Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

robbolaAvatar border
TS
robbola
bulan madu part 1
BULAN MADU

“Mas, tadi Citra datang dan minta tolong pada kita.” Ning menata susunan baju di almari ukir. Mengambil kaos singlet dan memberikannya padaku. Aku memakainya.

“Memang Citra mau minta tolong apa, Sayang?” Aku membuntutinya yang hendak berganti kimono.

“Mas ....” Dia berhenti di depan pintu kamar mandi.

“Kenapa Ning, Sayang?” Aku ikut berhenti. Memandangnya.

“Kenapa ngintil Ning terus sih, Mas? Ning mau ganti baju.” Wajahnya memerah. Dia masih malu kalau langsung ganti pakaian di depanku.

“Eleh-eleh, Ning. Kenapa mesti malu, Sayang. Kan kita sudah eng ing eng, sudah dua bulan ini kan?” Aku menggodanya.

“Heemmm ... Mas ....” Dia jengkel namun senyumannya tidak bisa menipuku. Dia bahagia saat aku menggodanya.

Aku sudah di atas ranjang misteri. Eh ... ranjang peraduan cinta. Duduk menepi dengan bersandar di ranjang pegas kami. Menunggu kemunculan Ning, istriku sayang.

Tapi lebih baik push up dulu lima menit. Lumayan buat pemanasan. Saat push up hampir selesai, aku dikejutkan pada sepasang kaki indah kuning langsat. Kemuning sudah ada di depanku. Tepat aku posisi masih push up. Duh ... Gusti ... bidadariku. Aku langsung bangkit.

“Sudah, Ning. Ayo kita mulai. Mas sudah siap.” Aku merangkulnya.

“Mas ... mesti iki. Ning kan belum selesai cerita tentang Citra.” Aduh ... Arya ... Arya, awakmu makin dangling gara-gara Ning.

“Oh iya, Mas lupa. Lanjutkan ceritamu Sayang.” Aku menuju ranjang pegas berseprai biru langit dengan motif bunga lili. Merebahkan tubuhku. Tidur miring menghadap bidadariku. Ningku sayang.

“Jadi begini Mas, tadi Citra datang. Mau minta tolong kita jadi model. Dia ikut kompetisi fotografi tema belahan jiwa. Inginnya dia, kita nanti berkostum pengantin dan beberapa kostum pendukung lainnya. Dia juga sudah kerja sama dengan sahabatnya Risa untuk make up dan tata busananya.” Ning tertidur dengan posisi miring menghadapku. Gerai mayangnya tetap memesonaku. Apa lagi suaranya. Halus banget. Membuaiku.

“Terus lokasinya di mana?” Aku bergeser lebih dekat dengannya. Lebih dekat dengan wajah cantiknya. Kunikmati setiap keindahan yang Allah ciptakan untuknya. Aku bersyukur memilikinya.

“Yogyakarta. Itu pilihan Citra. Ada banyak tempat indah di sana. Tepat buat foto prewedding katanya.” Wah, ini kesempatan. Kapan lagi bisa punya foto pernikahan.

Semenjak menikah dengannya di dusun, tidak ada satu foto kenangan pun yang menunjukkan kami menikah. Hanya ada surat keterangan menikah dari dusun, akhirnya aku mengurusnya di kantor urusan agama untuk menerbitkan sepasang surat nikah.

Dinding kamar kami masih bersih dari hiasan foto pernikahan. Ini adalah kesempatan baik untuk mewujudkan foto-foto pernikahanku dengan Ning. Sebagai bukti ikatan suci pernikahan, yang mungkin menjadi kisah untuk anak cucu kami.

“Wah ... asyik itu, Sayang. Oke aku setuju. Sekalian kita berkunjung ke rumah saudara Mas dan nyekar di makam ibu, mbah kakung dan mbah putri di sana. Tapi kapan itu rencananya?” Kubelai wajah cantiknya. Mengamati setiap detail wajahnya. Hidung yang mancung, bibir tipis, bentuk wajah yang tirus, matanya bawang sebungkul, dagunya yang panjang dengan leher yang jenjang. So look beautiful.

“Seminggu lagi katanya, Mas. Citra mengajak ibu juga.” Dia masih tampak sibuk berbicara. Kulihat bibir tipisnya bergerak dengan sedikit guratan senyum. Membuat goyah konsentrasiku.

Bahagia rasanya tiap hari, tiap malam ditemani bidadari secantik Ningku. Alhamdulillah ya Allah, Engkau berikan aku istri spesial dan sempurna. Membuat hari-hariku bahagia. Bekerja semakin semangat. Kata teman-teman dan perawat di rumah sakit, aku tambah ganteng dan macho. Meski sekarang sedikit hitam karena terik matahari menerpaku karena aku sekarang berangkat naik sepeda motor.

“Kebetulan itu, Sayang. Minggu depan itu harpitnas. Ada cuti bersama. Jadi full liburnya.” Aku belai mayangnya. Memainkan jemariku pada lekuk-lekuk wajahnya. Dia masih sibuk dengan arah perbincangan kami.

“Harpitnas itu apa Mas?” Dia mengernyitkan dahi.

“Hari kejepit nasional Ningku Sayang.” Jariku menyusuri gurat bibir tipisnya. Lipstik merah jambu kesukaanku masih melapisi bibir indahnya.

“Oh ... hehe. Kepanjangan yang aneh, Mas.” Simpul senyumnya tercipta di antara dua sudut bibirnya. Masyaallah. Mancep ing atiku Ning.

“Lebih indah kependekan dari ILU Sayang.” Dia mengernyitkan dahi lagi. Aku lebih mendekatkan wajahku ke wajah ayunya.

“Apa lagi itu, Mas?” Suaranya lebih pelan. Dia mengamati pergerakanku. Memaknai hasratku.

“ILU artinya I ... Love ... You.” Aku hentikan bibirnya untuk berbicara lagi. Mengecup kening dan bibirnya.

Kami tidak mampu melewatkan gairah cinta kami. Mungkin ini sebagai ganti bulan-bulan kami yang dulu suwung. Menggapai pahala yang berpendar dalam cumbu rayu sepasang kekasih yang sudah halal.

***

“Mas Arya, ayo cepat. Keburu siang. Engko kesoren sampai sana.” Citra menggerutu. Saat aku masih menikmati secangkir teh jahe dalam cangkir corak pewayangan Gatotkaca.

“Iya ... iya Adhiku sing ayu. Barang-barang sudah masuk bagasi semua. Sepeda juga sudah.” Aku seruput sedikit demi sedikit teh jahe. Terasa nikmat dan hangat di pagi yang begitu cerah ini. Secerah senyuman Ning saat menuntun ibu menuju mobil.

“Ayoo Mas sopir. Cepetan! Mesakne mbak Ning kie lho nunggu.” Segera aku habiskan minumanku. Meletakkan cangkir di meja.

“Mbok Yem. Nitip rumah nggih Mbok. Pak Jono sudah aku kabari ikut ngawat-ngawati rumah.” Aku memberi beberapa uang untuk mbok Yem sebagai honor ekstranya.

Pak Jono tukang kebun yang biasa aku utus untuk merapikan taman. Terkadang aku mengutusnya mengecat tembok atau membenahi rumah yang sekiranya perlu perawatan. Kesibukanku yang tidak mungkin seluruhnya mampu aku lakukan sendiri.

“Oke. Siap semuanya ya? Tidak ada yang tertinggal?” Aku sudah duduk di bangku dengan setir sudah ada di tangan.

“Mboten. Ayo Mas sopir. Berangkat!” Citra mencolek punggungku dari belakang. Dia duduk di belakang bersama ibu. Ning duduk di depan menemaniku.

“Inggih, Ndara Putri similikiti.” Aku terkekeh menggoda Citra. Membuat Citra merengek manja pada Ning.

“Sampun, Mas.” Ning mencubit lengan kiriku. Ada senyum di bibirnya.

“Asyik. Cubit lagi dong, Sayang.” Aku memandang wajahnya. Dia tersenyum dengan rona memerah di pipinya. Duh ... Gusti, terbuat dari apa senyumnya itu? Aku rasa senyumnya itu terbuat dari pemanis alami non sukrosa jadi aman buat hati. Bikin adem dan ayem.

Sekitar kurang lebih sepuluh jam perjalanan kami melintasi jalanan dari kota ke kota, kabupaten ke kabupaten hingga sampai di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagian waktu kami gunakan untuk beristirahat di tengah perjalanan untuk mengisi perut kami sembari sholat dan mendinginkan mesin mobil. Sekitar satu jam lagi kami sampai di rumah mbah Karyo adik kandung mbah kakung.

Pelataran rumah begitu asri. Tepat depan rumah tertanam pohon sawo kecik. Rerumputan hijau terawat, dengan beberapa bunga melati dan pohon kantil juga ditanam di depan rumah. Di sisi rumah terdapat beberapa bunga mawar merah dan putih.

Aku menurunkan beberapa bungkusan yang berisi oleh-oleh. Citra yang membawanya. Kemuning masih sibuk membantu ibu turun dari mobil warna jingga.

Citra berada di belakangku. Melangkah pada sebuah tangga kayu yang tidak terlalu tinggi. Rumah joglo yang khas dengan hiasan pintu ukir kayu jati dengan cat plitur yang masih terawat.

Aku mengetuk pintu beberapa kali sembari mengucapkan salam. Kudengar ada sebuah jawaban dari dalam rumah.

“Arya!” Paman Brata kaget melihat kedatanganku. Sudah lebih dari sepuluh tahun kami tidak jumpa. Kami berpelukan. Dia menepuk punggungku.

“Inggih, Paklik. Sampun sedasa tahun ya, kita tidak ketemu.” Pelukan kami makin kuat.

“Kangen banget aku karo awakmu, Le Arya.” Kami melepaskan pelukan kami. Aku cium punggung tangannya. Lalu dia melihat Citra di belakangku.

“Iki mesti Citra Anarawati.” Paklik menunjuk pada Citra.

“Inggih ... Paklik.” Citra menjulurkan tangan. Dia menyambut tangan paman, mencium punggung tangannya.

“Dulu kamu ireng, rambutmu kriwil pisan. Pangling aku, Nduk. Awakmu malih ayu tenan.” Paman Brata menepuk bahu Citra.

Lalu paman Brata melihat dengan terkejut pada Ning. Dia mengerutkan dahi.

“Oh, Niki sisihan kula, Paklik. Kami menikah baru ada lima bulan.” Raut wajah paman Brata berubah. Dia hanya melongo saat Ning mencium punggung tangannya. Termasuk ibunya Ning, juga menjabat tangannya.

“Lho, bukankah dulu kamu nikah sama siapa itu Key ... Key ... Keysha? Oh ya, tempo hari dia kemari sendirian. Tapi saya tidak tahu. Dia hanya berbincang-bincang dengan mbah Karyo.” Penuturan paman membuat hatiku tidak tenang. Mengapa Keysha begitu lancang datang ke Jogja menemui keluargaku.

Aku melihat wajah Ning berubah. Matanya berkaca-kaca.

“Bukan Paklik. Saya tidak ada hubungan lagi dengan Keysha. Panjang ceritanya.” Aku memeluk pundak Ning. Meredakan kecemasannya.

“Yowis, ayo mlebu kene. Mbah kakung Karyo masih mandikan ayam jago.” Kami dipersilakan masuk.

Ruangan yang dekorasinya penuh ukiran khas Jawa. Klasik. Kursi jaman dulu yang tempat duduknya dari anyaman kulit rotan berjajar menghadap meja ukir. Taplak meja bercorak tokoh pewayangan membuat suasana khas Jawa begitu melekat.

“Mbah kakung sehat, Paklik?” Aku letakkan tubuhku di kursi kuno dan bersandar santai. Citra duduk di sebelahku. Kemuning dan ibunya duduk di kursi tepat di depanku. Kami terpisah meja.

“Alhamdulillah, kesit jik trengginas, Le. Sebentar ya.” Paman Brata menuju belakang. Mungkin memanggil mbah Karyo.

Aku melihat Ning wajahnya tegang. Baru pertama kalinya dia bertemu keluargaku. Dia memainkan jemari, kecemasan menyelimutinya

Seorang pria yang masih terlihat tegap diusianya yang sudah mencapai hampir delapan puluh tahun. Berjalan mendekati kami.

Kami semua berdiri menyambutnya. Bersalaman dengan Ning. Namun saat Kemuning hendak mencium punggung tangannya. Buru-buru tangan keriputnya ditarik. Tidak ingin Ning mencium tangannya. Ya Allah... pertanda apa ini.

Dia tidak menolak saat Citra mencium punggung tangannya. Akhirnya tiba giliranku.

‘Plaakkk ...’

Sebuah tamparan mendarat ke pipiku. Aku kaget. Termasuk Citra.

“Bocah gemblung. Kelakuanmu ora enek bedane Romomu!” ucapannya seakan ini lebih menyakitkan dari tamparannya tadi. Kata-kata yang paling tidak ingin aku dengar. Aku benci jika disamakan dengan bapak. Meski darahnya mengalir padaku.

Citra hendak berbicara menjelaskan. Tapi tanganku menggenggamnya. Mencegah keadaan semakin tidak nyaman. Bahkan lebih keruh suasana.

“Ngapunten, Mbah. Almarhum mbah kakung apa belum menjelaskan masalah sebenarnya. Ngapunten.” Kepalaku tertunduk. Menghormati beliau. Meski pun watak mbah Karyo sangat bertolak belakang dari almarhum mbah Kakung. Mbah Kakung orang yang bijaksana dalam menghadapi apa pun. Beliau akan mencerna dahulu masalah sebelum bertindak gegabah seperti mbah Karyo.

“Terus bocah wadhon iki sapa? Keysha kemarin datang ke sini. Berbicara kalau kamu meninggalkannya demi seorang wanita. Kelakuan macam apa awakmu? Ora duwe isin. Watekmu kaya Romomu!” Wajah mbah Karyo berubah. Emosi telah merajainya.

“Sampun, Pak. Pun dipenggalih. Kasihan Arya jauh-jauh datang di sini sambang silahturahmi.” Paman Brata memegang pundak dan lengan Mbak Karyo. Menuntunnya untuk masuk ke kamar.

“Wis, Le Arya. Istirahat di rumah almarhum mbah Surya ya. Mbah Karyo ben lerem disik. Setelah itu, kamu bisa jelaskan permasalahan sebenarnya.” Paman berbisik di telingaku. Berharap aku tidak tersulut emosi.

“Inggih, Paklik, maaf sudah merepotkan.” Kami mengikuti langkah Paman Brata menuju kediaman almarhum mbah kakung yang letaknya sekitar lima ratus meter dari kediaman mbah Karyo.

“Paklik, kejadian sebenarnya bukan demikian. Apa almarhum mbah kakung belum cerita?” Aku berada di ruangan berdua dengan Paman Brata. Aku menjelaskan semua masa laluku waktu itu. Paman Brata memaklumi dan berharap kesabaranku akan sikap ayahnya yang lebih mementingkan emosi dibandingkan menelusuri kebenaran.

Kejadian itu membuat Ning bersikap lain terhadapku. Aku berusaha menjelaskan padanya.

“Ning ... apa Ning tidak percaya sama, Mas? Itu kejadian sudah aku kubur dalam-dalam. Namun Keysha yang berusaha membongkar lagi dengan dalih dia sendiri. Dia memutar balikkan kebenaran.” Aku duduk di sisi ranjang tepat menghadap wajahnya. Memegang kedua pipinya mencari manik matanya. Lihatlah mataku, Ning. Tiada kebohongan untukmu.

Kemuning menatapku. Mencari kejujuran di mataku. Kami bergeming sesaat. Hanya terdengar suara jangkrik mewarnai malam kami di Yogyakarta.

“Senyumnya mana, Bidadariku? Aku rindu senyumanmu.” Jariku membelai lembut bibir tipisnya. Menanti senyumannya. Namun dia tetap bergeming.

“Yowis, kalau Ning tidak mau senyum buat Mas. Mas keluarkan aji-aji. Gelitiki kamu Sayang.” Aku menggelitiki Ning. Hingga dia terkekeh menahan geli. Rangka ranjang yang terbuat dari besi berdecit keras sekali setiap kami bergerak di atasnya.

“Mas, ranjangnya kok begini ya?” Ning duduk tenang tidak bergerak. Dia sepertinya kebingungan akan suara decit ranjang setiap kami bergerak.

“Memang mengapa, Sayang? Hayo ... Ning takut ketahuan ya kalau kita nanti lagi kikuk-kikuk.” Aku terkekeh melihat wajahnya yang merona merah.

“Sebelah kamar kita itu kamar Citra sama ibu, pasti mereka dengar.” Aku semakin menggodanya.

“Tidak ada tikar atau karpet ya Mas?” Mata Ning mencari-cari di sekeliling kamar. Lantai dari ubin yang pastinya terasa dingin. Apalagi di Yogyakarta, di pedesaan seperti ini pasti udaranya dingin sekali saat malam hari.

“Jadi, Ning mengajak tidur lesehan begitu?” Aku dekatkan wajahku lebih dekat padanya. Dia kebingungan untuk menjawabnya.

“Bukan begitu, Mas. Kan cuma sementara?” Dia tertunduk malu. Tanpa kamu menjelaskan, Kangmasmu ini sudah paham sayang.

“Sementara nyapo hayo?” Aku lebih dekat pada wajahnya, hingga hidung kami bersentuhan.

“Ihh ... Mas Arya.” Dia mencubit lenganku. Wajahnya memerah. Dia malu mengungkapkan inginnya. Keinginan kita berdua.

“Mas juga heran, Sayang. Ini kamar almarhum mbah kakung dan mbah putri. Pasti setiap bermesraan berbunyi ya ranjangnya. Mungkin kalau kita coba dulu bagaimana? Pakai frekuensi ringan saja, jangan lebih dari lima skala richter. Bagaimana, Ning?” Aku terkekeh lirih. Melihat wajahnya semakin memerah.

“Oh ya, besok pagi-pagi sekali kita nyekar di makam ibu, mbah kakung dan mbah putri ya, Sayang. Lanjut setelahnya kita jalan-jalan untuk sesi pemotretan pertama dan kedua. Ada tiga tempat yang diminta Citra untuk kita berpose. Besok tujuannya di Pantai Jogan Gunung Kidul dan menjelang sore di Candi Ijo. Di Candi Ijo, sunsetnya keren.” Aku memegang tangannya. Tetap fokus pada wajah bidadariku. Bejo tenan dirimu Arya, mendapatkan bidadari surga seperti Ning.

“Ning besok bagaimana ya, Mas? Pakai gaya yang bagaimana? Selfie saja Ning tidak bisa.” Aku hanya senyum melihat rona wajahnya. Sorot lampu berpendar remang. Bayang-bayang kami menyatu dalam tembok berwarna hijau lumut. Nuansa segar dalam ruangan. Sesegar aura cantiknya. Terjaga ranumnya tidak akan kubiarkannya layu.

“Ning sayang ... natural saja. Ada Mas yang akan membimbingmu. Terpenting, jangan lupakan kontak mata kita. Itu chemistry. Chemistry itu kesesuaian secara naluri antara dua insan yang membuat kita nyaman dan cocok saat berdekatan atau bersama. Selama ini, Ning merasakan chemistry itu tidak saat bersama Mas dan saat berada di sisi Mas?” Kucium punggung tangannya. Menanti jawabannya. Dia hanya mengangguk. Aku pandang penuh manik matanya. Mencium keningnya dan berakhir dengan cumbuan mesra kami.

Suara alam malam hari seakan mewarnai keterikatan cinta kami. Di kamar yang penuh cinta dari mendiang mbah kakung dan mbah putri. Mereka mungkin tersenyum melihat kesempurnaan hasrat kami. Hasrat cinta dari mahligai pernikahan.

***
Diubah oleh robbola 29-07-2020 02:06
bukhoriganAvatar border
caturkristiyaniAvatar border
Rebek22Avatar border
Rebek22 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
918
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.