Randi meninggal akibat dari korban pesugihan.

Aku tidak tahu siapa dalangnya. Namun, dengan ritual ini akan menguak siapa yang dengan tega menjadikan suamiku sebagai tumbal.

Aku turun dari ranjang, lantas mengambil jaket berwarna hitam yang tergantung pada paku di pintu. Memakainya, dan merangkap jaket tersebut dengan jas hujan. Mencoba mengendap, mulai dari ke luar kamar, sampai membuka pintu rumah. Tujuannya agar Ibu dan Bapak tidak tahu ke mana putri tercintanya ini pergi.

Di bawah rintik hujan dan gelapnya malam. Aku mempercepat langkah menuju makam Mas Randi. Tubuh ini gemetar karena udara dingin yang menusuk ke dalam kulit, belum lagi jalanan yang terasa sulit dilalui karena pandangan tertutup oleh tetesan air dari langit. Jalanan begitu sepi mengingat ini adalah tengah malam, waktunya terlalap dalam tidur.

Langkah ini semakin dipercepat karena pemakaman sudah begitu dekat. Kakiku terhenti saat menapaki gerbang tempat di mana Mas Randi terbujur kaku. Netra menerobos ke arah gundukan tanah dan nisan-nisan yang berjejer rapi. Lolongan anjing, suara burung dan decitan binatang kecil menyambut kedatanganku ke sini. Terdengar sayup-sayup suara jeritan seseorang, membuat bulu kuduk merinding.

Tidak ... tidak boleh takut. Aku coba menepis rasa ini jauh-jauh, semua harus berjalan sesuai rencana. Langkah kembali menyusuri satu demi satu batu nisan itu. Tanpa menoleh ke mana pun, bergegas menuju makam Mas Randi. Aku sempat tersandung, tetapi kembali bangkit dan berjalan dengan kaki yang sedikit ditarik karena terasa sakit.

Kini aku sudah berada di salah satu makam seseorang yang begitu aku rindukan kehadirannya. Buliran bening kembali menetes, menahan gejolak di dalam dada atas rasa yang sulit diungkapkan. Jemari yang sudah kotor ini segera menghapus linangan air mata, lantas merogoh sesuatu di dalam saku yang sudah dipersiapkan dari rumah. Sehelai kain putih digelarkan di atas pusara, lalu kuisi dengan segenggam tanah kuburan milik Mas Randi dan mengikatnya dengan kuat. Kembali memasukkannya ke dalam saku celana.

"Mas, aku menunggu kehadiranmu di rumah malam ini," ucapku menepuk batu nisannya. Mata ini melirik ke sana dan kemari, memastikan bahwa keadaan aman. Aku bergegas pergi dengan rambut bagian depan yang sudah basah. Lantas berlari dan meninggalkan tempat yang menyeramkan ini.

***

Aku bergegas menutup pintu kamar dengan napas terengah. Syukurlah, Ibu dan Bapak tidur dengan lelap. Mereka tidak tahu jika putrinya ini sudah melakukan hal di luar nalar. Segera jas dan jaket dibuka, lalu berlari kecil ke atas nakas. Tangan dengan cekatan membuka laci dan mencari alat ritual seperti beberapa lilin dan minyak yang sudah diberikan Nyai Karsih. Katanya minyak itu sudah dia beri mantra.

Sebuah tikar berwarna cokelat muda digelar di lantai. Tiga buah lilin kunyalakan, tak lupa tanah dari makam Mas Randi dibuka dan diletakan berjajar. Minyak tadi kuoleskan pada alis kiri dan kanan. Duduk bersila menghadap lilin dengan telapak tangan saling beradu.

Membacakan mantra yang sudah diberikan.

Aku mencoba fokus pada satu titik, yaitu bertemu dengan Mas Randi. Seketika angin bertiup kencang sampai jendela terbuka dan menghasilkan suara yang membuatku terperanjat. Namun, seperti pepatah Nyai, pikiran ini harus tetap fokus. Angin masih bertiup kencang, disusul lampu yang menyala dan mati saling bergantian. Seketika bulu kuduk merinding, merasakan aura yang begitu berbeda. Ada hawa aneh, antara panas dan dingin yang membuat tubuh terasa tidak nyaman.

'krek ... Krek'

Jantungku berdetak cepat saat beberapa barang bergerak seperti ada gempa. Belum lagi kursi di depan meja rias bergeser perlahan seperti ada yang menariknya. Mantra masih dilafalkan dengan sebaik mungkin.

'Tok ... tok ... tok'

Aku menghentikan mantra. Lantas berdiri saat suara ketukan pintu kamar membuat hati bertanya. Siapa yang datang? Apa Mas Randi? Aku kembali dibuat kaget karena lilin padam dengan sendirinya, dan lampu mati tak hidup kembali. Kaki ini melangkah perlahan ke arah pintu, jantung masih berdetak tak beraturan.

"Siapa?" tanyaku dengan suara gemetar. Tak ada jawaban, hanya suara ketukan yang masih terdengar perlahan. Dengan hati-hati knop pintu diputar, lalu membukanya sedikit dan mengintip kecil. Mataku membelalak, pintu ditutup kembali. Napas terengah. Benarkah apa yang ada di depan sana?

Aku memundurkan langkah, menutup mulut menahan jeritan yang tertahan. Tidak, mengapa aku harus takut? Bukankah aku yang memanggilnya ke sini?

Kembali duduk bersila, menyalakan lilin dan melafalkan mantra. Kali ini keyakinan semakin diperkuat lagi. Aku harus memecahkan misteri kematian Mas Randi.

Lampu kembali menyala dan meredup, angin berembus meniupkan auranya sampai mengibas rambut yang tergerai. Suasana kembali mencekam. Sengaja mata ditutup agar pemandangan ini tak terlalu terasa. Namun, indra penciuman mengendus bau yang begitu kuat. Seperti bau bangkai, aroma itu membuat mata terbuka perlahan.

Aku membelalak, saat mendapat sosok yang ada di hadapanku. Sesosok tubuh yang terbalut kain kafan, iris matanya putih tanpa ada titik hitam sedikit pun. Kapas yang masih menempel di hidung, dan belatung yang menggantung di kain putih yang berwarna kusam itu.

Mas Randi ....

Aku mencoba tidak takut, mengatur napas dan berusaha mengendalikan tubuh yang bergetar hebat. Keringat dingin mengucur deras, dada terasa begitu sesak.

"Mas Ra-Randi ...," ucapku terbata-bata. Sosok itu hanya mengangguk. Aku menguatkan diri kembali, ini kesempatan untuk mencari jawaban.

"Mas, tolong takuti orang yang membuatmu mati. Bawa dia kemari hari ini juga. Aku mohon ... biarkan tangan ini yang membalaskan dendammu." Dendam kembali membara. Sosok itu menghilang sekejap, semua keadaan menjadi normal. Lampu dan lilin masih menyala, angin pun berhenti berembus.

Ke mana dia?

"Mas ... Mas Randi!" teriakku, mengarahkan netra ke sana dan ke mari. Aku memanggilnya kembali, sekarang dibarengi dengan isak tangis. Tubuh ini melemah, semua terasa sia-sia. Sekarang hanya bisa duduk di ranjang dengan badan yang tak bergairah.

Aku terperanjat saat suara ketukan pintu terdengar begitu kencang. Bibir ini kembali ditarik, berpikir jika lelaki yang kucintai telah kembali. Segera berlari ke arah pintu dan membukanya dengan senyum semringah. Namun, yang datang bukan Mas Randi. Melainkan ....

"Kami tidur di sini, ya. Arwah suamimu mengganggu kami. Dia bahkan muncul dengan sosok yang mengerikan," ucapnya dengan bergidik ngeri.

Jadi ... jadi, yang menumbalkan Mas Randi adalah orang tuaku sendiri?

Tubuh ini melemah seketika saat tahu siapa dalang dari kematian suamiku.

_Tamat_
sudahdariduluAvatar border
zafranramonAvatar border
caturkristiyaniAvatar border
caturkristiyani dan 6 lainnya memberi reputasi
7
749
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.